tirto.id - Kementerian Keuangan bakal melanjutkan pemberian insentif pajak atau tax holiday kepada perusahaan-perusahaan atau wajib pajak (WP) badan yang menanamkan modalnya pada industri pionir, seperti industri logam dasar hulu, industri pemurnian atau pengilangan migas, industri kimia dasar, hingga migas dan batu bara.
Meski begitu, seiring dengan penerapan aturan pajak minimum sebesar 15 persen dalam Pilar 2: Global Anti Base Erosion (BloBE) yang telah disepakati Indonesia, tax holiday yang diterima pengusaha juga akan disesuaikan. Nantinya, tax holidaytidak akan mencapai 50-100 persen seperti yang saat ini berlaku.
“Ke depan, kita tidak bisa lagi sepenuhnya mengandalkan tax holiday. Tax holiday akan tetap ada, tetapi kita tahu bahwa seluruh dunia memang juga akan melakukan adjustment terhadap tax holiday-nya,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu, kepada awak media usai acara 8th AIFC: Islamic Public Finance Role and Optimization di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat (4/10/2024).
Sesuai dengan prinsip pajak minimum global atau global minimum tax (GMT) yang diusulkan OECD, pembebasan pajak yang diberikan pemerintah nantinya minimal adalah 7 persen. Dus, dari tarif pajak penghasilan (PPh) Badan yang saat ini sebesar 22 persen, tax holiday untuk pengusaha minimal adalah 15 persen, sesuai dengan tarif GMT.
“Dengan demikian, untuk konteks Indonesia berarti kalau PPh Badan kita adalah 22 persen, maka tax holiday-nya maksimum sampai 15 persen. Jadi, kami bisa berikan 7 persen, [dari] 22 dikurang 15. Itu konteks tax holiday ke depan,” jelasnya.
Febrio sadar bahwa penetapan skema baru tax holiday itu bisa jadi akan menurunkan minat pengusaha berinvestasi di Indonesia. Meski begitu, pemberian tax holiday sampai 100 persen juga disadarinya seperti mensubsidi negara asal perusahaan investor.
Penetapan skema baru tax holiday itu juga merupakan hak Indonesia untuk memajaki para pemodal asing yang masuk ke Indonesia.
“Hak pemajakan itu memang akhirnya kalau tidak kita ambil, akan diambil oleh negara asal dari investornya. Jadi, kami tidak mau kondisi itu terjadi. Itu artinya sama saja kalau kita tetap berikan tax holiday yang sampai 0 persen, berarti yang 15 persennya akan dipungut oleh negara asalnya. Itu sama aja kita mensubsidi APBN negara lain. Itu kita tidak mau,” sambung Febrio.
Sehubungan dengan rencana penetapan skema baru tax holiday itu, Febrio mengaku pihaknya telah bertemu dengan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan Roeslani, dan perwakilan pengusaha untuk membahas insentif tambahan apa yang bisa diberikan kepada dunia usaha.
Pasalnya, jika kebijakan itu tidak dibarengi dengan pemberian insentif tambahan, Febrio khawatir skema baru tax holiday setelah penerapan GMT justru menimbulkan disrupsi pada kinerja industri pionir.
“Pertama dengan Menteri Investasi, kami pastikan itu tidak ada disrupsi. Jadi, kami perpanjang dengan existing termssehingga tidak akan ada disrupsi. Intinya ini akan segera kami selesaikan… Kami memahami dan juga Kementerian Investasi juga memahami hal yang sama, bahwa ke depan kita tidak bisa lagi sepenuhnya mengandalkan tax holiday,” ungkap Febrio.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi