tirto.id - Jakarta punya gubernur dan wakil gubernur baru. Anies Baswedan dan Sandiaga Uno akan memimpin Ibukota Indonesia selama lima tahun ke depan. Beragam persoalan pelik harus mereka atasi, termasuk di bidang kesehatan. Dapatkah tujuh poin program kerja (proker) mereka, menuntaskan persoalan kesehatan di Jakarta?
Kaleidoskop kursi kepemimpinan DKI Jakarta oleh Joko Widodo-Basuki Tjahja Purnama dimulai dari 15 Oktober 2012. Dua tahun kemudian, Jokowi terpilih jadi orang nomer satu di Indonesia. Otomatis, pada 19 November 2014, Ahok menggantikannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dan, dua bulan selanjutnya Djarot Saiful Hidayat naik menjadi wakil gubernur.
Dari awal pemerintahan di Jakarta, Jokowi-Ahok langsung meluncurkan salah satu program perbaikan kesehatan masyarakat. Yakni Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang berintegrasi dengan BPJS Kesehatan. Ahok juga sempat membenahi fasilitas-fasilitas untuk penyandang disabilitas seperti meluncurkan bus Transjakarta khusus dan membuat trotoar ramah disabilitas, meski program-program itu belum menjadi standar secara umum.
Baca juga:Pemprov DKI Cabut KJS dan KJP jika Langgar Aturan Trotoar
Atas upaya meningkatkan harapan hidup masyarakat, lima tahun pemerintahan Jokowi-Ahok-Djarot diganjar indeks kesehatan memuaskan. Berdasarkan data BPS, harapan hidup masyarakat Jakarta yang merepresentasikan dimensi umur panjang dan hidup sehat, naik sebesar 0,46 persen.
Provinsi DKI Jakarta juga telah melampaui target MGDs untuk menurunkan angka kematian bayi di tahun 2015 sebesar 23 kematian bayi per 1.000 kelahiran hidup. Tahun 2016, angka kematian bayi hanya sejumlah 4 bayi per 1.000 kelahiran hidup.
Baca juga:Asa Menekan Kematian Ibu Melahirkan
Meningkatnya total kunjungan rawat jalan puskesmas di Jakarta tahun 2016 menjadi dampak positif kartu jaminan kesehatan yang diterbitkan pemerintah. Kunjungan meningkat mencapai 20,2 persen dari tahun sebelumnya. Data lima tahun terakhir menunjukkan tren jumlah kunjungan puskesmas juga meningkat.
Sebanyak 81,2 persen warga Jakarta telah memanfaatkan Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan. Terakhir, indeks meningkatkan derajat kesehatan masyarakat untuk berperilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) mencapai 72,2 persen. Artinya, sebanyak 72,2 persen masyarakat Jakarta telah menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.
Tantangan Anies-Sandiaga
Meski beragam program kesehatan telah diluncurkan, problematika kesehatan di Jakarta belumlah tuntas. Bahkan, akhir-akhir ini banyak berita penolakan pasien di fasilitas kesehatan karena uang. Misalnya yang terjadi kepada Bayi Debora di RS Mitra Keluarga Kalideres.
Untuk memberantas ragam masalah kesehatan di Jakarta, Anies-Sandiaga menjanjikan beberapa poin proker di bidang kesehatan. Pertama, mengintegrasikan dan meningkatkan program Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan KJS dengan program Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS).
KJS ini nantinya akan dibuat program KJS Plus guna memperluas cakupan jaminan kesehatan kelas satu oleh pemerintah provinsi bagi para guru mengaji, pengajar sekolah minggu, penjaga rumah ibadah agama, khatib, penceramah, dan pemuka agama.
Baca juga:Sandi Akui Program KJS Plus Belum Banyak Dipahami Warga
Kedua, menambah jumlah tenaga kerja kesehatan sekaligus meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan perawat, mengutamakan perawat mendapat pelatihan intensif, baik perawat PNS maupun non-PNS, memperhatikan peran, karir, serta kesejahteraan perawat.
Ketiga, memperkuat program-program preventif, misalnya dokter masyarakat, penyediaan fasilitas publik untuk berolahraga, dan akses pada makanan sehat. Program dokter masyarakat ini hampir serupa dengan layanan Ketuk Pintu Layani Dengan Hati (KPLDH) yang telah ada di periode gubernur sebelumnya. Sistem program ini adalah mengirim dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk memberi layanan kesehatan langsung ke rumah-rumah warga.
Poin keempat, menjadikan DKI Jakarta wilayah yang ramah terhadap disabilitas, dengan memberikan fasilitas umum dan pelayanan publik, termasuk dalam bidang pendidikan, ketenagakerjaan, kesehatan, dan bidang lainnya yang terkait dengan kehidupan disabilitas.
Kelima, memberi tunjangan dan fasilitas bagi penduduk usia lanjut. Keenam, memastikan semua pekerja mendapatkan jaminan kesehatan, dan terakhir memberlakukan program kesehatan pro-perempuan. Program keenam ini terdiri atas yang mendukung kesehatan perempuan dan anak, misalnya Posyandu dan Tempat Penitipan Anak bersubsidi di pasar tradisional.
Baca juga:Polemik Tak Kunjung Usai Soal Menyusui di Ruang Publik
Cukupkah ragam program kesehatan di atas?
Menurut Marius Widjajarta, Direktur Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia, program-program tersebut hanya mengulang problematika lama kesehatan: “Asal bisa masuk puskesmas dan Rumah Sakit." Yang belum tergambar Namun, kurang memperhatikan aspek keselamatan pasien.
“Seharusnya, menurut standar WHO, terdapat standar keselamatan pasien, mulai dari tindakan ke biaya,” katanya kepada Tirto.
Dengan adanya standar keselamatan pasien dan biaya yang seragam, masalah warga yang tak bisa berobat karena biaya akan terselesaikan. Selain rumah sakit, standar keselamatan pasien juga harus disepakati oleh pemerintah setempat agar semua segi pelayanan kesehatan bagi warga Jakarta dapat terpenuhi.
Karena Indonesia belum memiliki standar tersebut, Marius menyarankan di periode ini Anies-Sandiaga dapat membuat keputusan untuk membuat standar sendiri. Menurutnya, jika pemda dan dinas kesehatan turut mengubah sistem menjadi berorientasi standar keselamatan pasien, fasilitas pelayanan publik yang berkaitan dengan kesehatan seperti fasilitas bagi disabilitas, perempuan, dan lansia akan terbangun.
Intinya, lanjut Marius, sistem pelayanan kesehatan diubah dari profit oriented jadi layanan yang mengutamakan keselamatan pasien.
Marius melanjutkan sistem keselamatan pasien telah lama disepakati dalam Deklarasi WHO Patient Safety tahun 2002. Saat itu, deklarasi ditandatangani oleh 191 negara di dunia, termasuk Indonesia. Pada 2007, sistem yang sama dideklarasikan kembali oleh WHO dengan fokus Jakarta Deklarasi Patient Safety untuk Asia tenggara.
Di seluruh dunia, karena sistem keselamatan pasien diabaikan, WHO melaporkan sebanyak 4-17 persen kejadian buruk dialami pasien. Para pasien itu mengalami kejadian buruk sejak penerimaan di rumah sakit. Dan, sebanyak 5-21 persen dari seluruh kejadian tersebut mengakibatkan kematian. Negara-negara berkembang seperti Indonesia menyumbang 77 persen dari seluruh kasus yang dilaporkan di dunia.
Dengan adanya deklarasi Patient Safety, negara-negara tersebut didorong untuk menerapkan standar penanganan pasien. Di India, misalnya, seluruh sekolah kedokteran dan rumah sakit pemerintahnya menerapkan panduan berdasar deklarasi tersebut.
Bangladesh, sebagai salah satu negara deklarator, menerapkan “clean care is safer care” sebagai tantangan pertama dalam meningkatkan keselamatan pasien. Peralatan dan tenaga medis yang bersih tentu berpengaruh pada keselamatan pasien.
Standar paling sederhana, untuk konteks Jakarta, bisa dimulai dengan pertanyaan: Bersih dan layakkah toilet di Puskesmas di lingkungan tempat tinggal Anda?
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani