tirto.id - Siti Sukrisno masih bisa mengingat masa kecilnya di sebuah rumah yang terletak di Jalan Kebun Binatang, Jakarta Pusat. Ia kini menetap di Belanda tapi anjing dan piano Steinway di rumah itu masih sering membayangi pikirannya.
“Peristiwa-peristiwa dan saya kenang rumah itu karena itu dimana saya lahir dan kenang,” kata perempuan berusia 69 tahun sambil terisak di seberang telepon.
Nama jalan di muka rumah itu mengacu pada kebun binatang seluas 10 hektar yang didirikan Belanda pada 1864 bernama Planten En Dierentuin. Seiring kemerdekaan, nama kebun binatang itu berubah menjadi Kebun Binatang Cikini yang kemudian dipindah pemerintah pada 1964.
Sayangnya masa-masa indah tinggal di daerah elit Jakarta itu sirna kala Siti dan keluarganya harus hengkang dari Indonesia saat ia berusia 12 tahun.
Saat itu 1965, kondisi politik di Indonesia memanas pasca penculikan dan pembunuhan sejumlah jenderal Angkatan Darat di Jakarta. Partai Komunis Indonesia dituduh menjadi biang kekejaman, sementara simpatisan Soekarno disingkirkan. Peristiwa itu berujung pada perpindahan kekuasaan Presiden Soekarno kepada Soeharto.
Ayah Siti, Sukrisno, yang ditugaskan sebagai Duta Besar republik Indonesia untuk Vietnam di Hanoi, memilih tak pulang. Alasannya, antipati terhadap kondisi politik dan perlakuan semena-mena rezim Orde Baru terhadap kader PKI dan organisasi sayapnya.
Tragedi politik itu sampai ke rumah Siti. Seorang perwira tinggi militer Angkatan Udara mewanti-wanti ibunya untuk meninggalkan rumah. Tak lama, ia menggandeng tangan Siti menyusul Sukrisno ke Hanoi.
Keluarga Siti hanya tinggal sementara di Hanoi. Mereka sempat luntang-lantung di beberapa kota di Cina, hingga akhirnya menetap di Belanda.
Sejak itu rumahnya di Jalan Kebun Binatang (sekarang menjadi Jalan Cikini) sudah beralih tangan. Ia mendapat informasi dari seorang kerabat bahwa rumahnya disita berdasar surat perintah pengosongan rumah atas nama Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah Djakarta Raja yang ditandatangani seorang perwira berpangkat letnan kolonel.
Rumah itu pun dipakai sebagai rumah dinas perwira menengah. Sejak saat itu Siti menyadari bahwa rumah masa kecilnya sudah beralih ke penguasa militer setempat saat itu.
Siti sempat meminta kerabatnya di Indonesia untuk mengurus berkas-berkas penguasaan lahan tersebut ke Kementerian Agraria.
“(Tapi) mereka sudah ubah akta tanahnya yang lama,” kata Siti.
Ayahnya pernah meminta bantuan seorang pengacara kondang di Jakarta untuk mengurus rumah tersebut. Saat itu, Sukrisno merupakan satu-satu anggota keluarga yang tak mau melepas kewarganegaraan Indonesianya meski berpuluh tahun tinggal di Belanda. Namun upaya itu gagal juga dengan alasan advokat beranggapan ia menelantarkan aset.
“Bagaimana menelantarkan? Bapak saya sampai dia meninggal tahun 97 (kalau menurut data 1999) enggak mau masuk warga negara (WN) Belanda, karena peraturan pemerintah Indonesia begitu masuk WN Belanda hak kita atas tanah hilang dan sampai dia meninggal bapak saya enggak mau masuk WN Belanda,” kata Siti.
Terakhir informasi yang ia dapat, rumah itu digunakan sebagai kantor penghubung milik salah satu pemerintah provinsi.
Nasib serupa juga dialami Astuti Ananta Toer, putri sastrawan Pramoedya Ananta Toer. Rumah milik ayahnya di Rawamangun, Jakarta Timur dikuasai militer. Padahal berbagai aset berupa karya sastra disimpan di rumah itu.
“Rumah Pak Pram itu, satu rumah itu (berisi) buku,” kata perempuan berusia 70 tahun yang kini tinggal di wilayah Bojong Gede, Bogor, Jawa Barat.
Astuti dan keluarganya harus kehilangan rumahnya kala Pram ditangkap oleh militer. Mereka harus menumpang di rumah saudaranya di daerah Batu Tulis, Jakarta Pusat. Ia pun sempat juga tinggal secara klandestin di Utan Kayu, Jakarta Timur.
Belakangan Astuti mengetahui rumah tersebut sudah diduduki dan dijadikan tempat tinggal personel militer. Sesekali ia menyambangi dan mengecek dari luar rumah.
Keluarga Pram sendiri pernah mencoba merebut lagi rumah itu melalui jalur pengadilan pada 1980-an. Sayang mereka kalah. Hingga saat ini pun Astuti tidak mengetahui siapa yang sudah menduduki rumah tersebut.
Namun kehilangan terbesar bagi Astuti bukan rumah itu melainkan naskah-naskah yang belum terbit di rumah tersebut. “Kalau rumah itu yang kedua lah,” kata Astuti.
Sejumlah dokumen berharga milik Pram hilang seiring rumahnya disita. Setidaknya 19 draft, baik karya fiksi dan non fiksi yang raib. Di antaranya adalah naskah yang merupakan bagian dari rangkaian roman sejarah ‘Arus Balik’, yakni ‘Mata Pusaran’ dan juga kelanjutan dari ‘Panggil Aku Kartini Saja’. Selain itu ada juga sebuah draft untuk calon ensiklopedi Indonesia.
Nahas, karya-karya tersebut tak pernah terbit lantaran draf-nya lenyap. Belakangan, naskah ‘Mata Pusaran’ ditemukan di satu toko di Kwitang, Jakarta Pusat dalam kondisi rusak.
Mantan ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Yosep Adi Prasetyo atau Stanley mengatakan penyitaan aset milik mereka yang dianggap terafiliasi dengan PKI dan organisasi sayap-nya, terjadi di bawah komando militer.
Tak hanya itu, penyitaan juga terjadi pada aset milik pemerintah Cina dan juga warga peranakan setelah Orde Lama jatuh. Menurut Yosep hanya kategori aset ini yang terdata oleh Kementerian Keuangan. Kisarannya sampai sekitar 1.345 aset, seperti dikutip dari Tempo saat mewawancarai Direktur Jenderal Kekayaan Negara Hadiyanto pada 2007 silam.
Di luar itu, menurut Stanley, data aset sitaan milik mereka yang merupakan tahanan politik dan dituduh berafiliasi dengan PKI lainnya masih terserak.
Hingga kini pengembalian aset atas penyitaan itu jarang terjadi. Ia memperkirakan berhasilnya pengembalian aset rata-rata terjadi di wilayah Jakarta, itu pun terbatas aset milik lingkaran elit penguasa Orde Lama. Pengembalian aset itu, kata Yosep, dibekingi Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang berlatar militer.
"Karena Ali Sadikin, waktu gubernur (DKI Jakarta), dia mengusir seluruh tentara yang mencoba menguasai (aset)," kata Stanley.
Yosep pun menyebut banyak di antara mereka menumpang di keluarga dan juga rumah penampungan eks tahanan politik. Seperti eks tahanan di Pulau Buru, Effendi Saleh, cucu tokoh pergerakan Indonesia, Soekaesih.
Rumah yang ditinggali Effendi dan Soekaesih di bilangan Salemba, digerebek oleh sebuah organisasi pemuda pada 1966. Penggerebekan ini menyebabkan Effendi yang juga anggota serikat buruh perusahaan Unilever di tahun 60-an kabur dari rumah itu.
Sementara, neneknya mengungsi ke wilayah Cipinang. Sejak saat itu Effendi terpisah dari neneknya. Belakangan bidang lahan rumahnya itu dikuasai oleh sebuah rumah sakit swasta.
Ia pun sempat ditangkap militer pada 1969 dan sempat dibuang ke Pulau Buru. Setelah beberapa tahun menjalani pembuangan di Pulau Buru, ia pulang ke Jakarta. Dari situ, Effendi yang kini tak punya tempat tinggal, hidup berpindah-pindah tempat.
Dari satu proyek ke proyek lain. Dari satu kantor LSM ke LSM lain. Hingga sampai hari ini ia menumpang di wisma milik Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) di usianya yang menginjak 84 tahun.
“Saya menggelandang aja,” kata Effendi.
Joan Aurelia berkontribusi dalam liputan ini.
Penulis: Johanes Hutabarat
Editor: Adi Renaldi