tirto.id - Pagi-pagi buta para pemuda membawa Sukarno, Hatta, Fatmawati, dan Guntur ke Rengasdengklok. Rombongan semula dibawa ke asrama Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) di Rengasdengklok. Prajurit di asrama itu tak lebih dari 100 orang.
Setelah itu mereka diamankan di rumah seorang petani keturunan Tionghoa, Djiau Kie Siong. Sampai di sana, Sukarno dan Hatta tak lakukan aktivitas yang serius di momen yang selama ini jadi bagian penting dari perjalanan sejarah Indonesia. Hatta yang masih membujang di usia yang sudah kepala empat, lebih banyak sibuk menggendong Guntur yang usianya belum genap setahun.
“Kerja kami tak lain dari mengasuh dan memangku Guntur, berganti-ganti,” kata Hatta dalam Mohammad Hatta Memoir (1979:447-448). Guntur harus menderita dan rewel. Susunya tertinggal di mobil yang sudah jauh dari Rengasdengklok.
“Selagi ia duduk di pangkuanku, Guntur kencing dan celanaku dibasahi dekat lutut. Sungguh pun ia cepat-cepat kuturunkan ke lantai, kecelakaan sudah terjadi,” kisah Hatta.
Apesnya lagi Hatta tak bawa celana ganti. “Dengan celana itu aku tidak dapat mengerjakan sembahyang,” kata Hatta. Itu celana terpaksa dipakainya hingga bekas kencing Guntur itu mengering secara alami.
Sebelum kejadian yang membekas itu, Sukarno-Hatta dan golongan tua sudah berselisih paham soal kapan seharusnya kemerdekaan Indonesia diproklamasikan. Inilah yang jadi pangkal kenapa Sukarno-Hatta menjejakkan kaki di Rengasdengklok karena diculik oleh para pemuda antara lain panitia persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI)
Mengapa Harus Rengasdengklok?
Rengasdengklok termasuk keresidenan Purwakarta (kini masuk wilayah Karawang). Pada masa itu di Rengasdengklok terdapat sebuah cudan (kompi) kedua dari Dandan (batalyon) Tentara PETA Purwakarta. Kompi-kompi dari Batalyon PETA di Purwakarta tersebar. Kompi pertama pimpinan Setiadi Kartohadikusumo di Cilamaya; kompi kedua oleh Subeno di Rengasdengklok; kompi ketiga dipimpin Sumarna dan kompi keempat oleh Tjetjep Prawiradinata di Purwakarta. Komandan batalyon dipegang oleh Surjodiputro, seorang senior di PETA.
“Daidanco Surjo tampaknya sangat terpengaruh oleh Daidanco Mr. Kasman di Jakarta, yang lebih mempersoalkan agama daripada ilmu militer,” tulis Omar Bahsan dalam buku PETA (Pembela Tanah Air) dan Peristiwa Rengasdengklok (1955:13)
Para komandan regu di Purwakarta pernah dapat latihan khusus dari Syodancho Singgih—yang belakangan di tempatkan di Daidan Jakarta. “Hasil-hasil pendidikan Singgih tadi kepada para Bundancho (komandan regu) agaknya telah membangkitkan pula semangat anti-Jepang. Kesadaran ini tampak sekali pada grup Bundancho yang agak terpelajar seperti Sunarjo, Sugeng Iskandar (Jawa), Sukandar (Sunda), Sutema dan lain-lain,” tulis Omar.
Setidaknya, dua komandan kompi PETA di Purwakarta di antaranya terdapat mantan mahasiswa Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Dai Gakku) Jakarta. Mereka adalah Setiadi dan Subeno. Mereka punya kolega di Jakarta yang di antaranya anti-Jepang dan tidak bisa diam ketika dengar kabar Jepang menyerah kalah kepada sekutu pada 14 Agustus 1945. Subeno adalah komandan di Rengasdengklok.
Sehingga bagi golongan muda, Rengasdengklok menjadi tempat yang dianggap aman buat Sukarno-Hatta. Menurut Setiadi Kartohadikusumo, dalam buku PETA: Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (1996:132), di Rengasdengklok, “kalau terjadi apa-apa dengan mudah dapat dikuasai oleh tentara PETA (yang satu kubu dengan para golongan muda) sehingga keamanan terjamin, letaknya tidak terlalu jauh dari Jakarta, tidak di pinggir jalan utama Jakarta-Cirebon.”
Ketika para perwira PETA berencana mengadakan gerakan di Jakarta, Batalyon PETA di Purwakarta sedang ditinggalkan oleh Surjo ke Bandung untuk kepentingan dinas. Pengganti Surjo sebagai pejabat sementara adalah Setiadi Kartohadikusumo. Setiadi sementara waktu harus meninggalkan pasukannya di Cilamaya. Pasukan PETA di Purwakarta, menurut Setiadi, dalam keadaan siap tempur. Di kalangan PETA Rengasdengklok menurut Omar Bahsan “sudah ada organisasi Sapu Mas, yang akan mengajak seluruh PETA untuk menyapu Jepang.”
Menurut catatan Omar Bahsan (1955:35) Batalyon PETA Purwakarta pernah jadi pantauan kritis dari Kenpeitai—Polisi Rahasia Jepang. Seorang perwira pasukan khusus PETA, Yukekitai, Syodancho Sjachra, dikirim ke Rengasdengklok. Sjachra adalah kawan bagi mereka yang bertugas di Rengasdengklok.
Para Sidokan atauperwira Jepang pengawas pasukan PETA di Rengasdengklok dibuat tidak betah berada di wilayah ini. Sehingga ketika Sukarno, Hatta dan Fatmawati tiba di Rengasdengklok sudah ada sambutan dan upaya pengamanan. Namun, Sidokan bernama Matsumura datang di Rengasdengklok. Matsumura hendak datang ke rumah Djiau Kie Siong, tempat Sukarno tinggal, tapi bayonet gyuhei para prajurit PETA menyambut Matsumura.
Subardjo Membebaskan Sukarno-Hatta
Waktu Sukarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok, Sudiro memberi laporan kepada Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo, penasihat panitia persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI). Subardjo tahu Sukarno-Hatta harus hadir dalam rapat PPKI pada pukul 10.00 pagi di Pejambon pada hari yang sama. Subardjo memutuskan untuk mencari. Ia yakin Wikana, selaku perwakilan golongan muda, tahu di mana lokasi Sukarno-Hatta diculik dan disembunyikan. Subardjo sempat melapor kepada pihak Angkatan Laut Jepang, yaitu Laksamana Tadashi Maeda. Setelah melapor, Subardjo berbicara kepada Wikana.
“Apa yang telah kamu perbuat terhadap Sukarno dan Hatta?” tanya Subardjo dalam autobiografinya, Kesadaran Nasional (1978:313). Wikana pun berkesempatan menyampaikan apa yang dikehendaki golongan pemuda, “hal ini merupakan suatu keputusan kami dalam pertemuan semalam, untuk keselamatan, mereka kami bawa ke suatu tempat di luar kota,” kata Wikana.
“Apakah akibat dari tindakan tersebut telah kamu pikirkan?” tanya Subardjo. Wikana menjawab, “putusan itu bukan keputusan pribadi saya, tetapi merupakan keputusan dari semua golongan pemuda. Tugas saya ialah membujuk Sukarno untuk memproklamasikan kemerdekaan pada malam kemarin.”
"Begini Wikana, kami telah bekerjasama sejak lama dan saya kira tidak ada alasan bagimu untuk merahasiakan terhadapku tempat mereka disembunyikan,” kata Subardjo sambil menatap mata Wikana. Wikana pun lalu pamit untuk berunding dengan kawan lainnya dan Subardjo pun menunggu. Wikana kemudian datang bersama Pandu Kartawiguna dan Adam Malik.
“Kami tidak dapat mengatakannya kepada Bung sekarang ini, karena kami pun tidak mengetahui pula tempatnya. Adalah PETA (Purwakarta) yang merahasiakan tempat tersebut,” kata Pandu.
Setelah percakapan itu, Wikana dan Pandu, melakukan pertemuan lagi dengan Subardjo pada tengah hari 16 Agustus 1945. Kali ini bersama Jusuf Kunto, seorang anggota PETA. Jusuf Kunto menjelaskan Sukarno-Hatta diamankan agar tidak dibunuh Angkatan Darat Jepang.
“Jika atas dasar keselamatan, saudara telah membawa Sukarno dan Hatta ke luar kota, saudara tidak usah khawatir akan keselamatan mereka jika mereka kembali ke sini, karena saya percaya bahwa kita membutuhkan dukungan Angkatan Luat (Kaigun) andaikata mereka menemui kesulitan dari Angkatan Darat, karena itu tolonglah beritahukan pada saya di mana mereka disembunyikan. Saya akan mengantarkan mereka kembali ke Jakarta sehingga kita dapat segera memulai proklamasi kemerdekaan kita,” terang Subardjo (1978:316-317).
Setelah janji Subardjo yang menjamin proklamasi akan segera berlangsung, para pemuda pun melunak. Misi Subardjo untuk membawa Sukarno-Hatta kembali ke Jakarta pun semakin mendapatkan titik terang.
Pada pukul empat sore, bersama Sudiro, Jusuf Kunto, dan sopir, Subardjo naik mobil Skoda tua yang bannya sudah gundul. Subardjo masih belum diberitahu oleh para pemuda ke mana mobil menuju saat di perjalanan. Ia hanya tahu akan dipertemukan dengan Hatta dan Sukarno.
Subardjo sempat menebak, Sukarno-Hatta disembunyikan di Selabintana, Sukabumi. Subardjo paham dirinya salah mengira ketika mobil meluncur ke arah Karawang. Jusuf Kunto juga diam saja sepanjang perjalanan. Apesnya, ketika mobil mengarah ke Rengasdengklok, ban mobil pecah. Hingga mereka baru tiba sekitar pukul 06.00 magrib di Rengasdengklok. Setelah makan minum di dekat asrama PETA Rengasdengklok, Subardjo dan Sudiro diantar menemui Chudancho Subeno.
“Kami datang ke sini untuk menjemput Bung Karno dan Bung Hatta serta membawa mereka kembali ke Jakarta untuk mempercepat Proklamasi kemerdekaan,” kata Subardjo setelah Subeno bertanya tujuan Subardjo datang.
“Bisakan saudara menyatakan pada kami apakah Jepang sudah menyerah?” tanya Subeno.
Kala itu sudah ada yang dengar kabar bahwa Jepang telah menyerah kepada sekutu, tapi tak semua orang tahu soal berita yang ditutup-tutupi militer Jepang. Merespons pertanyaan Subeno, Subardjo pun menjawab, “kami justru datang untuk memberitahu penyerahan Jepang kepada Sukarno dan Hatta.”
Subeno dan kawan-kawan PETA, yang sejalan dengan para pemuda di Jakarta, sangat ingin Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan secepatnya. Subeno kemudian membiarkan Subardjo menemui Sukarno-Hatta di rumah Djiau Kie Siong, yang tak jauh dari asrama PETA.
“Cepat, cepat, kita sekalian harus kembali ke Jakarta. Panitia Persiapan tak dapat melanjutkan tugasnya tanpa kita. Mereka telah menunggu dengan sia-sia pagi ini,” kata Subardjo.
Sukarno pun bertanya, “apa Jepang sudah menyerah?”
“Saya telah kemari untuk memberitahukannya. Saya telah diberitahu pagi ini oleh Maeda,” kata Subardjo.
Sukarno dan lainnya bergegas naik mobil ke Jakarta malam 16 Agustus. Setelah sampai Jakarta, Sukarno dan Hatta semalaman bergadang di rumah Maeda. Di sanalah teks proklamasi dipersiapkan dan dibacakan pada 17 Agustus 1945.
Editor: Suhendra