tirto.id - “King Cobra bukan seperti kucing atau anjing. Mereka satwa liar, tidak seharusnya jadi hewan peliharaan.”
Demikianlah komentar Kepala Laboratorium Herpetologi Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia, Amir Hamidi saat saya hubungi, Jumat (13/7/2018).
Saya meminta pendapat Amir terkait insiden kematian Dewa Rizki Ahmad (19) yang tewas setelah dipatuk ular peliharaannya itu saat tengah pamer kemampuan di arena Car Free Day, Palangkaraya, pada Minggu, 8 Juli 2018. Ia baru dikuburkan tiga hari kemudian.
Dalam dunia akademik, King Cobra lazim disebut Ophiophagus hannah. Binatang inimerupakan satu di antara tiga jenis ular paling berbahaya. Ia berada di bawah ular viper dan black mamba. Pada 2016, ular-ular jenis ini sempat menggegerkan India karena menyebabkan 46 ribu kasus kematian.
King Cobra sebenarnya tidak termasuk keluarga besar genus ular kobra. Ular kobra biasanya dimasukkan dalam genus Naja, sementara King Cobra masuk dalam genus Ophiophagus. Pembedaan ini disebabkan King Cobra adalah binatang kanibal.
Binatang ini punya bisa yang mengandung neurotoksin--racun berbahaya yang mampu membunuh manusia bahkan dengan takaran sepermililiter. Sementara, King Cobra mampu menyalurkan tujuh mililiter racun neurotoksin dalam satu kali gigit. Dosis tersebut cukup untuk membunuh sekitar 20 orang.
Kemampuan ini yang disebut Amir sebagai hal yang mengerikan. “Bukan milliliter lagi, tapi sepermilliter saja sudah bisa membunuh orang, gajah juga mati,” ucap Amir.
Ularnya Pemalu Tapi Jangan Cari Gara-gara
Meski memiliki racun berbahaya, King Cobra sebenarnya bukan binatang agresif yang suka menyerang kapan saja. Ular yang punya panjang antara 3-4 meter ini sebenarnya sangat pemalu dan hanya menyerang saat merasa terdesak atau sedang berusaha untuk melindungi dirinya dan telurnya.
Selain pemalu, King Cobra juga cukup hati-hati jika dibandingkan jenis ular lainnya yang berukuran lebih kecil. Kehati-hatian ini tampak saat King Cobra sedang bereproduksi. Mereka akan membuat sarang untuk melindungi telurnya dari gangguan manusia dan binatang lainnya.
Alasan ini yang membuat Amir tak habis pikir dengan ulah Rizki. Bagi Amir, Rizki memang mencari perkara lantaran segala macam tindakan dan perlakuan manusia–bahkan kehadiran--sudah membuat King Cobra tak nyaman. Sehingga atraksi yang dilakukan Rizki, tak bisa dikatakan bentuk keakraban melainkan potensi serangan.
“[Karena] ketika adegan mencium King Cobra, sebenarnya mata Cobra itu dialihkan ke tempat lain. Kemudian orang yang melakukan atraksi mencium ular itu dari arah kepala atau lainnya,” kata Amir.
Tak Ada Jaminan Selamat
Insiden di Palangkaraya, kata Amir, seharusnya menjadi peringatan untuk semua orang yang mau memelihara King Cobra. Terlebih, binatang ini sudah ditetapkan International Union for Conservation of Nature masuk dalam daftar hewan yang dilindungi dan tidak boleh dibunuh seenaknya karena sudah mendekati kepunahan pada 2010.
Amir mengatakan King Cobra adalah satwa liar yang mempunyai insting menyerang. Meski manusia menganggap King Cobra sudah jinak, tetapi mereka tetap akan menyerang, tanpa kita ketahui kapan waktunya.
Apabila sudah digigit King Cobra, kemungkinan selamat memang hanya sedikit karena Indonesia belum seperti Thailand yang sudah memproduksi anti-bisa neurotoksin. “Ketika [racunnya] masuk ke sistem syaraf akan menyebabkan kelumpuhan dan kemungkinan meninggal,” kata Amir.
Amir mewanti-wanti siapa pun untuk tak sembrono memelihara King Cobra. “[Bagaimanapun] ular ini adalah satwa liar berbahaya dan tak boleh dipelihara sembarangan. Di tahun 2017 juga banyak yang meninggal dan mereka adalah orang yang paham tentang ular, tapi tidak paham bahwa ular itu adalah satwa liar."
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Mufti Sholih