tirto.id - Kurs rupiah terhadap dolar AS terus menguat hingga Kamis pagi (8/11/2018). Mengacu data JISDOR, rupiah menguat 240 poin dari Rp14.891 per dolar AS pada Selasa sore menjadi Rp14.651 per dolar AS.
Pergerakan ini terbilang cukup signifikan dan di luar dugaan lantaran hingga 2 November 2018, rupiah masih bertengger di atas Rp15.000 per dolar AS. Penguatan ini memimpin penguatan mata uang lain di kawasan Asia, pada Rabu sore. Sebagai perbandingan, baht Thailand menguat 0,33 persen, yen Jepang 0,25 persen, dan dolar Singapura 0,23 persen.
Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo mengklaim penguatan rupiah didorong sejumlah kinerja positif dari indikator perekonomian dalam negeri. Dengan kata lain, Dody menyebut perekonomian Indonesia masih terus tumbuh sesuai koridor.
"Roda perekonomian bergerak. Sentimen terhadap keyakinan konsumen dan produsen itu positif untuk perekonomian pada kuartal III 2018. Mungkin nanti juga di kuartal IV 2018," kata Dody di Hotel Pullman, Jakarta, Selasa (6/11/2018) lalu.
Selain dorongan dari dalam negeri, Dody menyatakan, sejumlah faktor global ikut berkontribusi terhadap penguatan rupiah. Salah satunya rencana pertemuan Presiden AS Donald Trump dengan Presiden Cina Xi Jinping untuk mencari solusi perdagangan.
"Semua berharap pertemuan Trump dengan Xi Jinping dapat memberikan solusi yang positif. Sehingga dampaknya nanti juga positif ke emerging currency," kata Dody berharap.
Namun demikian, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah berpendapat penguatan rupiah ini bersifat sementara. Piter tidak menampik tekanan di tataran global sedikit berkurang, tapi sifatnya belum pasti. Sedangkan di dalam negeri sendiri, masih ada pekerjaan rumah untuk terus menekan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD).
"Saya kira memang ada faktor yang turut memunculkan sentimen positif pasar sekaligus memperkuat rupiah," kata Piter kepada reporter Tirto, Kamis (8/11/2018).
Sejumlah faktor yang dimaksud Piter ialah imbal hasil SBN (Surat Berharga Negara) yang sudah cukup tinggi, perkiraan Bank Sentral AS (The Federal Reserve/The Fed) tidak akan menaikkan suku bunga sebesar sebelumnya, serta pembicaraan terkait perang dagang antara AS dengan Cina.
Kendati demikian, Piter mengingatkan pemerintah dan BI tetap memperhatikan CAD yang sampai dengan September 2018 sudah berkisar 2,5 persen. Batas aman CAD Indonesia adalah 3 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Piter menilai CAD masih terus melaju pada kuartal IV 2018. Faktornya tak hanya dipengaruhi defisit neraca perdagangan barang dan jasa, tapi juga defisit neraca pendapatan primer yang melebar.
"Apabila dikalkulasikan, defisit transaksi berjalan itu bisa melebar bahkan hingga melewati 3 persen dari PDB," kata Piter.
Kondisi CAD ini disebut Piter masih membayangi tren penguatan rupiah dalam sepekan. Belum lagi ditambah rencana kenaikan suku bunga acuan The Fed yang dipastikan bakal terjadi pada Desember mendatang.
Ekonom dari Monex Investindo, Dini Nurhadi tidak menampik kenaikan suku bunga The Fed dapat berdampak terhadap rupiah. Secara teori, suku bunga acuan bank sentral memang paling kuat memengaruhi nilai tukar dengan sistem mengambang seperti dianut Indonesia.
Dini menilai kondisi fundamental perekonomian AS setelah kenaikan suku bunga The Fed nantinya berpotensi menahan penguatan rupiah.
"Tapi kalau dilihat dari fundamental perekonomian Indonesia sendiri, Indonesia sebetulnya punya alasan yang mendorong sentimen penguatan rupiah. Jadi kondisinya memang masih bisa dikatakan stabil, meski ancaman [pelemahan] itu ada," kata Dini kepada reporter Tirto.
Untuk menahan pelemahan rupiah kembali berulang, Dini menyebut, kuncinya adalah menjaga fundamental perekonomian. Ia berharap pemerintah bisa konsisten mempertahankan pertumbuhan ekonomi serta laju inflasi. Upaya mempertahankan perekonomian domestik bisa menjadi langkah signifikan di tengah tren penguatan mata uang yang masih bersifat sementara.
Dalam konteks ini, pemerintah dan BI memang tidak boleh terlena dengan angin segar yang terjadi sejak awal November 2018. Pasalnya, momentum pembalikan arah masih diperkirakan berlangsung dalam waktu dekat, sebelum akhir tahun.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz