tirto.id - Puluhan warga RW 11 Tamansari, Bandung, melangsungkan aksi unjuk rasa di depan Gedung Kementerian ATR/BPN. Salah satu tuntutannya adalah penegasan status lahan Tamansari yang digusur oleh Pemerintah Kota Bandung pada 12 Desember 2019 lalu.
"Lihatlah begitu banyak penggusuran, begitu banyak pembangunan infrastruktur yang tidak sama sekali melihat bagaimana rakyat harus disejahterakan," ujar Eva, warga Tamansari, dalam orasinya di depan Gedung Kementerian ATR/BPN, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Senin (13/1/2020).
Peserta aksi lainnya yakni Feru meminta BPN mempertegas status lahan di Tamansari, Bandung. Ia meminta Kementerian ATR/BPN untuk turun langsung ke Tamansari meninjau dan memperjelas status tanah di sana.
"Kami menuntut Kementerian ATR/BPN untuk meninjau secara langsung dan menyatakan bahwa lahan Tamansari RW 11 adalah tanah negara bebas," tegas Feru.
Pasalnya, penggusuran tersebut dinilai oleh warga Tamansari tidak sah. Alasannya, Pemkot Bandung tak memiliki sertifikat atas kepemilikan lahan yang telah dihuni warga selama puluhan tahun.
Saat ini, Pemkot Bandung juga tengah mengajukan sertifikasi lahan tersebut ke Kementerian ATR/BPN. Dengan itu, dalam aksi ini, warga pun mendesak Kementerian ATR/BPN untuk memblokir pengajuan sertifikat tersebut.
Sementara itu, Kepala Bagian Hukum Pemkot Bandung Bambang Suhari pun sempat mengakui kepada reporter Tirto bahwa Pemkot Bandung memang belum memiliki sertifikat atas lahan tersebut, sekalipun mereka telah melangsungkan penggusuran.
“Sertifikasi sedang proses di BPN. Nah, untuk proses itu, dibutuhkan pengamanan aset,” ujarnya pada kepada reporter Tirto pada Jumat (20/12/2019).
Pemkot Bandung mengklaim merupakan pemilih dari lahan RW 11 Tamansari, Bandung, berdasarkan dua hal, yakni surat jual-beli tanah tersebut pada tahun 1930, serta surat keterangan aset daerah.
Sementara, menurut kuasa hukum warga Tamansari dari LBH Bandung Rifki Zulfikar, sepatutnya kepemilikan tanah diakui berdasarkan sertifikat dari BPN.
“Jadi, status lahannya sampai sekarang ya masih tanah negara, status quo,” ujarnya kepada reporter Tirto pada Kamis (19/12/2019) malam.
“Diperkuat, ada aturan Menteri Dalam Negeri no 19/2016 tentang Aset Daerah. Kedudukan aset daerah urutannya harusnya disertifikatkan dulu, baru jadi aset daerah, sedangkan pemkot kebalik, sertifikat belum ada, tapi udah masuk aset daerah,” jelasnya.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Bayu Septianto