tirto.id - Tak perlu lagi meragukan perempuan sebagai penggerak roda ekonomi. Mereka berdaya dalam skala mikro bahkan makro. Namun kurangnya aksesibilitas keuangan digital menjadi sandungan besar bagi perkembangan usaha perempuan.
Ini adalah cerita tentang Wiwiek, perempuan 70 tahun yang menolak bergantung pada orang lain di usia senja. Dia masih “waras” menjalankan usaha kerajinan dari kain perca di Surakarta. Usahanya sudah berlangsung selama sembilan tahun, laris, dan terkenal dari mulut ke mulut.
Cuma satu hal yang membikin usahanya agak tertatih di era serbamodern ini: teknologi.
Hidup di usia mendekati tiga perempat abad di zaman serba digital membuat Wiwiek cukup kelimpungan. Sudah banyak saingan Wiwiek masuk lokapasar seperti Facebook Shops, Shopee, atau yang tengah naik daun, TikTok Shop.
Para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang melek literasi keuangan juga sudah beralih akses pembayaran, dari tunai menjadi digital dengan mengandalkan QRIS, OVO, Gopay, dan lain-lain. Sementara Wiwiek masih bertahan dengan manajemen keuangan konvensional: transaksi tunai.
“Keuangan pribadi dan bisnis tercampur, akses permodalan juga tidak tahu, ketika ada pesanan besar jadi jarang akses perbankan, lebih memilih pinjam saudara,” terang Dyah Ayu Wecha Direktur Jala Lentera Indonesia (Jalatera), yayasan yang melakukan pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Jalatera selama beberapa waktu belakangan menjadi mentor Wiwiek dalam memahami literasi keuangan digital. Mereka juga membimbing perempuan-perempuan lain di Surakarta agar bisa lebih berdaya dan bersaing secara ekonomi.
Ya, para perempuan ini sering kali sulit ketika harus mengakses ragam fasilitas keuangan untuk bisnis, seperti membuka rekening, mengurus Nomor Induk Berusaha (NIB), atau Izin Usaha Mikro Kecil (IUMK).
NIB ibarat Nomor Induk Kependudukan (NIK) pada KTP, sedangkan IUMK merupakan Surat Izin Mengemudi (SIM) untuk pengusaha, khususnya dalam bisnis skala mikro dan kecil. Pengusaha perempuan asuhan Jalatera, misalnya, lazim harus meminta izin para suami maupun keluarga laki-laki sebelum membuka akun-akun tersebut.
Tantangan terkait akses keuangan digital dalam menggerakkan roda perekonomian mikro tak cuma dirasakan Wiwiek. Perempuan disabilitas lebih repot lagi karena menghadapi beban berlapis terkait kesenjangan fasilitas yang tak ramah disabilitas.
“Sebagai contoh, untuk disabilitas netra, kadang di awal kita bisa mengakses akun (perbankan). Namun jika ada pembaharuan itu membuat kita tak bisa masuk akun kembali, tIdak terbaca oleh screen reader (aplikasi yang mengubah teks menjadi suara),” ungkap Mahretta Maha, salah satu peserta pelatihan inklusi keuangan dari Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI).
Data Kementerian Koperasi, Usaha Kecil, dan Menengah menyebut 53 persen usaha mikro dan 51 persen usaha kecil dimiliki perempuan.
Jumlah sebesar itu belum juga dibekali oleh kemampuan digital yang maksimal. Studi bertajuk “Survei Literasi Digital Kementerian Komunikasi dan Informasi 2021” mengungkap bahwa kemampuan dan keamanan digital perempuan lebih rendah ketimbang laki-laki.
Kajian Women's World Banking (2021) menyatakan bahwa 64 persen pebisnis perempuan bahkan belum menggunakan QRIS sebagai alat bayar. Padahal metode pembayaran tersebut sudah lazim digunakan dalam setiap transaksi jual-beli. Tak cuma itu, 73 persen dari mereka juga belum menggunakan media sosial untuk pemasaran.
Bagaimana mau melek teknologi digital, jika menurut Badan Pusat Statistik (BPS) dari segi penggunaan ponsel dan internet saja perempuan masih berada jauh di bawah laki-laki?
“Perempuan mengalami banyak kesulitan dalam memulai, mempertahankan, dan mengembangkan usaha dibanding laki-laki,” ujar Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian PPPA Lenny N. Rosalin dalam diskusi terbatas mengenai inklusifitas keuangan digital beberapa waktu lalu.
Menurut Lenny, norma gender yang diskriminatif serta tingginya beban pengasuhan tak berbayar menjadi salah satu faktor penghalang bagi perempuan untuk maju secara ekonomi. Ketika dalam “masa produktif” banyak perempuan mengalah karena beban pengasuhan dipikul sepenuhnya oleh mereka.
Peran domestik tersebut memberikan kesempatan perempuan untuk bersosialisasi ikut berkurang. Walhasil, efek domino lain merembet, perempuan jadi sulit punya akses finansial mandiri, sulit mengembangkan keterampilan, tak punya jejaring usaha, dan literasinya rendah terhadap aset produktif.
“Padahal perempuan-perempuan ini sangat potensial, menyangga kokohnya pilar ekonomi negara. Laki-laki harus memperkecil gender gap dengan ikut dalam tugas domestik dan pengasuhan,” tukas Lenny.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) pada kelompok perempuan memang masih bersatus sedang, sedangkan laki-laki berstatus tinggi. Begitu pula dengan Indeks Ketimpangan Gender (IKG).
IPM diukur berdasar angka harapan hidup, lama sekolah, dan pengeluaran per kapita. Sementara IKG dihitung dari angka kematian ibu, KB/perkawinan anak, angka kelahiran remaja, partisipasi perempuan dalam parlemen, penduduk dengan pendidikan menengah, dan ketenagakerjaan.
Peringkat IKG Indonesia (2021) berada di urutan 110 dari 170 negara di dunia. Jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN, negara kita ada di urutan ketujuh dari 10 negara.
Tahun lalu, Wiwiek ikut dalam pelatihan literasi keuangan digital yang dibuat oleh Jalatera.
“Termasuk pengetahuan agar tidak terjebak pinjaman online dan pengurusan sertifikasi halal untuk produk kuliner,” terang Dyah.
Sebelum pelatihan, hanya sekitar 20 persen organisasi asuh Jalatera yang memahami dan menerapkan akses keuangan digital. Namun kini, setidaknya seluruh organisasi asuh Jalatera sudah bisa membuka promosi bisnis lewat chat WhatsApp dan pembayaran melalui transfer bank.
Wiwiek bahkan telah memiliki NIB dan IUMK.
“Beberapa sudah membuat pembukuan (bisnis) terpisah, dan digital, menggunakan aplikasi SI APIK punya Bank Indonesia,” lanjut Dyah.
Nia, 40 tahun, salah satu “anak asuh” Jalatera bahkan langsung banjir order saat pertama kali pelatihan berjualan di lokapasar. Dia sudah berjualan berbagai macam produk sejak 2012, tapi banting setir ke kuliner bakso goreng (basreng) pada akhir 2021.
“Itu baru buka (akun) di pelatihan, selang setengah jam masuk 6 kilo lebih. Jadi, memang melek teknologi digital itu bagus dan penting buat bisnis kita,” katanya.
Sementara itu, Revita Alvi Ketua Umum HWDI (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia) turut memberi respon positif.
“Sebelum mengikuti pelatihan, peserta tidak pernah mencatat keuntungan usaha. Setelah pelatihan, mereka semakin memahami pencatatan dalam segala transaksi,” papar Revita.
Para peserta yang mendapat pelatihan juga menurunkan ilmu mereka pada wirausaha lain. Hasilnya, 535 perempuan disabilitas dari berbagai provinsi mendapatkan informasi dan keterampilan yang sama.
Bahkan regulator (OJK, Bank Indonesia) dan berbagai penyedia layanan perbankan serta platform digital, seperti BCA, BRI, Dana, Tokopedia, Link Aja, Blu BCA, dan Labamu, jadi mendapat pemahaman terkait inklusi disabilitas.
Artinya, kerja sama tersebut turut mendorong perubahan literasi keuangan yang lebih inklusif.
“Perempuan disabilitas bangkit membuktikan mereka layak untuk diperhitungkan. Kerja-kerja strategis mereka tidak bisa lagi dianggap remeh karena telah turut berkontribusi terhadap pembangunan,” pungkas Revita.
*Artikel ini pernah tayang ditirto.iddan kini telah diubah sesuai dengan kebutuhan redaksional diajeng.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi & Yemima Lintang