tirto.id - Tahun ini hampir tidak ada kejutan yang berarti di skena musik lokal. Semuanya berjalan dengan datar: hip hop masih berupaya menegaskan eksistensinya, folk sudah mulai kehilangan pamor, dan pop tengah mencoba meraih pasar baru.
Hal yang sama juga terjadi pada rilisan album. Nyaris tidak ada kehadiran yang monumental seperti saat Melancholic Bitch merilis NKKBS Bagian Pertama dua tahun silam; atau ketika Efek Rumah Kaca mengeluarkan Sinestesia dan Silampukau melepas Dosa, Kota, dan Kenangan pada 2015. Band-band tak ubahnya seperti bergerak dalam senyap.
Meski demikian, kancah musik lokal tetap bergemuruh. Dan berikut 10 album terbaik yang menggambarkan gemuruh itu sepanjang jalannya 2019.
Vira Talisa, Primavera
Sosok Vira Talisa sudah mencuri perhatian khalayak sejak mengunggah karya-karya cover-nya di kanal Soundcloud sekitar dua-tiga tahun lalu. Kendati hanya bermodal perkakas akustik, Vira tetap tampil maksimal. Suaranya renyah, meneduhkan, sekaligus membuai telinga. Berkat itu, popularitasnya cepat melambung.
Kiprahnya dalam bermusik semakin memperoleh legitimasi tatkala ia merilis album debut bertajuk Primavera. Kali ini, Vira tak ingin setengah-setengah. Ia bukan lagi Vira yang tampil ala kadarnya seperti yang publik dengar di Soundcloud. Dalam Primavera, Vira adalah primadona di dunianya sendiri.
Semesta Vira dan Primavera dibangun atas keriaan musim panas, romantisme Cannes, serta sensibilitas menangkap warna musik pop Perancis 1960-an ala Françoise Hardy yang catchy. Sebanyak delapan lagu, dari “Bunga”, “Janji Wibawa”, sampai “Down in Vieux Cannes”, merepresentasikan tiga hal tersebut dengan baik.
Di suatu sore yang cerah, Anda memutuskan bersepeda mengelilingi kota. Melarikan diri sejenak dari rutinitas yang membosankan atau tuntutan hidup yang terkadang begitu menyebalkan. Tidak bisa tidak: lagu-lagu Vira adalah teman perjalanan itu.
The Adams, Agterplaas
Selepas dua album pertama dirilis, hampir tak ada kebaruan yang ditawarkan The Adams. Susunan setlist tiap pementasan tetap sama: “Halo Beni” menjadi lagu pemantik koor massal dan “Konservatif” selalu diputar di babak penutup.
Sampai akhirnya, pertengahan Maret silam, The Adams berupaya memutus kebiasaan itu dengan melepas album baru berjudul Agterplaas.
Tapi, perjalanan dalam menghadirkan Agterplaas tak semudah yang dibayangkan. Tiga belas tahun berlalu hingga album ketiga ini hadir di tengah kerinduan dan penantian.
Beruntungnya, penantian tersebut terbayar tuntas. The Adams berhasil menyajikan apa yang telah menjadi karakternya: power pop yang menyenangkan. Gebukan Gigih masih bertenaga. Saleh dan Ario berbagi peran dengan sama baiknya dan tak berebut panggung. Pandu memberi sentuhan yang menggugah selera.
Perbedaan yang mencolok terletak pada penulisan lirik. Kali ini tak ada lagu untuk kencan di Kota Tua, suka cita menyambut pesta, atau tangis yang pecah akibat ditinggal saat sedang sayang-sayangnya. Agterplaas adalah saksi atas quarter life crisis, hidup berkeluarga, dan pertanyaan: mau apa setelah ini?
The Adams melaluinya dengan menawan.
Zoo, Khawagaka
Berbicara soal musik eksperimental Indonesia, Anda wajib menyebut nama Zoo, kuartet asal Yogyakarta yang beranggotakan Rully Shabara, Bhakti Prasetyo, Ramberto Agozali, dan Dimas Budi Satya. Mereka adalah dedengkot musik eksperimental yang kiprahnya selalu mengundang decak kagum.
Musik, dalam perspektif Zoo, tak sekadar olah nada atau harmoni. Ia juga melibatkan tradisi, budaya, serta artefak sejarah yang tertimbun masa. Eksplorasi musik itu menuntun Zoo pada penemuan yang mungkin tak terlintas di benak kita.
Upaya semacam ini ditempuh sejak 2009, ketika mereka melepas Trilogi Peradaban, dan kemudian berlanjut pada Prasasti (2012) hingga Samasthamarta (2015). Ketiga album menjadi lintasan waktu Zoo melakoni pencarian akan sisa-sisa warisan leluhur dalam bentuk prasasti atau manuskrip kuno.
Album Khawagaka semakin menyempurnakan ekspedisi itu. Di album barunya, Zoo menawarkan keliaran yang paripurna. Kedahsyatan vokal Rully, yang terdengar seolah sedang merapal mantra suci, berkelindan raungan melodi yang abstrak serta ketukan-ketukan ganjil dari alat perkusi.
Mereka menjadikan nomor-nomor macam “Agakana”, “Gasyila”, “Ahr-Taba”, sampai “Usadana” sebagai prosesi ritual yang magis dan khidmat.
Zoo menyusun musik dengan konstruksi yang tak biasa. Anda—juga saya—mungkin membutuhkan waktu tak sedikit guna memahami arah kreasi Zoo. Tapi, justru di situlah esensi dari eksistensi Zoo: membebaskan kita untuk menafsirkan segalanya sesuai isi kepala.
Polka Wars, Bani Bumi
Album debut yang bernas biasanya meninggalkan beban bagi sebuah band: bisakah mereka mengulang hal serupa di karya selanjutnya? Jawabannya tergantung dengan siapa Anda bertanya. Bila pertanyaan tersebut Anda tujukan kepada Polka Wars, maka jawabannya cuma satu: bisa.
Axis Mundi, yang sedikit-banyak terpengaruh Radiohead maupun Cocteau Twins, tak bisa dipungkiri menjadi album debut yang kompleks. Polka Wars memainkan musik yang cukup unik: meleburkan elemen elektronik dan rock alternatif dengan progresi chord yang tak mudah ditebak. Antara satu lagu dan yang lain punya keterikatan, baik secara tema maupun kreasi, sehingga menjadikannya seperti sebuah konsep utuh.
Kiprah apik tersebut diteruskan Polka Wars di album anyarnya, Bani Bumi. Ketimbang Axis Mundi, album kedua Polka Wars cenderung lebih sederhana. Secara aransemen, lagu-lagu Bani Bumi condong ke pop, kendati di satu-dua track berimprovisasi dengan sedikit anasir post-rock atau aransemen a la Bach. Selain itu, Polka Wars juga berani mengembangkan lirik-lirik dengan bahasa Indonesia, sesuatu yang tak dijumpai di Axis Mundi.
Pada akhirnya, Bani Bumi membuktikan bahwa Polka Wars tak sekadar jago membanyol di media sosia. Mereka dapat membikin album yang melampaui ekspektasi.
Isyana Sarasvati, LEXICON
Isyana Sarasvati memberi kejutan menjelang 2019 tutup buku lewat album bertajuk LEXICON. Kemegahan menjadi kesan pertama yang saya tangkap tatkala memutar seluruh lagu yang ada di dalamnya.
LEXICON menyajikan permadani pop yang sangat dinamis dan tak sekadar membeo pada pasar. Pop yang bisa jadi berada di luar kebiasaan produksi label besar.
Di album ini menunjukkan bahwa Isyana tak hanya jago menyanyi, tapi juga mahir menyusun aransemen. Persenyawaannya dengan piano klasik telah melahirkan nada-nada yang berwarna: muram dan optimis. Bahkan, di nomor “Lexicon”, Isyana mendobrak sekat tradisinya: ia meleburkan pop bersama alunan rock yang bertempo cepat.
Saya membayangkan Isyana melangsungkan konser tunggal, di sebuah hall yang luas, dan membawakan semua lagu LEXICON dengan iringan departemen gesek maupun choir yang membahana. Bila itu benar-benar terwujud, saya tak ragu untuk membeli tiketnya sesegera mungkin. Karena saya—dan Anda harusnya demikian—percaya bahwa penampilannya bakal memukau.
Doyz, Demi Masa
Apa jadinya bila dua veteran hip hop lokal memutuskan turun gunung untuk membikin karya bersama? Sebuah album yang, mungkin, dalam dua dekade lagi ditahbiskan sebagai magnum opus skena hip hop lokal.
Demi Masa digarap oleh Doyz dan Margue Vanguard, atau yang kita kenal dengan Herry Sutresna alias Ucok. Keduanya bisa dibilang pelopor hip hop di Indonesia. Ucok, seperti kita tahu, mekar bersama Homicide. Sementara Doyz sempat malang melintang di kancang hip hop dengan entitas Blakumuh serta P-Squad.
Total 12 lagu yang termaktub dalam Demi Masa menjadi arena kedua Ucok dan Doyz untuk saling tukar pikiran atas perkara personal sampai politis. Rima mereka meluncur dengan deras layaknya sebuah kanon yang menyerang rezim tiran, korporasi rakus, aparat brengsek, dan macam-macam bani penindas lainnya.
Rich Brian dan The Sailor memang menyilaukan mata. Tapi, Demi Masa jauh terasa lebih relevan.
Jirapah, Planetarium
Lama tak terdengar kabarnya, sebagaimana band-band independen Indonesia era 2000-an, Jirapah kembali datang dengan membawa persembahan: Planetarium.
Planetarium adalah wahana di mana Anda bisa menikmati perjalanan luar angkasa kapan pun Anda mau. Anda tak perlu SpaceX atau NASA untuk ‘terbang’ mengitari semesta. Tinggal putar semua lagu di Planetarium, dan niscaya sensasi luar angkasa seketika singgah di kepala.
Ketimbang karya-karya terdahulu, Planetarium terdengar lebih matang, baik dari sisi penulisan lirik—yang menggunakan bahasa Indonesia—maupun secara musikalitas. Kombinasi progresi nada yang ganjil serta eksplorasi atas sound yang tak lazim telah melahirkan lanskap sureal di setiap lagu Jirapah. Komposisi macam “Menapak”, “Matahari”, “Nafas”, sampai “Menjamur” merupakan gambaran terbaiknya.
Bila Anda butuh eskapisme, Planetarium menyediakannya secara paripurna.
Zigi Zaga, Psycho Mob
Rusuh, liar, dan cara terbaik untuk bersenang-senang—tiga hal yang lekat dengan album Psycho Mob garapan Zigi Zaga. Kuartet rock bikinan Eka Annash, pentolan The Brandals, ini paham bagaimana menyegarkan palagan independen dengan lagu-lagu yang keras dan berbahaya.
Zigi Zaga banyak terpengaruh para eksponen lawas seperti Talking Heads, Motorhead, Black Sabbath, sampai Benny Soebardja. Lagu-lagu mereka dibangun dari permainan solo yang gahar, riff gitar yang kasar, pukulan drum yang tak beraturan, serta lengkingan vokal yang membelah circle pit.
Anda tak percaya? Silakan simak “Kill the Noise”, “Losing Control”, atau “Doomed Alice” yang merepresentasikan bagaimana kerusuhan itu berjalan.
Menanti album baru The Brandals, mungkin, menjadi laku hidup yang dipenuhi ketidakpastian. Jangan khawatir: Zigi Zaga berupaya mengisi kekosongan itu.
Dialog Dini Hari, Parahidup
Jika Tentang Rumahku bercerita tentang kerinduan, kehangatan kampung halaman, dan segala sesuatu yang melankolis, maka Parahidup berbicara mengenai nyala terang keberanian menghadapi dunia yang tak baik-baik saja.
Di album ini, Dialog Dini Hari tak banyak merombak musikalitasnya, kendati dalam beberapa lagu mereka tak ragu untuk berimprovisasi, seperti di “Hidup” yang kental dengan aroma blues-rock sebelum akhirnya berpindah haluan ke pop, atau di track “Jerit Sisa” yang diselimuti bebunyian elektronik yang sederhana namun terasa sedap.
Nomor terbaik, tidak bisa tidak, adalah “Cahaya Perkasa”. Aransemen mereka terdengar berwarna dan membentuk senyawa yang sungguh memikat.
Folk mungkin mulai kehilangan pamor. Tapi itu tak berlaku untuk Dialog Dini Hari.
FSTVLST, II
Album Hits Kitsch (2014) menandai kiprah baru FSTVLST di belantara rimba skena independen lokal. Pengaruh rock a la The Strokes, yang dipadukan kemahiran Farid Stevy membungkus lagu dengan lirik-lirik yang asyik, telah berkontribusi melahirkan kerumunan massa yang bungah. Kerumunan yang hanya menantikan momen untuk bersukacita di bawah atap yang sama: musik.
Setiap FSTVLST tampil, orang-orang larut dalam ombak moshpit dan berbagi keriaan dengan koor massal yang membahana ketika tembang “Bulan Setan atau Malaikat” sampai “Menantang Rasi Bintang” dimainkan. Seperti kata Farid, bahagia itu sederhana dan konser-konser FSTVLST adalah jaminannya.
Lima tahun usai fase Hits Kitsch, FSTVLST kembali menghadirkan keriaan dalam wujud II. Kendati dirilis secara terpisah, lagu-lagu album II, seperti “Gas!”, “Rupa”, sampai “Mesin”, tetaplah menyimpan kadar keliaran yang serupa—atau lebih—seperti era Hits Kitsch.
Dan dengan II, FSTVLST masih bahagia di jalur yang sama.
------------------
Disclaimer: Naskah awal tulisan ini mencantumkan album Joe Million bertajuk Vulgar yang dirilis pada 2016. Kelalaian dalam proses penyuntingan membuat album tersebut masuk ke dalam tulisan ini.
Editor: Windu Jusuf