Menuju konten utama

WALHI Nilai Pemprov DIY Belum Mampu Atasi Masalah Sampah

Keputusan penutupan TPA Piyungan dinilai menjadi sinyal bahwa Pemprov DIY belum mampu keluar dari kerumitan persoalan sampah di Yogyakarta.

WALHI Nilai Pemprov DIY Belum Mampu Atasi Masalah Sampah
Warga melintas di dekat tempat pembuangan sampah sementara di Yogyakarta, Senin (17/7/2023). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah/rwa.

tirto.id - Direktur WALHI Yogyakarta Gandar Mahojwala menilai usulan pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mengalihkan pembuangan sampah dari TPA Piyungan ke wilayah lain hanya akan menyelesaikan persoalan tata kelola sampah dalam jangka pendek saja.

Usulan ini menyusul keputusan Pemda Yogyakarta yang mengumumkan bahwa TPA Piyungan akan ditutup mulai tanggal 23 Juli 2023 hingga 5 September 2023.

“WALHI Yogyakarta menilai usulan ini hanya memindahkan risiko ke wilayah lain dan akhirnya membuat wilayah lain tersebut menjadi sama rentannya. Perlu adanya langkah strategis dalam mencari jalan keluar persoalan ini,” kata Gandar dalam keterangan resmi, Selasa (25/7/2023).

Keputusan penutupan TPA Piyungan juga dinilai menjadi sinyal bahwa pemerintah daerah belum mampu keluar dari kerumitan persoalan sampah di DIY.

TPA Piyungan bertindak sebagai tempat pembuangan akhir untuk sampah yang dihasilkan oleh warga dari tiga wilayah perkotaan, yaitu Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Bantul. Menurut data dari Dinas Pekerjaan Umum Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral, volume sampah yang ditangani pada 2022 sebanyak 757,2 ton/hari.

Awalnya, kata Gandar, pengelolaan sampah di TPA Piyungan menggunakan metode sanitary landfill. Metode ini hanya berlaku untuk sampah organik yang dapat terurai. Namun, saat ini, proses pengelolaan sampah di TPA Piyungan telah berubah menjadi control landfill karena tidak lagi memisahkan sampah organik dan anorganik.

“Perubahan metode dan volume timbulan sampah di TPA Piyungan justru meningkatkan risiko terjadinya bencana ekologis di wilayah sekitarnya,” ujar Gandar.

Ia menambahkan, ketentuan mengenai pengelolaan sampah DIY sudah tertuang dalam Perda DIY No. 3 tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Secara normatif, kebijakan pengurangan dan penanganan sampah di DIY diatur dengan skema pembatasan timbunan sampah, pemanfaatan kembali, dan pendaurulangan sampah.

Dalam skema ini, produsen sampah wajib menghasilkan produk dengan kemasan yang mudah terurai dan melakukan pengelolaan daur ulang hingga pemanfaatan kembali.

“Sayangnya ketentuan ini hanya pada tataran normatif saja, belum optimal dalam proses implementasi. Tidak adanya sanksi bagi pelanggar ketentuan ini menjadi isu beratnya menegakkan peraturan mengenai pengelolaan sampah di Yogyakarta,” jelas Gandar.

WALHI Yogyakarta mengimbau agar adanya regulasi guna menuntut tanggung jawab sektor bisnis dalam pengelolaan produksi sampahnya.

Kebijakan extended producer responsibility (EPR) dapat digunakan pemerintah untuk memperkuat pengaturan ini. Dengan kebijakan ini, pemerintah mampu mendorong produsen khususnya sektor bisnis untuk mengambil langkah aktif dalam mengurangi pencemaran.

”Kedua, penguatan regulasi dengan mengatur ketentuan sanksi pada kebijakan tata kelola sampah di DIY. Ketiga, segera sahkan regulasi yang mengatur secara spesifik sampah sekali pakai,” ungkap Gandar.

Gandar juga menyarankan adanya regulasi pemberian insentif kepada komunitas hingga desa yang secara mandiri telah melakukan pengelolaan sampahnya. Pemberian insentif ini sebagai reward untuk mereka yang telah melakukan upaya untuk mereduksi problem sampah.

Sementara itu, meskipun dalam kondisi mendesak, Pemerintah DIY tetap perlu melakukan kajian dampak lingkungan dan sosial untuk rencana pemindahan TPA ke wilayah lain.

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta sebelumnya meminta pemerintah kabupaten/kota mengelola sampah secara mandiri seiring penutupan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Regional Piyungan, Bantul mulai 23 Juli sampai 5 September 2023 karena telah melebihi kapasitas.

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X mengaku telah menyiapkan lahan berstatus tanah kesultanan atau "sultan ground" di Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman sebagai tempat pembuangan sampah sementara.

Menurut Sultan, lahan seluas 2 hektare yang ditargetkan dapat difungsikan pada pekan ini dikhususkan untuk pembuangan sampah warga Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta.

Dipilihnya lahan di Cangkringan tersebut antara lain karena jauh dari permukiman warga.

"Sudah disepakati, administrasi belakangan. Pokoknya (sampah, red.) bisa masuk. Jangan numpuk. Itu nanti yang dulu dibuang ke Piyungan, sementara dipindah ke sana," kata Sultan di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Senin (25/7/2023).

Baca juga artikel terkait MASALAH SAMPAH DI YOGYAKARTA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Bayu Septianto