tirto.id - Puluhan keluarga eks kombatan dan pendukung ISIS asal Indonesia kini terjebak di Suriah. Mereka berkumpul di sejumlah kamp setelah markas terakhir ISIS yang berada di Baghouz luluh lantah diserang pasukan Demokratik Suriah (SDF), yang dipelopori milisi-milisi Kurdi.
Menurut Afshin Ismaeli, wartawan lepas yang meliput konflik terakhir ISIS di Suriah dan melaporkan untuk Tirto, ada 50 orang asal Indonesia di kamp Al-Hol. Ismaeli bertemu dengan Mariam Abdullah, salah satu keluarga kombatan ISIS dari Indonesia.
Mariam adalah ibu empat anak yang mengaku berasal dari Bandung, Jawa Barat. Ia datang ke Suriah bersama suaminya buat bergabung dengan ISIS. Namun kini, sang suami tak diketahui rimbanya.
“Suami saya hilang tidak ada kabar,” ujar Mariam.
Salah satu putrinya yang besar bernama Nabila. Ketika diwawancarai, Nabila membuka nikab yang dipakainya. “Ayah saya bernama Saifuddin,” kata si bocah, menampakkan wajah polos. Ia sedang menyuapi tiga adiknya yang masih kecil.
Mariam memohon agar ia bisa dibantu untuk pulang ke Indonesia bersama empat anaknya. “Mungkin minta bantuan untuk bisa pulang ke negara asal kami, Indonesia,” katanya dalam bahasa Indonesia.
Lantas, apa yang harus dilakukan pemerintah Indonesia atas permintaan keluarga eks kombatan dan pendukung ISIS yang kini ada di Suriah?
Bukan Lagi WNI?
Peneliti pada Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial UI, Solahudin menyebut pemerintah perlu menerima kembali mereka. Menurut Solah, Mariam dan sejumlah keluarga bekas kombatan dan pendukung ISIS masih berstatus WNI.
“Mereka, kan, masih warga negara Indonesia. Negara berkewajiban menerima lagi, harus melindungi. Orang jahat juga harus dilindungi. Suka tidak suka, karena mereka warga negara Indonesia,” kata Solahudin kepada reporter Tirto, Rabu (27/3/2019).
Jika nantinya dipulangkan ke Indonesia, Solahudin menyebut, pemerintah punya dua opsi terhadap keluarga eks kombatan dan pendukung ISIS ini.
“Satu, harus ikut proses hukum di Indonesia karena harusnya melanggar hukum, UU terorisme bisa menjerat mereka. Kedua, ya, menjalani rehabilitasi sosial difasilitasi oleh pemerintah,” katanya.
Namun, anggapan Solahudin dibantah dosen Hubungan Internasional dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Yosef Djakababa. Ia menilai pemerintah Indonesia seharusnya tak perlu menerima kembali keluarga kombatan asal Indonesia yang saat ini berada di Suriah.
“Harusnya enggak usah diterima. Mereka sendiri yang mau ke sana,” kata Yosef kepada reporter Tirto, Rabu siang.
Apa yang disampaikan Yosef bisa jadi benar. Merujuk Pasal 23 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (PDF), terdapat sejumlah hal yang bisa menyebabkan seorang warga negara Indonesia kehilangan kewarganegaraannya.
Salah satunya adalah seperti tercantum dalam huruf a yang berbunyi “memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri;” dan huruf f yang berbunyi “Secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut;”
Kemauan sendiri, kata Yosef, itu berarti keluarga eks kombatan dan pendukung ISIS ini menghendaki Khilafah Islamiyah (pemerintahan Islam). Dengan kata lain, mereka dengan sadar melepaskan kewarganegaraannya dan itu berarti mereka bukan lagi warga negara Indonesia.
“Dia bukan warga negara Indonesia lagi. Kan, sudah sukarela melepaskan kewarganegaraan,” ucap Yosef. “Setelah kalah malah, masak mau balik?” lanjut dia.
Pada sisi lain, Yosef mewanti-wanti pemerintah tentang risiko yang bisa muncul jika membiarkan mereka kembali ke Tanah Air. Kasus bom Surabaya yang melibatkan keluarga Dita Oeripto, bisa menjadi rujukan pemerintah dalam menyikapi keinginan keluarga eks kombatan ini.
Alasan mengikuti suami seperti yang dikatakan Mariam, kata Yosef, tak bisa dijadikan legitimasi untuk mempermudah keluarga eks kombatan dan pendukung ISIS ini ke Indonesia.
“Semua kemungkinan bisa terjadi,” katanya.
Meski begitu, ia mempersilakan pemerintah jika memang punya pertimbangan lain. Namun, rehabilitasi dan pengawasan ketat harus dilakukan untuk menghindari hal yang tak diinginkan.
“Jika tak dipantau, bisa membahayakan keamanan nasional. Harus betul-betul dan serius ikut program BNPT. Daripada malah bikin kacau nanti,” ucap dia.
Menunggu Pemerintah
Sementara itu, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI belum bisa menentukan langkah apa pun terkait keinginan keluarga eks kombatan dan pendukung ISIS ini.
Selasa (19/3) pekan lalu, Juru Bicara Kemlu Arrmanatha Nasir mengatakan, mereka butuh waktu untuk bersikap lantaran harus memverifikasi, mendata, dan berkoordinasi dengan sejumlah instansi terkait permintaan tersebut. Proses ini dilakukan bersama dengan BAIS, BIN dan BNPT.
“Kami belum bisa menyampaikan iya atau tidak sebelum melakukan proses verifikasi itu. Mereka lah [BAIS, BIN, BNPT] yang melakukan proses verifikasinya apakah pertama mereka merupakan WNI? Siapakah mereka? dan lain sebagainya. Itu pun proses cukup panjang, jadi sebelum kami mengambil langkah apa pun, kami melakukan verifikasi,” kata Nasir kepada reporter Tirto.
Nasir pun tidak bisa menjawab apakah Indonesia akan bersikap selayaknya Inggris yang menolak langsung Shamima, warga negara mereka yang ingin kembali ke Inggris.
Kementerian Luar Negeri memastikan jawaban pemerintah baru bisa ditentukan setelah proses verifikasi selesai dilakukan.
“Itu [proses klarifikasi], kan, proses yang panjang sebelum kami bisa membuat keputusan. Pasti ada proses verifikasi siapa kah mereka, apakah mereka dan mereka. Kami, kan, tidak tahu apakah masih punya paspor apa masih WNI, kami atau tidak dan sebagainya. Itu perlu diklarifikasi semua,” kata Nasir.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Mufti Sholih