tirto.id - Ketua Dewan Pengawas TVRI Arief Hidayat mengatakan ada beberapa alasan mengapa para pengawas memecat Direktur Utama TVRI Helmy Yahya pada 16 Januari lalu. Salah satunya karena Helmy dinilai banyak memasukkan konten asing ke dalam tayangan, yang dianggap tak sesuai dengan jati diri, ideologi, dan visi-misi bangsa.
Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI, Selasa (21/1/2020) lalu, ia mengatakan prioritas program TVRI adalah "edukasi, jati diri, media pemersatu bangsa."
"Realisasinya sekarang kita nonton Liga Inggris--mungkin banyak yang suka. Discovery Channel kita nonton buaya di Afrika, padahal buaya di Indonesia barangkali akan lebih baik," katanya.
Arief juga mengatakan TVRI di bawah Helmy Yahya bak televisi swasta yang mengejar peringkat alias rating. Hal ini menurutnya dibuktikan dengan banyaknya program dan film asing.
"Kita ada APBN harus bayar dalam bentuk pembayaran ke luar negeri, dalam hal ini BWF, Discovery, dan Liga Inggris. Artinya uang rupiah kita, APBN, dibelanjakan ke luar, padahal Presiden menyatakan [seharusnya] dibatasi. Ini terjadi," katanya.
Alasan Mengada-ada
Nico Permana (27) mengaku terkejut dan terheran-heran dengan pernyataan Arief terkait siaran Liga Inggris. Sebagai salah satu pecinta klub sepakbola Arsenal dan aktif di komunitas Arsenal Indonesia Supporter (AIS) Jakarta, ia menilai alasan Arief terlalu "mengada-ada dan terlalu dibuat-buat".
Kepada reporter Tirto, Rabu (22/1/2020) siang, Nico mengatakan justru dengan adanya tayangan asing seperti Liga Inggris dan Discovery Channel, TVRI bisa dilirik kembali anak muda dan bahkan penggemar sepakbola yang jumlahnya tak sedikit.
"Zaman sudah berubah, harusnya TVRI memang perlu mengadaptasi. Contoh dong harusnya kayak Al Jazeera yang malah nampilin program-program internasional," katanya.
Menyesuaikan konten, Nico menilai, juga selaras dengan upaya TVRI me-rebranding citra lewat logo dan tampilan.
Jika Nico heran, respons pertama sejarawan yang mengajar di Universitas Nasional, Andi Achdian, adalah tertawa.
Menurut Andi, pernyataan bahwa tayangan Liga Inggris dan Discovery Channel tidak cocok dengan jati diri dan ideologi bangsa adalah pernyataan khas para politikus yang sebenarnya tidak peduli-peduli amat dengan persoalan bangsa.
"Mereka pun enggak paham apa yang disebut bangsa, atau jati diri, ideologi. Itu hanya omong kosong, lip service saja untuk kepentingan-kepentingan yang tak pernah diketahui publik. Itu hanya jadi komoditas yang dijual. Mereka lagi membual tentang bangsa," katanya saat dihubungi Rabu sore.
Toh jati diri bangsa juga tergantung siapa yang menafsirkan. Hal itu terlihat pada TVRI di masa Orde Baru yang lebih mirip alat propaganda pemerintah.
"Hanya melihat ketentraman di layar kaca; Indonesia tanpa gejolak. Tapi kalau berita internasional, selalu bergejolak. Kita dibodohi bahwa tak ada apa-apa di dalam Indonesia. Itu ideologi yang jelas sekali," katanya.
Pemerintahan saat itu bahkan mengintervensi tayangan hiburan. Si Unyil, misalnya, malah "omong program KB, omong pembangunan" yang merupakan program utama Orde Baru.
"Jadi negara menciptakan omongan kosong untuk publik. Negara selalu menunggangi," katanya.
Andi melihat ada harapan besar TVRI juga turut berubah jadi televisi publik seutuhnya pada era reformasi: televisi yang melayani masyarakat, bukan penguasa. Tapi ternyata itu belum dapat mereka lakukan, meski sangat mungkin, salah satunya karena "ber-mindset era zaman dinosaurus."
"Kayak BBC-lah bisa membuat program dokumenter bagus, enggak ada nilai komersil. TVRI enggak bikin itu. Keahlian ada, tapi inisiatif enggak ada. Itu problem di pengawas. Enggak coba cari alternatif konten," katanya.
TVRI (Semestinya) Milik Publik
Peneliti media sekaligus pendiri Remotivi, Roy Thaniago, membuka diskusi lebih jauh ketimbang perkara apakah Liga Inggris sesuai atau tidak dengan jati diri bangsa. Menurutnya, saat ini adalah waktu yang tepat untuk merombak total TVRI sebagai televisi publik yang tak berorientasi profit.
"TVRI harus memberikan informasi sebagai public goods, seperti air oleh PAM dan listrik oleh PLN," katanya.
Informasi publik yang dimaksud Roy misalnya mereka akan menyiarkan kelompok rentan seperti disabilitas, atau Ahmadiyah.
"Mereka enggak dilayani. Dalam konteks itulah TVRI melayani mereka sebagai warga negara. Mereka menyediakan apa yang tidak ada di televisi swasta," katanya.
Hal serupa dapat diterapkan kala TVRI menyiarkan tayangan politik praktis. Saat ini televisi--juga media massa pada umumnya--terlalu Jakarta sentris. TVRI mesti melampaui itu. TVRI, misalnya, mesti menayangkan secara proporsional visi dan misi calon-calon kepala daerah, atau kampanye semua partai.
"Jika TVRI bisa menyajikan itu, demokrasi kita jadi lebih sehat," pungkasnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Restu Diantina Putri