tirto.id - “Mulai rasakan sekitarmu, siapa yang ada di sampingmu, apa saja yang ada di sekelilingmu."
Kamis (22/2/2024) sore sekitar pukul empat, Putri Raharjo meminta anggotanya untuk mengikuti apa yang diucapkannya itu sambil duduk melingkar, menutup mata rapat-rapat, dan mulai mengatur napas panjang. Ia memimpin latihan menari di komunitas tari Nalitari yang berlokasi di Mantrigawen Lor, Yogyakarta.
Sebelas orang yang ikut sesi latihan sore itu mendengarkan arahan Putri dengan khidmat. Dari duduk bersila, mereka perlahan menggerakkan badan, berpindah tempat membentuk koreo yang saling bertautan.
Sambil duduk bersimpuh di deretan terdepan, Lutfi, penyandang down syndrome, membuat gerakan menyangga dagunya serupa gadis kecil yang tengah tertidur. Lalu Fa’i, penari penyandang tuli, melengkapi gerakan Lutfi dengan membuat gerak serupa sayap di belakangnya.
Wahya, perempuan 62 tahun, berada di samping Fa’i, seolah tengah melebarkan sayap yang diciptakan penari di sampingnya itu. Sementara Mirza, penyandang down syndrome, berdiri di deretan paling belakang, mengangkat satu kaki dan kedua tangannya seolah elang yang tengah memangsa buruannya di udara.
Kepada saya, Putri Raharjo menyatakan metode latihan semacam itu adalah bagian dari metode tari inklusi yang ia peragakan bersama komunitasnya, Nalitari.
Putri menuturkan bahwa komunitasnya percaya pada tiga hal penting dalam menari, yakni mengeluarkan gerak yang meluap dalam diri ketika menari; merasakan hadirnya orang lain yang tengah melakukan hal serupa; dan menyinergikan keduanya.
“Bagaimana biar tarian dalam diriku dengan tarian dalam dirinya menjadi satu, membuat relasi,” ujarnya.
Ketiga hal yang dikatakan Putri tersebut adalah apa yang dieksploitasi oleh Mirza, Lutfi, Fa’i, Wahya, dan penari lainnya yang sore itu ikut sesi latihan.
Koreografi yang mereka lakukan sore itu hanya gerak spontan. Putri hanya menginstruksikan mereka untuk saling merespons gerakan satu sama lain. Mereka pun melakukannya dengan mengekspresikan gerak yang meluap dalam diri, lalu merespons gerakan orang lain, dan membentuk suatu komposisi tertentu yang mengalir begitu saja.
Selama lebih dari 10 tahun terakhir, mereka sudah menyajikan tarian dengan metode seperti itu kepada berbagai jenis penonton dan acara. Mulai dari tampil dalam konser tunggal solois Pandika Kamajaya pada September 2023 lalu, hingga tampil dalam Festival Tari Internasional KIADA di Korea Selatan pada Oktober 2023 lalu.
Selama lebih dari 10 tahun terakhir pula, mereka melakukannya untuk menyadarkan setiap orang yang melihatnya bahwa tak ada sekat antara orang dengan disabilitas atau bukan.
Mirza dan Lutfi, yang ikut dalam sesi latihan Kamis (22/2/2024) lalu, adalah penyandang down syndrome. Fa’i adalah penyandang tuli. Sedangkan Wahya, atau biasa dikenal dengan Sri Wahyaningsih, adalah perempuan 62 tahun pendiri sekolah alternatif di Jogja bernama Sanggar Anak Alam (SALAM).
Mereka memiliki latar belakang berbeda dengan ciri fisik dan kemampuan yang berbeda pula. Namun pada Kamis lalu, mereka memperagakan kepada saya bagaimana semuanya bukan soal dalam sebuah tarian.
Justru, dalam metode tari inklusi Nalitari, perbedaan menjadi hal yang penting. Putri Raharjo menyatakan bahwa metode ini memang dirancang untuk dilakukan banyak orang dengan berbagao latar belakang yang beragam.
“Jadi jika hanya [ditarikan oleh] penari profesional tok, itu enggak jalan metodenya. Atau hanya ditarikan oleh teman-teman down syndrome tok, atau ditarikan dengan orang-orang dengan kursi roda semua, itu tidak bisa. Jadi metode tari Nalitari itu harus ditarikan oleh banyak orang dengan banyak kemampuan,” katanya.
Nalitari, Jawaban Keingin Menari tapi Tak Terwadahi
Sejak awal, kata Putri, metode tari inklusi Nalitari memang diciptakan sebagai jawaban atas kegelisahan orang-orang dalam komunitas tersebut, yakni keinginan menari yang tak bisa terwadahi.
Ketika menggagas Nalitari pada 2013 lalu, Putri menceritakan bahwa latar belakang terbesar ia dan tiga orang lainnya—yakni Nurul Jamilah, Tiara Brahmarani, dan Yoana Kristiwati—membuat Nalitari adalah angan-angan membuat seni tari menjadi inklusif. Dalam arti dapat ditarikan oleh siapa saja dan diperuntukkan untuk semua.
Kala 2013 tersebut, Putri mengisahkan bahwa pengajaran seni tari di Yogyakarta—yang jadi salah satu kiblat tari tradisi Jawa—berkembang selama bertahun-tahun dengan pakem-pakem tertentu.
“Tari itu kan sudah ada pakemnya, tari tradisional Jogjakarta gitu tu sudah ada pakemnya. Harus seperti ini, harus memakai baju seperti ini, gerakannya harus seperti ini,” ujarnya.
Sayangnya, pakem-pakem tersebut justru tak jarang menghalangi orang untuk menari.
“Ada salah satu dari kami yang masuk salah satu kelompok tari tapi narinya itu-itu saja, padahal pengen menarikan tarian yang lain. Ketika ditanyakan, dijawab ya soale [soalnya] badanmu tidak sesuai kalau untuk jenis tarian yang lain,” katanya.
“Mosok sih [masa sih], ketika orang pengen menari kok tidak diberi kesempatan. Mosoksih wong pengen nari [masa sih orang ingin menari], tapi kok jadi dibatasi,” ujar Putri menjelaskan awal mula pendirian Nalitari.
Berangkat dari angan-angan seni tari untuk semua itulah, Nalitari kemudian berdiri hingga kini.
“Kalau seandainya tidak ada tarian yang bisa ditarikan oleh siapa saja, ya kenapa tidak bikin tarian atau kelompok tari yang memang semua orang bisa menari?”
Tak Sekadar Menari
Di Yogyakarta, yang dianggap sebagai Kota Pelajar, akan dengan mudah menemukan banyak sekali komunitas.
Komunitas menjadi alat yang murah dan mudah digunakan untuk mengejawantahkan ide atas apa-apa yang dianggap ideal dalam realita sehari-hari.
Tak terkecuali bagi Nalitari yang hingga kini masih mempertahankan model komunitas sebagai wadah mereka bernaung.
Ketika berangan membuat seni tari menjadi seni yang inklusif dan menggagas Nalitari, Nurul, Putri, Yoana, maupun Tiara, memilih komunitas karena semata itu lebih mudah dilakukan. Tak ada satupun dari keempatnya yang menganggap Nalitari sebagai sebuah sanggar atau manajemen tari yang terdengar lebih profesional.
“Kepenginannya itu murni, aku hanya ingin menari,” ujar Putri.
“Ada yang ingin menari karena aku ditolak, ada yang ingin menari karena tidak pernah merasakan menari seperti ini, ada yang penasaran, dijak koncone [diajak temannya],” tambahnya.
Namun, setelah 10 tahun berselang, setelah berbagai pagelaran mereka pentaskan, Nalitari kemudian menjadi lebih dari sekadar komunitas tari bagi orang-orang di dalamnya.
Wahya, misalnya. Baginya, Nalitari tak sekadar jadi caranya untuk menyalurkan keinginannya untuk menari. Lebih dari itu, ia menyebut komunitas tersebut sebagai tempat sinau urip, belajar hidup berdampingan dengan semua orang.
“Menarinya tu menurut saya lebih menjalin persaudaraan. Kita itu semakin peduli, semakin bisa memahami [satu sama lain],” ujarnya.
“Oh ada yang seperti ini itu kita harus berperan seperti apa. Jadi ya sinau urip sebenarnya. Bagaimana berinteraksi dengan yang lain,” tambahnya.
Nurul Jamilah, salah satu pendiri dan koreografer Nalitari, menuturkan bahwa apa yang dijelaskan Wahya tersebut sebenarnya adalah ruh dari tarian di komunitas ini.
Dalam setiap tarian yang ia konsepkan, Nurul selalu mengedepankan agar para penarinya beradaptasi dengan kemampuan penari lain.
“Jadi karena kita sudah berlatih untuk terbiasa menghargai kemampuan [setiap orang] di situ, jadi ya sudah, itu akan terbawa ke luar tarian,” katanya ketika dihubungi pada Jumat (1/3/2024).
Bagi Rita, anggota lain dari Nalitari, pertemuannya dengan komunitas ini ketika kuliah membuatnya merasa memiliki keluarga baru ketimbang sekadar tempat mengekspresikan hasrat seninya.
Hal yang sama juga dirasakan Made, anggota Nalitari yang lain. Kepada saya, ia bercerita bahwa penerimaan adalah pelajaran paling mendasar yang ia terima ketika aktif di Nalitari. “Bagaimana kita sebagai manusia itu merasa diterima secara utuh,” ungkapnya.
Sedangkan bagi Dewi, ibu dari salah satu anggota Nalitari, komunitas ini tak hanya menjadi tempat anaknya yang menyandang down syndrome mengembangkan kegemarannya atas tarian. Lebih jauh, Nalitari justru kemudian mengembalikan kepercayaan dirinya.
"Sebenarnya saya tuh juga dulu pernah nari. Udah pengen nari lagi, tapi tidak pede dengan ukuran badan yang berbeda dengan waktu dulu," ujarnya bercerita.
Akan tetapi, ia kemudian tergugah setelah melihat anaknya dan anggota Nalitari lainnya menari dari waktu ke waktu dan sesekali ikut sesi latihan. Kini Dewi terlibat aktif menjadi penari di Nalitari.
“Banyak sekali pelajaran di Nalitari itu yang membuat rasa percaya diri saya pribadi itu tumbuh,” katanya.
Ketika saya mendengarkan cerita-cerita mereka, salah seorang anggota Nalitari bernama Anita turut membagikan arti komunitas tersebut baginya. Anita adalah penyandang down syndrome. Ketika ditanya bagaimana menari di Nalitari, ia berulang kali mengatakan, “Sekaten.”
Sekaten yang dimaksud Anita adalah acara tahunan peringatan Maulid Nabi Muhammad yang digelar Keraton Yogyakarta. Perayaan tersebut digelar meriah, dari rangkaian pengajian hingga pasar malam yang berlangsung selama 40 hari.
Ibu Anita, yang kala itu juga hadir dalam sesi latihan, kemudian menjelaskan maksud perkataan anaknya kepada yang lain.
“Oh, dia punya motivasi nari itu untuk pentas di Sekaten. Karena dulu waktu TK lihat temennya nari di Sekaten. Tapi saya bingungnya, Sekatennya tidak diselenggarakan lagi,” kata Ibu Anita, yang disambut gelak tawa yang lainnya.
Inklusi Tak Hanya tentang Difabel
Bagi para penari Nalitari, waktu 10 tahun yang mereka habiskan untuk melakukan pentas di sana-sini merupakan proses pendewasaan.
Nurul Jamilah, misalnya. Sebagai koreografer di Nalitari, ia menemui berbagai tantangan yang mengharuskannya merancang suatu tarian yang memperhatikan perbedaan kemampuan para penarinya. Ia harus memeriksa banyak hal secara detail sebelum pentas, misalnya.
“Kita kalau perform itu, misalkan diundang gitu, kita harus detail tahu lokasinya kayak apa, lebar panggungnya seberapa, itu ada ramp-nya atau tidak, levelnya seberapa tinggi, gitu kan kita harus tahu," ujarnya.
Bagi Nurul, hal tersebut penting diketahui agar gerakan yang ia konsepkan dapat dilakukan dengan baik oleh para penari yang memiliki kemampuan beragam. “Itu tantangan menarik buat kami yang ada di belakang panggung,” terangnya.
Akan tetapi, membawa pemahaman tersebut ke dalam seni tari ternyata bukan hal yang mudah. Menurut Nurul, aksesibilitas menjadi soal utama bagi para penarinya selama ini.
Ia bercerita, ketika masa-masa awal Nalitari berdiri, banyak penyelenggara acara yang tak memperhatikan aksesibilitas penari Nalitari yang banyak memiliki kebutuhan khusus.
“Kita menari, orang tuh enggak yang langsung menawarkan aksesibilitas. Masih banyak event yang mengundang itu enggak ngelihat ini tuh tari yang inklusi, ada beragam orang di dalamnya,” jelas Nurul.
Hingga kini, Nurul dan semua anggota Nalitari juga masih harus melakukan edukasi tentang pentingnya aksesibilitas kepada penyelenggara acara setiap kali diundang untuk tampil.
“Orang berpikir kalau ada yang butuh aksesibilitas, baru disediakan. Tapi kan mereka tidak tahu penontonnya ada enggak yang tuli, ada enggak yang keterbatasan fisik, ada enggak yang buta dan sebagainya? Kan enggak,” ucap Nurul.
Akan tetapi, aksesibilitas untuk penyandang difabel sebenarnya hanya salah satu dari soal yang sering ditemui Nalitari.
Soal lain yang acapkali ditemui Nalitari adalah kesalahpahaman orang akan konsep inklusi yang diusung oleh komunitas tari tersebut. Putri menuturkan, tak sedikit orang, bahkan panitia acara yang mengundang, kerap kali menyalahartikan Nalitari sebagai komunitas tari khusus difabel.
“Mungkin karena kata inklusi itu sendiri tidak banyak orang paham. Jadi ada beberapa orang yang menganggap inklusi itu [hanya] difabel. Itu ada,” ujar Putri.
Putri menjelaskan bahwa setiap tarian yang Nalitari tampilkan sebenarnya adalah proyeksi mereka atas konsep inklusi yang selama ini diusung. Menampilkan sebuah komunitas di mana semua orang, tanpa melihat latar belakang dan kondisi fisik, dapat hidup bersama saling berdampingan.
Nalitari dimaksudkan sebagai ruang bersama yang bisa diakses semua orang untuk menari.
Menurut Putri, inklusi yang dibawa Nalitari tak hanya dimaksudkan memberikan akses kepada Mirza, Lutfi, dan Fa’i yang merupakan penyandang difabel, tetapi juga memberikan ruang kepada semua orang. Termasuk Wahya yang berusia 62 tahun atau Dewi yang seorang ibu rumah tangga.
“Di sini tidak hanya teman-teman difabel, yang non-difabel itu banyak sekali. Itu yang berusaha selalu kami bilang [ke publik],” tutur Putri.
Setelah mulai mendapatkan penerimaan dari komunitas seni tari akan metode tari inklusi, Nalitari kemudian menjadi tempat menyuarakan inklusi, baik dalam seni tari maupun laku sehari-hari.
Harapan mereka berkembang dari membuat tari yang bisa dilakukan semua orang tanpa terkecuali, menjadi melihat kesetaraan dapat dirasakan semua orang.
“Harapan kami berempat [Putri, Nurul, Yoana, Tiara] dan semoga juga teman-teman di Nalitari, ini tidak berhenti hanya sampai ke sini saja, tidak hanya berhenti di Nalitari saja,” ujar Putri.
Mereka berharap, inklusifitas yang mereka bawa dapat mekar menjalar ke bidang lain selain tari dan seni.
“Bayangkan kalau inklusi ini juga ada di ilmu yang lainnya, ada yang di disiplin yang lainnya. Itu pasti jadinya akan luar biasa,” tutur Putri.
Harapan tersebut terbayang dalam benak mereka setelah menerapkan inklusifitas dalam setiap tarian yang mereka lakukan.
“Karena sesuatu yang kami lakukan ini, yang menurut kami indah ini, memang indah,” tutup Putri seraya tersenyum.
Penulis: Rizal Amril Yahya
Editor: Bayu Septianto