tirto.id - Ingat kisah-kisah tentang putri-putri klasik Disney? Perempuan-perempuan cantik, bertubuh semampai, berkulit putih, bertutur kata lembut, rajin mengerjakan pekerjaan rumah, menantikan pangeran yang datang dan mengajaknya ke istana, memberinya masa depan cerah. And they live happily ever after… begitu akhir kisahnya.
Zaman digital seperti ini, banyak cara yang dapat dilakukan perempuan agar dapat meraih kebahagiaan dan masa depan cerah. Para perempuan kini dapat memperoleh masa depan lebih baik tanpa harus menunggu pinangan pangeran. Kesempatan belajar dan bekerja yang luas membuat perempuan kini memiliki banyak pilihan untuk memperbaiki kehidupannya. Berdasarkan kajian dari Bank of America, pada tahun 1950 di Amerika Serikat hanya ada 34% perempuan yang bekerja. Pada tahun 2013, jumlah itu meningkat menjadi 57,2%, menurut data dari Biro Statistik Ketenagakerjaan AS.
Semakin banyak perempuan yang memilih sekolah tinggi dan bekerja setelah selesai sekolah. Mereka kemudian memiliki penghasilan sendiri dan menjadi semakin mandiri. Selain dapat mengembangkan diri, aktualisasi diri, perempuan juga semakin memiliki independensi finansial yang lebih tinggi.
Independen berarti dapat memenuhi biaya sendiri tanpa mengantungkan diri pada orang tua atau pasangan, teman atau pihak lain. Artinya juga, bergantung dari penghasilan yang stabil juga mengambil berbagai keputusan finansial. Independen secara finansial juga dapat diartikan tahu ke arah mana tujuan finansialnya. Memiliki tujuan finansial ini penting mengingat perempuan umumnya seringkali berfoya-foya tanpa memiliki tujuan yang jelas saat membelanjakan uangnya.
Selain bekerja, sebagian lainnya memilih menjadi ibu rumah tangga. Ini juga pilihan yang mulia. Tidak mudah bekerja 24 jam, bangun subuh untuk mempersiapkan sarapan untuk keluarga, lalu pergi mengantar anak sekolah, membereskan rumah, hingga malam masih menemani anak belajar, bukanlah hal mudah.
Kedua pilihan itu sama-sama memiliki kesempatan untuk meraih independensi finansial. Sebenarnya, mengapa perempuan sebaiknya independen secara finansial ?
Berdasarkan statistik, usia harapan hidup perempuan lebih panjang dibandingkan dengan laki-laki. Survei Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, pada tahun 2010-2014 angka harapan hidup laki-laki 68 tahun. Sementara, angka harapan hidup perempuan 72 tahun. Pada tahun 2015, baik laki-laki maupun perempuan memiliki tambahan satu tahun harapan hidup. Tetap saja perempuan hidup lebih lama.
“Artinya, umumnya perempuan harus mampu bertahan hidup minimal 4 tahun tanpa penghasilan suami, apalagi jika masih ada anak yang harus dibiayai,” ujar Agustina Fitria Aryani CFP, Financial Planner Head OneShildt Financial Planning ketika dihubungi Tirto. Saat kondisi perekonomian secara umum sedang memburuk dan ada potensi suami kehilangan pekerjaan, maka perempuan yang mandiri secara finansial akan mampu menyambung hidup keluarga sampai suaminya mendapatkan pekerjaan yang baru.
Alasan lain diungkapkan oleh Eko Endarto CFP, Financial Planner dari Finansia Consulting. Kata Eko, perempuan juga cenderung lebih boros dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini sebenarnya masih diperdebatkan, tetapi kalau kita pergi ke mal, lebih banyak toko yang menyediakan perlengkapan buat perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Tanpa independensi finansial, kalau mau beli lipstik, perempuan harus minta pada orang tua atau pasangannya.
Tak hanya itu, hidup ini penuh ketidakpastian. Hidup tidak selalu mulus. Kadang terjadi kemalangan. Misalnya saja, kehilangan pasangan yang selama ini menjadi tumpuan hidup, termasuk tumpuan finansial. Kehilangan itu dapat berarti pasangan meninggal dunia, sakit hingga tidak dapat lagi memberikan penghasilan atau kawin lagi dengan perempuan lain.
“Tingkat perceraian yang tinggi di Indonesia tertinggi di Asia Pasifik menurut survei BKKB tahun 2013. Perceraian seringkali menyebabkan perempuan harus membiayai hidupnya sendiri dan anak yang diperoleh dari perkawinan,” tambah Fitri.
Saat kondisi perekonomian secara umum sedang memburuk dan ada potensi suami kehilangan pekerjaan, maka perempuan yang mandiri secara finansial akan mampu menyambung hidup keluarga sampai suaminya mendapatkan pekerjaan yang baru.
Banyak perempuan yang bingung ketika ditinggalkan pasangannya dengan alasan apapun. Ujungnya, menurunkan gaya hidup, bahkan kualitas hidup. Tidak jarang keluarga menjadi jatuh dalam kemiskinan dan anak-anak yang tidak terurus dengan baik.
Membangun Aset
Salah satu cara untuk menjadi independen secara finansial adalah membangun aset. Perempuan pekerja dapat menyisihkan sebagian dari penghasilan untuk membeli aset. Misalnya saja, secara teratur membeli logam mulia, saham, reksa dana atau properti. Jika memiliki pasangan, tentu hal ini harus dibicarakan dengan pasangan.
Buat perempuan muda, bahkan yang belum bekerja, pengetahuan mendasar tentang keuangan seperti mengendalikan pengeluaran, menyisihkan uang untuk investasi sangatlah penting. Semakin dini membiasakan diri untuk memiliki kebiasaan finansial yang baik seperti dua hal di atas, hasilnya akan semakin baik. Kebiasaan tersebut akan terbawa terus bahkan jika suatu saat si nona muda bekerja lalu berumah tangga.
Aset, dapat menjadi tumpuan di masa depan. Aset berupa portofolio seperti deposito, saham, obligasi atau reksa dana. Aset tersebut memberikan imbal hasil. Deposito memberikan imbalan berupa bunga. Saham, selain memberikan bagi hasil berupa dividen yang diberikan ketika perusahaan mendapatkan keuntungan, memberikan pula kenaikan harga saham. Ellen May merupakan salah satu contoh perempuan yang mempelajari bagaimana bertransaksi saham dengan tekun dan berhasil mendapatkan keuntungan dari pasar modal.
Pernah mendengar tetangga yang memiliki rumah kontrakan? Properti yang disewakan pun dapat menjadi sumber penghasilan. Bisnis yang dijalankan secara pasif, juga dapat menjadi tumpuan. Misalnya saja, memiliki izin waralaba. Waralaba itu dijalankan oleh orang lain lalu memberikan penghasilan.
Aset-aset tersebut tidak datang atau menumpuk secara tiba-tiba. Hanya ada sebagian kecil orang yang mendapatkan warisan keluarga. Selebihnya, harus berusaha sendiri untuk mendapatkan aset.
Perempuan pun dapat melakukan hal seperti itu. Disiplin berinvestasi sejak muda dapat digunakan untuk mengembangkan aset. Bersahabatlah dengan waktu.
Perempuan bekerja, dapat menyisihkan sebagian penghasilannya untuk dialokasikan menjadi investasi. Ada baiknya, setiap bulan ada minimal 10 persen pendapatan yang disisihkan untuk membeli reksa dana, emas, saham atau aset lainnya. Menyisihkan dana dengan cara auto debet, memotong penghasilan sebelum dibelanjakan, lebih memastikan pos investasi selalu terisi, ketimbang berjanji dalam hati akan menyisihkan dana setelah berputar-putar di mal.
Misalnya saja, seorang perempuan pekerja yang berusia 25 tahun. Sejak gaji pertamanya, dia menyisihkan dana sebesar Rp500 ribu per bulan untuk diinvestasikan pada saham selama 30 tahun. Dengan asumsi kenaikan harga saham sebesar 15 persen per tahun, pada usia 55 tahun asetnya sudah mencapai Rp3 miliar. Hanya dari menyisihkan Rp 500 ribu saja dengan disiplin. Perhitungan itu tidak mengasumsikan ada kenaikan investasi.
Bagaimana dengan perempuan yang memilih tinggal di rumah? Apakah tidak dapat menjadi perempuan yang independen dalam finansial ? Menurut Eko, hal itu tidak menjadi masalah. “Sebab di Indonesia 80% pengelolaan keuangan keluarga ada di kaum perempuan. Jadi tinggal bagaimana perempuan yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga bisa mengelola agar uang keluarga juga bisa disiapkan untuk masa depan dirinya kelak. Saya kira tidak akan salah perempuan berinvestasi sendiri dengan syarat tidak mengganggu dana keluarga,” kata Eko.
Fitri menambahkan, perempuan harus memiliki akses terhadap keuangan keluarga, misalnya memiliki rekening tabungan atau investasi sendiri sebagai salah satu sumber dana penyambung hidup keluarga saat terjadi kondisi darurat seperti misalnya saat suami meninggal, atau terjadi perceraian. Sumber dana untuk rekening atau investasi ini dapat diperoleh dari penghasilannya sendiri, atau dengan menyisihkan 5%-10% dari dana yang dipercayakan suaminya setiap bulan.
Jadi, menunggu pangeran gagah berkuda putih bukanlah bagian dari perencanaan keuangan. Lebih baik belajar mengendalikan pengeluaran, mulai berinvestasi dengan teratur dan memumpuk kebiasaan positif dalam hal keuangan.
Lupakanlah pangeran itu, mulailah mengumpulkan aset.
Penulis: Nurul Qomariyah Pramisti
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti