tirto.id - Pandemi COVID-19 membuat perusahaan-perusahaan mengalami kesulitan keuangan. Mencari pendanaan melalui utang merupakan salah satu jalan agar korporasi-korporasi ini mampu bertahan hidup, di tengah pandemi yang belum diketahui kapan akan berakhir.
Utang korporasi global sebenarnya sudah menunjukkan tren meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Data Statista menunjukkan jumlahnya bahkan sudah melampui era Great Recession atau Resesi Keuangan tahun 2009 silam.
Mengesampingkan utang sektor finansial, utang korporasi global sudah mencapai 72 triliun dolar AS pada awal kuartal I tahun 2019. Dari jumlah itu, sebanyak 40 persennya merupakan utang yang korporasi dari negara berkembang. Pada 2008, persentase utang dari korporasi negara emerging hanya 20%. Utang korporasi dalam hal ini terdiri dari dua yakni pinjaman langsung dan surat utang.
Institute of International Finance mencatat, total utang korporasi selain bank, melonjak tajam mencapai 75 triliun dolar AS hingga akhir 2019, dibandingkan 48 triliun dolar AS per akhir 2009.
Rezim suku bunga rendah yang sudah diterapkan dalam beberapa tahun terakhir membuat korporasi berlomba-lomba mencari pendanaan untuk ekspansi.
Terkait terus meningkatnya utang korporasi ini, pada Oktober 2019, IMF sudah mengingatkan potensi bom waktu yang bisa memicu resesi global. Dalam update tengah tahun tentang pasar finansial dunia, IMF menyatakan meningkatnya utang membuat sistem finansial global mengalami kerentanan. IMF mengingatkan negara-negara anggotanya untuk tidak mengulang kesalahan yang sama seperti awal 2000. Saat itu, peringatan awal tentang terjadinya gangguan di pasar diabaikan.
Utang Meningkat, Risiko Bertambah
Kini, kerentanan semakin menguat karena meningkatnya utang korporasi sehubungan dengan pandemi. Studi terbaru yang dilakukan Janus Henderson, sebuah perusahaan aset manajemen global yang berbasis di London, menunjukkan tren kenaikan utang global akibat pandemi COVID-19.
Berdasarkan survei Janus Henderson terhadap 900 perusahaan top global, diperkirakan utang baru perusahaan-perusahaan dunia akan bertambah 1 triliun dolar AS pada 2020. Secara total utang korporasi global [melalui penerbitan surat utang] pada tahun 2020 akan melonjak 12 persen menjadi sekitar 9,3 triliun dolar AS.
Persentase kenaikan itu lebih besar jika dibandingkan dengan persentase kenaikan pada tahun 2019 yang mencapai 8%. Tahun lalu terjadi kenaikan utang baru yang dipicu oleh merger dan akuisisi, serta pendanaan untuk buyback dan dividen. Namun, lonjakan tahun ini disebabkan oleh alasan yang berbeda: perusahaan butuh uang untuk bisa bertahan di tengah hantaman pandemi.
“COVID telah mengubah semuanya,” kata Seth Meyer, manajer portofolio Janus Henderson, seperti dilansir Reuters. Ia mengatakan, saat ini yang penting adalah menjaga modal dan menjaga neraca keuangan.
Selama Januari hingga Mei, perusahaan masuk ke pasar surat berharga untuk mencari pendanaan dengan total 384 miliar dolar AS. Meyer memperkirakan dalam beberapa pekan terakhir tercipta rekor baru untuk penerbitan surat utang dari perusahaan-perusahaan yang lebih berisiko, berperingkat kredit yang lebih rendah dengan imbal hasil tinggi.
Sementara The Economist mengutip data Institute of International Finance menuliskan, global corporate debt (kecuali perusahaan-perusahaan finansial) meningkat dari 84% PDB pada 2009 menjadi 92% PDB pada 2019. Rasio meningkat di 33 negara, dari 52 negara yang ditelusuri. Khusus untuk utang korporasi non-finansial AS melonjak menjadi 47% PDB, dari 43% PDB satu dekade sebelumnya.
Dari penelusuran The Economist, sebanyak 7% dari global corporate bonds non-finansial dimiliki oleh industri-industri yang terpukul oleh virus, seperti maskapai dan hotel.
Berkaitan dengan daya tahan perusahaan-perusahaan tersebut, The Economist membuat “cash-crunch stress-test”. Tes dilakukan terhadap 3.000 perusahaan non-finansial yang tercatat--di luar Chin--untuk menguji kemampuan mereka menghadapi pandemi. Asumsinya: penjualan anjlok hingga dua per tiga dan mereka tetap harus membayar biaya-biaya rutin seperti bunga dan upah. Hasilnya, dalam tiga bulan, sebanyak 13% perusahaan-perusahaan, yang mewakili 16% dari total utang, akan kehabisan cash. Mereka akan dipaksa untuk meminjam, menghemat atau gagal bayar dari sebagian utang mereka yang dikombinasikan sebesar 2 triliun dolar. Jika dilanjutkan hingga 6 bulan, maka seperempat dari perusahaan-perusahaan itu akan kehabisan cash.
Kondisi perusahaan jelas lebih mengkhawatirkan dengan adanya pandemi ini. Mereka yang memiliki surat utang terancam gagal bayar.
Standard & Poor’s mencatat adanya potensi penurunan peringkat (downgrade) sehubungan dengan tekanan akibat COVID-19. Jumlah surat utang yang berpotensi mengalami downgrade meningkat menjadi 1.350 per 29 Mei, naik dibandingkan 1.287 pada April. Ini berarti melampaui era krisis 2009 yang mencatatkan angka 1.028. Pada April, ada peningkatan hingga 550.
Sementara tren downgrade terlihat mulai melambat. Pada Mei terjadi 175 downgrades, sehingga secara total hingga 29 Mei sudah mencapai 1.082. Pada April, ada 415 downgrade. Kenaikan downgrade mulai terjadi pada Maret, setelah beberapa negara memberlakukan lockdown untuk melawan penyebaran virus. Hal itu langsung menggerus pendapatan sejumlah penerbit surat utang, terutama dengan peringkat yang lebih lemah.
Pandemi COVID-19, ditambah dengan jatuhnya harga minyak telah memukul sejumlah perusahaan, terutama di bidang energi, hospitality, serta otomotif. Mereka dikhawatirkan tak mampu membayar utang yang jatuh tempo. Jika itu terjadi, maka akan menyebabkan penurunan peringkat dan default, yang kemudian mengganggu stabilitas pasar finansial serta guncangan ekonomi.
“Gagal bayar dan risiko downgrade telah meningkat ke level tertingginya sejak permulaan siklus bisnis terbaru,” ujar Lofti Karoui, chief credit strategist Goldman Sachs, seperti dilansir dari CNN.
Bagaimana dengan Indonesia?
Tren kenaikan utang korporasi juga terjadi di Indonesia. Menurut data Bank Indonesia, utang luar negeri (ULN) Indonesia tercatat sebesar 404,7 miliar dolar AS hingga akhir Mei. Rinciannya, ULN sektor publik (pemerintah dan Bank Sentral) sebesar 194,9 miliar dolar AS dan ULN sektor swasta (termasuk BUMN) sebesar 209,9 miliar dolar AS.
ULN Mei ini mencatat pertumbuhan 4,8%, lebih tinggi dari pertumbuhan ULN April sebesar 2,9% (yoy). Hal itu disebabkan karena transaksi penarikan neto ULN, baik ULN pemerintah maupun swasta, ditambah lagi oleh penguatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang berkontribusi pada peningkatan ULN berdenominasi rupiah.
ULN swasta meningkat didorong oleh ULN perusahaan bukan lembaga keuangan. ULN swasta per akhir Mei tumbuh 6,6%, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan sebelumnya sebesar 4,4% (yoy). ULN perusahaan bukan lembaga keuangan meningkat 8,9% (yoy), sementara ULN lembaga keuangan mengalami kontraksi 0,8% (yoy). Sektor dengan pangsa ULN terbesar yakni 77,3% dari total ULN swasta adalah sektor jasa keuangan dan asuransi, sektor pertambangan dan penggalian, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas dan udara dingin (LGA), dan sektor industri pengolahan.
Rasio ULN Indonesia terhadap PDB sebesar 36,6%, meningkat tipis dibandingkan bulan sebelumnya 36,2%.
Editor: Windu Jusuf