tirto.id - Pemerintah berhasil mengevakuasi 243 warga negara Indonesia (WNI) dari Wuhan, Hubei, Cina, pada Minggu (2/2/2020). WNI yang terdiri atas 238 warga yang tinggal di Cina, 5 tim Aju KBRI Beijing didampingi 42 tim penjemput langsung dibawa ke Natuna, Kepulauan Riau.
Namun, evakuasi WNI tidak berjalan lancar. Sejumlah masyarakat di Natuna menolak keberadaan WNI tersebut. Warga menggelar aksi di DPRD Natuna demi meminta penjelasan soal penempatan WNI dari Wuhan di Natuna.
"Sejak Jumat malam sampai hari ini massa terus berdatangan ke kantor DPRD Natuna," kata Ketua KNPI Natuna, Haryadi, di Natuna, Sabtu (1/2/2020) seperti dikutip dari Antara.
"DPRD sudah sepakat menolak karantina WNI dari Cina di Natuna,” tambah Haryadi.
Wakil Bupati Natuna Ngesti Yuni Suprapti mengatakan pemerintah pusat tak pernah berkoordinasi dengan mereka. Mengutip Antara, Yuni mengatakan "kami baru tahu [kebijakan ini]".
"Ada kesan pemaksaan kehendak," kata dia.
"Kalau terjadi apa-apa dengan masyarakat kami, siapa yang mau bertanggung jawab?" kata dia mempertanyakan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) lewat juru bicaranya Fadjroel Rachman mengatakan, WNI yang ditempatkan di Natuna akan menjalani masa transit observasi selama 14 hari.
Hal itu sesuai dengan protokol WHO dan Inpres No.4/2019 tentang pengendalian penyakit Peningkatan Kemampuan dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespons Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi, dan Kimia.
Ia mengatakan, Presiden Jokowi juga mengirim langsung Menteri Kesehatan Terawan Putranto untuk memantau langsung proses penanganan karantina di Natuna.
“Jaminan perlindungan kesehatan yang sangat ketat dipantau secara langsung Menteri Kesehatan bersama tim yang diinstruksikan presiden untuk berkantor di Natuna,” kata Fadjroel, Senin (3/2/2020).
Di sisi lain, Kementerian Kominfo menyebut penolakan yang terjadi di Natuna akibat komunikasi Indonesia dengan Cina yang berjalan lebih cepat. Di sisi lain, Menkominfo Johnny G Plate mengklaim pemerintah tidak terlambat dalam sosialisasi rencana membawa WNI dari Wuhan ke Natuna.
"Bukan informasi [Natuna sebagai lokasi karantina] yang terlambat, informasi itu cepat tindakannya. Yang lebih cepat lagi itu adalah hoaksnya yang berjalan. Sebelum itu sudah beredar hoaksnya. Ini, kan, pengambilan keputusan dilakukan dalam waktu yang singkat,” kata Plate di Kemenkominfo, Senin (3/2/2020).
Plate menuturkan, hoaks tersebut kemudian membuat masyarakat lebih waspada. Kewaspadaan akibat kesalahan informasi memicu kericuhan.
"Kami memaklumi bahwa memang ada kekhawatiran itu. Tetapi dari sisi pemerintahnya, pilihan tempat yang paling tepat dan paling baik itu adalah di Natuna dibandingkan tempat-tempat yang lain. Itu sudah dihitung semua," kata Plate.
Plate meyakini, pemerintah daerah, baik pemda atau pemimpin politik sudah turun untuk sosialisasi. Ia mengatakan, pemimpin daerah sudah berbicara dengan tokoh-tokoh untuk mengurangi konflik saat isolasi.
"Harapannya, dengan informasi yang disampaikan ini justru menjadi lebih berkurang karena kita memang ini jangan menyebar dan mengakibatkan masalah baru yang tidak perlu. Ini pencegahan, jangan sampai virusnya masuk di Indonesia,” kata dia.
WNI Perlu Mendapat Hak Lebih
Koordinator Divisi Advokasi YLBHI M Isnur menyampaikan kritik terhadap sejumlah langkah pemerintah dalam penanganan WNI. Ia melihat pemerintah masih belum menangani WNI yang dievakuasi dengan baik.
Pertama, pemerintah harus memberikan hak atas informasi. Kedua, pemerintah harus memberikan hak atas partisipasi dan mendengar aspirasi warga. Ketiga, hak atas rasa aman dan hak atas kesehatan.
Menurut dia, negara harus bisa memberikan penjelasan proses dan prosedur yang jelas dalam penanganan penyakit yang sudah mewabah.
“Dari dua hak ini juga pertanyaan penting, apakah masyarakat mendapatkan tindakan-tindakan khusus untuk mereka tercegah? Jika aparat misalnya dilindungi seperangkat peralatan dan lain-lain bagaimana masyarakat?” tanya Isnur kepada reporter Tirto.
Isnur juga mengkritik langkah pemerintah yang mendapat penolakan dari warga Natuna. Menurut Isnur, warga berhak mendapatkan informasi secara utuh sebelum proses evakuasi selesai.
“Hak atas informasi itu bukan kemudian cuma searah. Ini soal manajemen pemerintah, bagaimana bisa berkomunikasi dengan baik,” kata Isnur.
Selain itu, Isnur mempersoalkan pemilihan markas militer sebagai tempat isolasi. Ia bingung pemerintah lebih memilih fasilitas militer daripada fasilitas lain yang mungkin bisa lebih memadai.
“Ini kan operasi kesehatan dan kemanusiaan, tapi pertanyaannya dari seluruh fasilitas, mengapa seperti operasi militer? Sampai ke pelbet [ranjang dll, juga dari militer] apakah Kemenkes tidak punya semacam fasilitas dan SOP,” ujar Isnur.
Sementara itu, peneliti dari Elsam Wahyudi Djafar mengatakan, pembatasan hak terhadap seseorang memang dimungkinkan selama memenuhi alasan tertentu seperti pembatasan karena faktor kesehatan publik. Lalu, pembatasan harus dilakukan sesuai undang-undang dan proporsional. Namun, WNI harus bergerak bebas selama beraktivitas.
“Ini kan ada pembatasan kebebasan bergerak kan? Ada tindakan pembatasan yang lain. Orang hanya boleh ditempatkan di wilayah Pulau Natuna dan tidak boleh keluar dari itu dalam jangka waktu tertentu. Itu perlu dibuktikan,” kata Wahyudi kepada reporter Tirto, Senin (3/2/2020).
Respons Pemerintah Soal Karantina WNI
Wahyudi mengatakan, persoalan karantina WNI ini juga perlu dipikirkan dampak saat mereka dikarantina. Sebagai contoh, WNI yang dikarantina mendapat hak untuk berkomunikasi dengan anggota keluarganya.
“Jadi mereka ini ditempatkan bukan in communicado, tapi kemudian dia tetap diberikan kebebasan-kebebasan yang lain. Yang dibatasi kan haknya, kebebasan bergeraknya, dia ditempatkan satu wilayah tertentu, tidak boleh disertai pembatasan-pembatasan yang lain,” kata Wahyudi.
Selain itu, pemerintah harus menjelaskan alasan pemilihan Natuna. Sebab, warga Natuna sempat menolak kehadiran WNI dari Hubei yang terkesan dadakan.
Ia memandang, alasan hoaks tidak sepenuhnya dibenarkan. Publik berhak mendapat alasan penuh agar tidak terjadi kericuhan dengan warga saat proses karantina.
“Saya melihatnya lebih pada problem bagaimana memberikan informasi yang memadai dan cukup kepada warga setempat,” kata dia.
Sekretaris Ditjen P2P Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto mengatakan, pemerintah tidak membatasi ruang gerak WNI yang dikarantina. Ia mengatakan, WNI tetap melakukan aktivitas biasa, tetapi dilarang untuk berhubungan langsung dengan orang lain.
“Yang dibatasi kontak dengan orang lain. Itu saja. Kalau di sini, main bola di depan pada rebut-rebut. Yang perempuan ngerumpi sambil nyuci di belakang,” kata Yuri saat dihubungi reporter Tirto, Senin (3/2/2020).
Yuri mengatakan, pemerintah pun tidak sembarangan menempatkan WNI yang dikarantina ke Lanud Raden Sadjad.
Ia mengatakan, pemerintah memilih lokasi itu karena tempat karantina saat ini merupakan hanggar pesawat yang punya fasilitas seperti listrik dan air.
“Kemudian akses juga mudah. Penerbangan setiap hari ada. Kalau butuh apa-apa kayak sekarang ini saya minta masker ke Jakarta, minta baju APD ke Jakarta, kiriman semua, ngalir. Enggak ada masalah,” kata Yuri.
Yuri mengatakan, pemerintah perlu melakukan isolasi untuk mengumpulkan data tentang kesehatan WNI. Selama dikarantina, WNI mendapat fasilitas berupa kamar yang muat hingga 16 orang. Lalu, keluarga disatukan dalam satu tenda sendiri. Setiap tenda dilengkapi AC dan TV.
Menurut dia, pihaknya menyediakan hall bagi WNI untuk berdialog bersama. Pemerintah pun memastikan WNI langsung dipulangkan ke rumah mereka jika tidak terkena penyakit dalam kurun waktu 14 hari masa karantina.
Yuri pun menegaskan, soal penolakan warga Natuna terhadap proses karantina merupakan urusan Pemerintah Kabupaten Natuna. Sebab, pemerintah daerah, terutama Dinas Kesehatan Natuna tidak bekerja meski sudah mendapat dana dari pusat.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri