tirto.id - Kasus pengemudi kendaraan melawan arah dan menimbulkan kecelakaan ramai diperbincangkan. Teranyar, seorang anggota TNI, Lettu GDW (29), berkendara lawan arah hingga memicu kecelakaan beruntun di Tol MBZ Km 25 arah Cikampek. Mulanya, Lettu GDW dengan mengendarai mobil melaju dari arah Bekasi menuju Cikampek, Sabtu (9/9/2023) kemudian memutar balik dan melawan arah.
“Tiba-tiba dia berbalik arah, otomatis dia akan berhadapan dengan kendaraan yang lawan arah dengan yang bersangkutan,” kata Kapendam Jaya Letkol INF Herbeth Andi Amino Sinaga dalam konferensi pers, Senin (11/9/2023).
Buntut aksi GDW, tujuh kendaraan mengalami kecelakaan beruntun. Meski tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut. GDW sempat ditangkap oleh Satlantas Polres Bekasi. Polisi kemudian menyerahkan GDW kepada Pomdam Jaya karena merupakan anggota TNI.
Kasus serupa juga terjadi pada 22 Agustus 2022. Saat itu, truk menabrak tujuh sepeda motor di Lenteng Agung, Jakarta Selatan sekitar pukul 07.00 WIB. Tidak ada korban jiwa dalam insiden itu, tapi tiga orang pengendara sepeda motor luka berat, sementara lainnya mengalami luka ringan.
Kasat Lantas Polres Metro Jakarta Selatan, Kompol Bayu Marfiando menjelaskan, kecelakaan terjadi diduga karena pengendara roda dua melawan arus, yang akhirnya ditabrak truk bermuatan batako kayu yang sedang melaju.
Terhadap kecelakaan ini, PT Jasa Raharja memutuskan tidak memberikan santunan terhadap tujuh pengendara motor yang terlibat kecelakaan itu. Sebab, berdasarkan UU Nomor 34 Tahun 1964 juncto PP Nomor 18 Tahun 1965, bagi pengemudi/pengendara yang mengalami kecelakaan dan merupakan penyebab terjadinya tabrakan dua atau lebih kendaraan bermotor, maka Jasa Raharja tidak menjamin.
Instrumen Hukum untuk Jerat Pengendara Lawan Arah
Pelanggaran tata tertib berkendara seperti melaju melawan arah sebenarnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang LLAJ. Pasal 16 ayat 4 berbunyi: Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dijalan wajib mematuhi ketentuan: a. Rambu perintah atau rambu larangan; b. Marka jalan; c. Alat pemberi isyarat lalu lintas; d. Gerakan lalu lintas; e. Berhenti dan parkir; f. Peringatan dengan bunyi dan sinar; g. Kecepatan maksimal atau minimal; dan/atau h. Tata cara penggandengan dan penempelan dengan kendaraan lain.
Sankinya juga telah diatur dalam Pasal 287 ayat (1) dan (2) UU LLAJ yang berbunyi:
(1) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan rambu lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf a atau marka jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf b dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
(2) Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan alat pemberi isyarat lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (4) huruf c dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Melawan arus lalu lintas merupakan pelanggaran Pasal 287 ayat (1) dan (2) UU LLAJ yaitu pengemudi kendaraan bermotor di jalan yang melanggar aturan perintah atau larangan yang dinyatakan dengan rambu lalu lintas atau dengan alat pemberi isyarat lalu lintas dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 bulan atau denda paling banyak Rp500 ribu.
Apa yang Perlu Dilakukan agar Jera?
Pakar Kebijakan Publik, Trubus Rahadiansyah mengatakan, sanki yang ada dalam Pasal 287 ayat (1) dan (2) UU LLAJ saat ini sudah diperhitungkan oleh pembuat regulasi, sehingga menurutnya opsi memperberat hukuman pidana bukanlah hal yang perlu dilakukan.
Namun demikian, ia mengusulkan agar sanksi lain berupa pencabutan SIM atau penyitaan kendaraan serta sanksi dari Jasa Raharja berupa 0 santunan bagi korban laka yang merupakan pelaku lawan arah perlu diterapkan.
“Bisa juga ditambah rambu-rambu dan diedukasi ke masyarakat bahwa mereka yang kecelakaan karena melawan arus itu tidak ada dukungan dari Jasa Raharja," kata Trubus dalam keterangannya, Selasa (12/9/2023).
Trubus juga mengusulkan untuk memperketat penerapan ETLE sehingga pelanggaran sejenis dapat terekap dan memudahkan penerapan sanksi. “Jadi mereka yang lawan arus itu motornya ter-record sehingga bisa diambil," kata Trubus.
Hal senada diungkapkan dosen hukum dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda. Ia mengatakan, sejumlah kasus laka lantas yang terjadi belakangan harus dilihat dari latar belakangnya telebih dahulu. Misal kasus anggota TNI di Tol MBZ yang diduga merupakan penyandang gangguan kesehatan mental.
“Kalau mendengar penjelasan pihak TNI, yang bersangkutan adalah anggota TNI yang sedang punya masalah mental. Jadi ini tidak ada hubungan antara besaran sanksi dan efek jera,” kata Chairul.
Ia menambahkan, “Tidak selalu (kasus laka) kaitan langsung dengan sanksi yang diatur dalam UU dan efek jeranya.”
Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno menuturkan, sanksi seperti absennya santunan dari Jasa Raharja bagi pelaku dapat memberikan efek jera kepada pelanggar lalu lintas, khususnya yang melawan arah.
“Salah satu pengusulnya saya. Nanti kalau setiap kecelakaan diberi santunan (bakal ulangi kesalahan), biarin saja. Enggak usah kasih. Biar ada efek jera. Bila perlu dijadikan tersangka sekalian," kata Djoko saat dihubungi Tirto, Kamis (24/8/2023).
Selain itu, menurut Djoko, kepolisian hanya perlu lebih tegas menegakkan UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Djoko mengatakan, semestinya jika UU telah memberikan kewenangan, polisi harusnya memberikan pelayanan maksimal. Ia mengatakan jika memang kurang tenaga, seharusnya bekerja sama dengan Dinas Perhubungan (Dishub).
“Polri juga harus tanggung jawab. Kenapa polisi membiarkan, karena pembiaran, jadinya hal biasa. Polisi kurang tenaga (menerapkan pasal dimaksud)," katanya.
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Abdul Aziz