Menuju konten utama

Yang Diabaikan Jokowi Saat Memuji Kinerja BI Menguatkan Rupiah

Pujian Jokowi ke Bank Indonesia melupakan faktor eksternal yang selama ini selalu menjadi alasan pemerintah saat rupiah terpuruk.

Yang Diabaikan Jokowi Saat Memuji Kinerja BI Menguatkan Rupiah
Presiden Joko Widodo menyampaikan sambutan dalam Pertemuan Tahunan Bank Indonesia Tahun 2018 di Jakarta, Selasa (27/11/2018). ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari.

tirto.id - Presiden Joko Widodo memuji kinerja Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dan jajarannya yang terus berusaha menguatkan kurs rupiah di tengah gejolak global yang terus mengguncang perekonomian nasional.

Pujian itu diungkapkan Jokowi saat memberikan sambutan pada pembukaan Pertemuan Tahunan Bank Indonesia, di Jakarta Convention Center (JCC), Jakarta, Selasa siang (27/11/2018). Jokowi mengaku mengetahui BI melakukan intervensi pasar menaikkan suku bunga guna menstabilkan kurs rupiah terhadap dolar AS.

Presiden bersyukur karena dalam 2-3 minggu terakhir rupiah menguat signifikan, konsisten di bawah Rp15.000 per dolar AS. Apalagi, kata Jokowi, pada 15 November lalu, BI kembali menunjukkan keberaniannya memberikan kejutan pada pasar dengan kembali menaikkan suku bunga rupiah sebesar 0,25% atau 25 basis poin menjadi 6%.

“Ini disambut amat positif oleh pasar, dan persepsinya BI menunjukkan ketegasan, menunjukkan determinasinya untuk membentengi rupiah, dan mungkin dalam bahasa keseharian kita, ya bisa saja disebut taringnya BI keluar,” kata mantan Gubernur DKI Jakarta itu seperti dikutip laman resmi setkab.go.id.

Sayangnya dalam pujiannya itu, Jokowi melupakan faktor eksternal yang selama ini selalu menjadi alasan pemerintah saat rupiah terpuruk. Misalnya, saat dolar tembus Rp15.000 sepanjang Oktober lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani selalu berdalih karena faktor eksternal.

“[...] memang mayoritas berasal, terutama trigger-nya, dari luar yang sangat dominan,” kata Sri Mulyani seperti dikutip laman resmi Sekretariat Kabinet, pada 4 Oktober lalu. Saat itu, rupiah sedang terpuruk hingga tembus Rp15.165 per dolar AS.

Jokowi memang bukan orang pertama yang memandang nilai tukar membaik semata-mata atas faktor internal. Pada 6 November lalu, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo pernah mengatakan penguatan kurs rupiah terjadi lantaran adanya kinerja positif dari indikator perekonomian dalam negeri.

Dengan kata lain, Dody menyebut perekonomian Indonesia masih terus tumbuh sesuai koridor. “Roda perekonomian bergerak. Sentimen terhadap keyakinan konsumen dan produsen itu positif untuk perekonomian pada kuartal III 2018. Mungkin nanti juga di kuartal IV 2018,” kata dia.

Meski demikian, Dody menyatakan penguatan rupiah saat itu juga turut dipengaruhi sejumlah faktor eksternal. Artinya, faktor internal bukan satu-satunya penyebab menguatnya kurs rupiah pada dolar AS.

Salah satu yang ia contohkan adalah rencana pembicaraan solusi perdagangan Presiden AS Donald Trump dengan Presiden Cina Xi Jinping. Secara tidak langsung Dody menyebut kebijakan BI, seperti menaikkan suku bunga tidak berdiri sendiri dalam menguatkan rupiah.

Hal ini dapat terlihat dari nilai tukar rupiah pada Rabu (28/11) atau sehari setelah pujian Jokowi ke BI yang mengalami pelemahan sebesar 31 poin menjadi Rp14.535 per dolar AS.

Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah memiliki pendapat serupa dengan Dody. Menurutnya penguatan rupiah tidak dapat diklaim hanya sebagai dampak dari kenaikan suku bunga acuan BI.

Menurut Pieter, penguatan rupiah sudah terjadi sebelum BI menaikan suku bunga. Sebab, kata dia, terdapat sejumlah faktor yang memengaruhi penguatan kurs rupiah sehingga tidak semata-mata murni karena intervensi BI.

Pieter menyebut, kalau pun kenaikan suku bunga BI memiliki dampak, maka hal itu hanya untuk mempertahankan apresiasi terhadap rupiah. Dalam konteks ini, Pieter memberi perhatian pada situasi global yang terjadi. Salah satunya adalah masuknya aliran modal asing ke Indonesia.

Perpindahan aliran modal itu disebabkan karena keadaan Amerika yang tidak lagi dianggap menarik oleh pemodal asing. Sebab, negara Paman Sam itu mengalami peningkatan inflasi dan diiringi dengan turunnya pertumbuhan ekonomi. Belum lagi perang dagang antara Amerika dan Cina masih berlanjut.

Akibatnya, The Fed, bank sentral Amerika tidak akan menaikkan suku bunga sesering sebelumnya. Karena itu, kata Pieter, para pemodal mengalirkan investasinya ke negara berkembang, seperti Indonesia.

“Investasi [di Amerika] itu tidak menarik lagi. Investor asing mengalihkan modal ke rupiah kita [Indonesia]. Jadi kurs rupiah meningkat,” kata Pieter.

Faktor lainnya, kata dia, adalah membaiknya yield (indikator profitabilitas) saham Indonesia. Pieter menilai kondisi saham yang sudah lama ditinggalkan investor membuat harga saham menjadi cukup murah. Alhasil, kondisi itu menjadi tanda bagi para investor untuk kembali ke bursa saham Indonesia.

Infografik CI Rupiah Kian menguat

Sementara peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Abdul Manap Pulungan turunnya harga minyak dunia juga dapat mendorong penguatan rupiah.

Sebab, pada saat harga minyak turun, kondisi itu dapat memperbaiki neraca perdagangan, sehingga berkontribusi pada surplus neraca transaksi berjalan (CAD). Dengan demikian, kata Manap, persepsi investor pun dapat membaik seiring menurunnya defisit CAD dan berpotensi memperkuat nilai tukar rupiah.

“Pada saat neraca perdagangan membaik, defisit CAD menurun, maka persepsi investor kepada Indonesia akan semakin membaik dan memperkuat nilai tukar rupiah,” kata Manap kepada reporter Tirto.

Selain itu, Manap menilai, kondisi Indonesia yang masih mengandalkan penjualan obligasi juga dapat turut berpengaruh. Sebab, obligasi itu dijual melalui bank-bank yang dapat dijangkau bila investor asing bersedia menukarkan uangnya ke rupiah. Hal ini membuat peredaran rupiah di pasaran semakin banyak dan menguatkan nilai tukarnya.

Belum lagi, kata Manap, Indonesia menduduki posisi tertinggi untuk suku bunga dan kedua tertinggi untuk inflasi setelah Filipina di ASEAN. Kendati demikian, Indonesia masih mampu menjaga kepercayaan investor atas nilai riil uang yang mereka tanamkan.

Namun Manap membenarkan bila sejumlah faktor domestik juga turut memengaruhi nilai tukar. Selain suku bunga BI yang dipuji Jokowi, keadaan fundamental ekonomi Indonesia turut memberi dampak.

Menurut Manap, investor selalu memperhatikan data-data yang dirilis pemerintah terkait pertumbuhan ekonomi, inflasi, hingga kondisi fiskal.

“Jika itu baik, akan meningkatkan kepercayaan investor kepada Indonesia. sehingga meningkatkan apresiasi rupiah,” kata Manap.

Baca juga artikel terkait NILAI TUKAR atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz