tirto.id - Sejumlah penyintas tragedi 65 yang tergabung dalam Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 65 mendesak Komnas HAM menindaklanjuti temuan kuburan massal korban tragedi 1965. YPKP menemukan 162 lokasi kuburan massal dan jumlah itu masih bisa bertambah.
"Komnas HAM perlu membentuk tim investigasi kuburan massal, menindaklanjuti temuan YPKP 65 tentang kuburan massal, melakukan nisanisasi, memorialisasi, merawat dan menjaga situs kuburan massal," tulis Ketua YPKP 65 Bedjo Untung melalui keterangan tertulisnya, Senin (22/1/2018).
Berdasarkan data YPKP 65, sebanyak 162 lokasi kuburan massal yang telah berhasil diidentifikasi itu tersebar di 12 provinsi, seperti Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi.
Provinsi Jawa Tengah menjadi lokasi dengan jumlah kuburan massal terbanyak. Di provinsi ini terdapat 66 lokasi kuburan massal. Jumlah mayat di dalamnya beragam, mulai dari 4 orang, sampai 2.000 orang di kabupaten Grobogan.
Jawa Timur menjadi provinsi kedua dengan jumlah lokasi kuburan massal terbanyak. Setidaknya terdapat 48 lokasi kuburan massal di provinsi ini yang tersebar di 10 kota. Di desa Parang, kabupaten Magetan, dalam satu lokasi kuburan massal terdapat sekitar 500 mayat.
Berbeda dengan pola pembantaian di Jawa, YPKP 65 menyebut mayat korban pembantaian '65 di Sumatera Utara mayoritas dibuang ke sejumlah sungai.
"Pembunuhan di Sumatera Utara sebagian besar dibuang ke kali, Sungai Ular, Sungai Wampu, Sungai Asahan," sebut YPKP dalam keterangan tertulisnya. Diperkirakan ada 2.000 sampai 3.000 orang yang menjadi korban dalam pembantaian ini.
YPKP 65 pun menyebut pembantaian juga terjadi di sejumlah provinsi di Kalimantan, Sulawesi, dan Bali. "Lokasi kuburan massal masih terus akan bertambah," kata Bedjo.
Menanggapi hal itu, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan pihaknya akan menampung segala temuan baru YPKP. Pasalnya, proses pengungkapan sejarah '65 masih menghadapi stagnansi.
Damanik menilai, dalam beberapa hal, faktor politik menjadi penentu dalam upaya pengungkapan tragedi 65. "Kalau sudah kendalanya stagnansi akibat politik, maka tentu pemimpin politik lah yang kita dorong untuk berada di depan, tapi Komnas [HAM] akan dukung,"
Damanik pun menambahkan tragedi '65 adalah hutang sejarah bangsa Indonesia. Untuk itu ia meminta kepada semua pihak untuk berhenti memberikan stigma dan duduk bersama untuk mencapai rekonsiliasi.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Alexander Haryanto