tirto.id - Benarkah Zakir Abdul Karim Naik, “ulama” India yang pada awal April ini melakukan safari dakwah di Indonesia, mendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS)? Kita belum bisa menjawab pertanyaan ini secara positif dan tegas.
Yang baru bisa kita nyatakan ialah bahwa sejumlah orang yang ikut terlibat dalam aksi-aksi terorisme di Asia Selatan (India, Pakistan, dan Bangladesh), baik dari investigasi atau dari unggahan mereka di media sosial, terduga telah “terpengaruh” atau mendapat “inspirasi” dari ceramah-ceramah Zakir Naik.
Zakir bahkan kena kasus di negaranya sendiri karena ceramah-ceraamahnya. Saat artikel ini ditulis, Badan Investigasi Nasional (NIA) India telah dua kali memanggilnya, pada 14 Maret dan 30 Maret 2017. NIA akan menginvestigasinya bukan atas tuduhan mendukung ISIS, melainkan karena ceramah dan aktivitasnya dianggap telah “menyebarkan permusuhan atas dasar agama” dan “mengganggu harmoni sosial dan keagamaan”, dengan dugaan pelanggaran Pasal 153a & 153b Indian Kanoon, pasal yang kurang lebih seperti Pasal 156 dan 156a KUHP Indonesia tentang ketertiban umum dan penodaan agama.
Dengan dasar the Unlawful Activities of Prevention Act (UAPA), Kementerian Dalam Negeri India juga telah membekukan organisasi Zakir, Islamic Research Foundation (IRF), untuk lima tahun. IRF memang tidak sampai dinyatakan sebagai organisasi teroris, tetapi unlawful—antara lain karena melanggar dua pasal di atas.
Pemidanaan Zakir sebenarnya sudah lama berjalan. NIA mengklaim telah mengantongi 50 tersangka teroris yang terinspirasi ceramah Zakir, yang didaftar sejak peristiwa bom New Delhi 2005, yang berafiliasi dengan beragam gerakan seperti the Student Islamic Movement of India (SIMI), the Indian Mujahideen, Lashkar-e-Taiba, dan lain-lain. Dalam serangan Dhaka, pelaku teror kedapatan sebagai “penggemar” Zakir dari unggahan media sosialnya. Dan ISIS mengaku bertanggungjawab atas serangan di ibu kota Bangladesh pada 1 Juli 2016 tersebut.
Mendapat tuduhan sebagai inspirator teroris, Zakir tentu saja berupaya menyanggah. Sanggahannya cukup tipikal; bahwa ucapannya telah dimamah keluar dari konteksnya dan dipelintir media. Dalam vlog-nya, dia secara implisit menyampaikan bahwa dia tidak bisa dipersalahkan atas kelakuan “penggemarnya” yang terlibat dalam peristiwa Dhaka. Zakir juga menyalahkan media arus utama yang menggunakan kata “menginspirasi” untuk mendapat sensasi. Di vlog yang sama, dengan percaya diri, dan sedikit narsis, Zakir mengklaim lebih dari setengah muslim Bangladesh merupakan penggemarnya.
Dalam vlog lain, Zakir menyatakan bahwa ISIS seharusnya disebut “A-ISIS” (Anti-Islamic State of Iraq and Syria), karena membunuh orang tak bersalah adalah tindakan anti-Islam. Dia kerap bilang bahwa pandangan Islam soal terorisme sudah tegas, seperti bunyi QS Al-Maidah 32, ayat favorit yang selalu dikutipnya ketika ditanya mengenai terorisme: “Barang siapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh atau berbuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.”
Baiklah, dengan memakai asas praduga tak bersalah (tapi tak berarti tak boleh waspada), kita pegang pernyataan Zakir itu. Kaidah fikih menerangkan, “nahnu nahkumu biz-zhawahir wa Allahu yatawalla as-sara’ir”: Kita hukumi yang tampak, dan biarkan Dia mengurus yang tersembunyi dalam batin. Yang bisa kita katakan, paling tidak untuk sementara, dengan memberikan the benefit of the doubt kepada Zakir: dia tidak mendukung ISIS, hingga terbukti sebaliknya.
Tapi…
Bila menyimak ceramah-ceramahnya, beberapa pandangan Zakir memiliki kemiripan dengan justifikasi-justifikasi teologis yang digunakan ISIS untuk membenarkan tindak kekerasan. Karena panjang tulisan ini terbatas, tiga contoh laik dikemukakan.
Pertama, soal bom bunuh diri. Dalam satu ceramahnya, Zakir berkata bahwa bom bunuh diri pada dasarnya haram. Namun, sebagai sebuah strategi perang, para ulama, kata Zakir, berbeda pendapat. Dia mengutip pendapat—yang dikatakannya tanpa nuansa keberatan—Salman Al-Audah dan Safar al-Hawali, keduanya asal Arab Saudi, yang menyatakan bom bunuh diri boleh sebagai strategi perang, yakni ketika musuh sudah mengepung dan terlalu kuat, dan bom bunuh diri menjadi pilihan terakhir (the last resort), seperti yang terjadi di Palestina dan Irak.
Di antara dalil yang untuk menjustifikasi itu ialah pembahasan dalam fikih klasik tentang al-inghimas fis-shaff (arti harfiah: menceburkan diri ke dalam barisan [musuh]), yang dilandaskan pada satu riwayat tentang perang di zaman Sahabat ketika seseorang merelakan dirinya masuk ke kandang musuh sementara ia yakin betul bahwa dia akan mati. Yang membedakan, al-inghimas fis-shaff dulu tak menggunakan bom.
ISIS berpandangan sama, hanya berbeda dengan Zakir dalam hal siapa yang layak jadi target bom bunuh diri. ISIS mempunyai satu panduan khusus tentang kebrutalan sebagai strategi, yang termaktub antara lain dalam buku Idarah al-Tawahhusy (arti harfiah: Manajemen Brutalitas), yang ditulis oleh Abu Bakr Naji: Brutalitas adalah watak dasar perang yang tak terhindarkan; dan brutalitas, seperti bom bunuh diri, boleh dipakai sebagai strategi deterrence guna ‘menggentarkan’ (irhab) musuh.
Kedua, soal perbudakan. Dalam vlog yang ia buat untuk mengklarifikasi pandangannya tentang perbudakan yang menurutnya telah diplintir media, Zakir berkata bahwa Al-Quran membolehkan para lelaki berhubungan seksual dengan istri dan budak (istilah Al-Quran: ma malakat aymanukum, yang dimiliki tangan kananmu). Dalam vlog itu, dia juga berujar bahwa para ulama berbeda pendapat; sebagian ulama menyatakan bahwa perbudakan sudah dihapus untuk selamanya, dan sebagian yang lain berpandangan, meski sudah dihapus, perbudakan boleh jadi akan kembali muncul. Ketika perbudakan muncul lagi, lanjutnya, “Al-Quran adalah satu-satunya kitab suci yang memiliki aturan perbudakan.” Lebih jauh, “Hal ini ada ayatnya dalam Al-Quran, dan jika seorang muslim menentangnya berarti dia telah melawan Allah.”
ISIS punya pandangan yang mirip. ISIS pernah menerbitkan pamflet berjudul Su’al wa Jawab fis-Saby war-Riqab (Pertanyaan dan Jawaban tentang Tawanan dan Budak) yang kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam sebuah booklet yang terbit pada Syawal 1436 H berjudul As-Saby: Ahkam wa Masa’il (Tawanan Perang: Hukum dan Masalah-Masalahnya). Intinya, ISIS berpandangan bahwa tawanan perang boleh dijadikan budak. Lebih dari itu, ISIS bukan sekadar berpendapat, melainkan juga sudah mempraktikkannya. ISIS telah memperbudak ratusan wanita Yazidi setelah berhasil menguasai kampung mereka di kawasan Gunung Sinjar, Irak, pada 2014 lalu. Sebagian wanita Yazidi yang diperbudak kini telah berhasil keluar, baik dengan melarikan diri atau ditebus orang lain; dan sebagian lain masih disekap.
Ketiga, soal hukuman bagi orang yang murtad. Dalam ceramahnya di Gambia pada 2014, Zakir berkata bahwa dalam negara Islam, jika seorang muslim murtad, dan kemudian hakim (qadhi) negara Islam itu memutuskan hukuman mati untuknya, maka pemerintah negara Islam berhak membunuhnya. Ini berlaku, kata Zakir, hanya dalam negara Islam.
Hukuman mati untuk orang yang murtad ini merupakan isu klasik dalam perdebatan Islam dan kebebasan beragama. Pangkal masalahnya ialah karena ada hadis riwayat al-Bukhari: “Barang siapa mengganti agamanya maka bunuhlah dia” (Man baddala dinahu faqtuluh). Banyak ulama kontemporer yang telah berupaya menafsir ulang hadis itu karena melihat inkompatibilitasnya dengan semangat zaman (zeitgeist) modern. Namun, Naik tampaknya tak tertarik menafsir ulang hadis itu.
Dalam soal ini, sekali lagi, ISIS bukan saja berpandangan mirip dengan Naik, melainkan sudah mengklaim dan mendirikan negara Islam, dan secara aktual telah mengeksekusi orang-orang yang dipandangnya murtad. Justifikasi teologisnya ialah hadis tadi; dan tentu saja ISIS menolak adanya penafsiran ulang. Lebih jauh, karena mengidap overdosis takfir, ISIS mendefinisikan Islam dengan sangat sempit (Islam adalah yang sepemahaman dengan dirinya); dan karena itu besar potensinya bagi seseorang untuk dipandang murtad dalam kacamata ISIS.
Dari ketiga pandangan itu saja, Anda bisa membayangkan seorang remaja yang sedang gundah-gulana, punya kecenderungan jiwa yang keras, suka bertengkar, dan tak menolerir perbedaan pandangan, dan kebetulan sedang tertarik pada ISIS dan pada saat yang sama menggemari Zakir Naik. Besar kemungkinan remaja itu akan mendapatkan kemantapan untuk bergabung dengan ISIS.
Itu pun baru tiga contoh. Pandangan-pandangan Zakir yang lain bisa diproblematisasi, seperti haramnya alat musik selain rebana (duff); bolehnya suami menikah lagi tanpa izin istri pertama; tidak bolehnya mendakwahkan ajaran selain Islam di negara Islam karena Islam satu-satunya agama yang benar yang nilai kebenarannya setara kebenaran 2 x 2 = 4; dan seterusnya.
Dengan pandangan-pandangan semacam itu, bukan hal mengherankan jika Zakir tak disukai bukan hanya oleh orang-orang yang tak beragama Islam melainkan juga banyak orang Islam sendiri. Di India, lembaga fatwa dari madrasah yang mencetak para ulama Deobandi (gerakan Islam terbesar kedua setelah Barelvi), Darul Ulum, telah berulang kali mengeluarkan fatwa terhadap Naik. Beberapa kali fatwa Deobandi menyatakan bahwa Zakir “bukan orang yang mengikuti empat mazhab utama Sunni” (ghayru muqallidin) dan “tidak layak didengarkan” karena tak punya otoritas untuk bicara agama.
(Madrasah Darul Ulum Deobandi memiliki pendidikan berjenjang bertahun-tahun dari tingkat dasar hingga tertinggi, Takmil Ifta—untuk mencetak para mufti. Sementara Zakir, yang oleh sebagian penggemarnya disebut “ulama”, tidak pernah mengenyam pendidikan tradisional keislaman.)
Tentang ISIS, bila benar dia menolaknya, Zakir sesungguhnya bisa memilih untuk lebih keras lagi menolak, misalnya dengan mengutip Letter to Baghdadi—yang berisi argumen membantah justifikasi-justifikasi keagamaan ISIS dan telah ditandatangani ratusan ulama dan cendekiawan muslim berpengaruh sedunia. Tapi Zakir tak melakukannya. Entah karena dia tak tahu, atau tahu tapi sengaja mengabaikannya.
Untuk tahu apakah dia tahu atau tak tahu, Antum sekalian yang berencana hendak menghadiri ceramahnya bisa menanyakan langsung. Poin-poin di atas sudah lumayan keren untuk jadi bahan pertanyaan, kan?
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.