tirto.id - Presiden ke-3 Republik Indonesia (RI), BJ Habibie meninggal dunia pada Rabu (11/9/2019) sekitar pukul 18.05 WIB di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto.
Wakil Presiden ketujuh Republik Indonesia tersebut meninggal dunia dalam usia 83 tahun karena gagal jantung. Jasadnya disemayamkan di rumah duka di Patra Kuningan, Jakarta Selatan.
Habibie dimakamkan hari ini, Kamis (12/9/2019) usai salat zuhur, di Taman Makam Pahlawan Nasional (TMPN) Kalibata, di samping makam sang istri, Hasri Ainun Besari.
Habibie dikenang sebagai salah satu putra terbaik bangsa Indonesia yang telah memberikan banyak kontribusi untuk Tanah Air, hingga ia dijuluki Bapak Teknologi RI. Salah satu warisan Habibie adalah industri pesawat terbang Indonesia.
BJ Habibie belajar soal pesawat dan penerbangan di Jerman. Pada tahun 1973, ia pulang ke Indonesia dan diproyeksikan pemerintah Orde Baru sebagai tokoh pengganti Nurtanio Pringgoadisurjo yang telah lebih dahulu memulai pembuatan pesawat pertama di Indonesia.
Maka pada 1976, Lembaga Industri Pesawat Terbang Nurtanio (LIPNUR) yang dipimpin Nurtiano dan kawan-kawan berubah nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) yang dipimpin oleh Habibie.
Sejak kepemimpinannya, Habibie mengembangkan sejumlah teknologi dan kerja sama dengan negara lain dalam membuat sejumlah pesawat terbang, seperti CN235 (diproduksi massal tahun 1983), N250, dan N2130.
Industri pesawat terbang yang pertama dan satu-satunya di Indonesia dan Asia Tenggara ini kemudian berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) pada 11 Oktober 1985.
Ketika nama "Nurtanio" diganti menjadi "Nusantara", krisis keuangan mulai menerpa. Proyek N2130 dihentikan, sementara N250 berhasil mengudara pada peringatan 50 tahun Kemerdekaan Republik Indonesia. Setelah penerbangan pertama N250 pada 1995, krisis moneter dan ekonomi 1997 semakin membuat IPTN goyah.
Dalam situasi yang semakin memburuk, pemerintah Indonesia terpaksa meminjam dana kepada International Monetary Fund (IMF) dengan syarat harus menghentikan operasi IPTN. Ribuan karyawan dirumahkan. Gelombang demonstrasi mengguncang industri pesawat terbang tersebut.
“Setelah 1997 keadaannya malah semakin parah saja. Apalagi IMF tampil sebagai dokter ahli amputasi pada Februari 1998. Lembaga ini langsung menohok jantung industri strategis, yaitu IPTN yang menjadi kebanggaan Soeharto dan Menristek BJ Habibie,” tulis Ishak Rafick dalam Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia: Jalan Baru Membangun Indonesia (2007).
Ishak Rafick menambahkan, IMF menilai industri pesawat terbang itu adalah proyek mercusuar yang hanya menghambur-hamburkan uang.
Lembaga tersebut menilai jika kondisi ekonomi cepat pulih, maka sejumlah proyek seperti IPTN harus segera dihentikan. Maka pada 15 Februari 1998, dana IPTN mulai diamputasi dari APBN. Akibatnya, IPTN sebagai salah satu industri strategis semakin kesulitan dana.
Tekanan terhadap IPTN sempat mengundang sejumlah cibiran yang mencurigai IMF tengah berupaya mengerdilkan industri pesawat terbang tersebut yang bukan sekadar tukang jahit.
“IPTN berupaya mengembangkan potensi dirgantara, sehingga Indonesia bisa menjaga kedaulatan udaranya dengan pesawat-pesawat buatan sendiri, sekaligus memudahkan penduduknya untuk menjelajahi tanah airnya yang luas lewat penetrasi udara,” tambahnya.
Sementara Fahmy Radhi dalam Kebijakan Ekonomi Pro Rakyat (2008) menjelaskan sejak didirikan, industri pesawat terbang ini memang dianggap sejumlah pihak sebagai proyek mercusuar seperti zaman Orde Lama. Kritik dari dalam dan luar negeri terus-menerus menyerang IPTN.
Kritik-kritik tersebut adalah menilai pemilihan jenis industri teknologi tinggi dan padat modal tidak cocok bagi kondisi Indonesia, juga pengelolaan perusahaan yang tidak efisien dan tidak transparan.
“Penghentian operasi perusahaan dengan merumahkan sebagian besar pekerjanya merupakan klimaks dari perjalanan terseok-seok industri strategis penghasil pesawat terbang yang dibanggakan pada masa Orde Baru,” tulisnya.
Perusahaan dengan sumber daya manusia melimpah ini kemudian terpaksa menyia-nyiakan potensi anak bangsa di bidang teknologi dirgantara.
Chappy Hakim dalam Berdaulat di Udara: Membangun Citra Penerbangan Nasional (2010), mencatat dalam waktu sekitar 20 tahun IPTN berhasil meningkatkan jumlah tenaga teknisi desainer dan teknisi operator yang semula berjumlah 200-an orang pada tahun 1979, menjadi 1.578 orang pada 1998. Tenaga insinyur yang hanya 120 orang pada tahun 1980 menjadi 1.225 orang pada 1998.
Selain itu, banyak juga tenaga setingkat doktor yang dihasilkan pada bidang disiplin ilmu yang sangat langka pada spesialisasi khusus bidang industri pesawat terbang yang akhirnya pindah kerja ke industri pesawat luar negeri, atau memilih usaha lain.
“Bisa dibayangkan apa yang terjadi kemudian di tubuh IPTN yang program-programnya sangat ambisius dan selalu mendapatkan dukungan dana nyaris tanpa batas, mendadak harus terhenti tiba-tiba,” tambahnya.
Sumber daya terdidik yang kehilangan pekerjaan ini, dengan motivasi yang tidak terlalu tinggi karena mulai digerogoti usia dan mesti jauh dari keluarga, sebagian bekerja di industri dirgantara Malaysia, Eropa, Amerika Serikat, Kanada, dan Brasil.
Dikutip dari situs web PT Dirgantara Indonesia, nama IPTN kemudian diubah menjadi PT Dirgantara Indonesia atau Indonesian Aerospace (IAe) yang secara resmi diresmikan Presiden ke-4 Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid, di Bandung pada 24 Agustus 2000.
Editor: Agung DH