tirto.id - Warga Celukan Bawang dan Greenpeace Indonesia telah mengajukan permohonan banding atas putusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar, Bali. Banding dilakukan karena hakim menolak gugatan warga pada 16 Agustus 2018, terkait Keputusan Gubernur Bali tentang izin lingkungan hidup pembangunan PLTU Celukan Bawang 2x330 megawatt (MW).
Direktur YLBHI-LBH Bali, Dewa Putu Adnyana selaku kuasa hukum Warga Celukan Bawang, dalam keterangan persnya di Denpasar, Kamis (30/8/2018) menyampaikan bahwa hakim tidak mempertimbangkan bukti ilmiah pencemaran lingkungan akibat PLTU Celukan Bawang."Kami telah mengajukan upaya banding terhadap putusan hakim ini pada Selasa (28/8), karena hakim PTUN Denpasar tidak mengetahui langsung penderitaan warga di sekitar lokasi obyek sengketa," ujarnya.
Ia menilai, kejanggalan dari putusan hakim selanjutnya adalah, saat menyatakan belum ada bukti ilmiah yang menunjukkan potensi pencemaran yang ditimbulkan oleh PLTU Batu Bara. "Padahal beberapa bukti kajian ilmiah telah dihadirkan oleh penggugat," katanya.
Salah satunya adalah kajian berjudul Menilai kualitas udara, dampak racun dan kesehatan dari ekspansi PLTU Batu Bara yang ditulis oleh Laury Myllyvirta dengan kode bukti P. 29, sudah diajukan dalam pengadilan, namun tidak dipertimbangkan hakim.
Berdasarkan uraian mengenai kegagalan tafsir hakim dan kejanggalan dalam hal pembuktian tersebut, warga Celukan Bawang dan Greenpeace berkeyakinan Majelis Hakim PT PTUN Surabaya bisa membatalkan Putusan PTUN Denpasar.
"Warga yang bermukim di sekitar PLTU Celukan Bawang menyesalkan putusan hakim yang menolak gugatan," katanya.
Warga menilai hakim tidak memiliki pemahaman di lapangan atas dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas PLTU tersebut. Warga tetap melakukan perlawanan terhadap ekspansi PLTU Celukan Bawang, karena ada dampak negatif lingkungan dan mata pencaharian yang mulai dirasakan warga sekitar.
Selain itu, putusan hakim sangat mencederai rasa keadilan, karena dasar pertimbangan tersebut justru bertentangan dengan dasar hukum yang dirujuk majelis atas Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 terkait Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dalam kutipan pasal itu menyebutkan tentang pengertian dari sengketa lingkungan hidup dimana sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan atau telah berdampak pada lingkungan hidup.
Dengan pasal tersebut, warga atau badan hukum yang mengajukan gugatan atas tindakan yang berpotensi mencemari lingkungan dapat diterima oleh hakim. Selain kegagalan tafsir atas sengketa lingkungan hidup, pertimbangan dalam putusan tersebut juga janggal.