tirto.id - Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai bahwa kerjasama one belt one road (OBOR) yang diteken antara pengusaha Indonesia dengan China belum transparan dan jelas secara konsep.
Meski menggunakan skema business to business (B to B)dan bukan government to government, (G to G) potensi jebakan utang Cina masih terbuka.
Hal ini disampaikan oleh Manajer Kampanye Keadilan Iklim Walhi, Yuyun Pramono dalam konferensi pers di Kantor Walhi, Tegal Parang, Jakarta Selatan, Senin (29/04/2019).
"Kalau dalam skema G to G terbukti tidak berjalan dengan baik [seperti] kasus Sri Lanka menunjukkan itu. Dalam skema B to B pun harus jelas sebenarnya konsepnya seperti apa, apakah ada pihak BUMN yang terlibat di dalamnya," ujar dia.
Yuyun juga menyampaikan, pemerintah harus menjelaskan soal lembaga lembaga penjamin baik dari pemerintah Indonesia maupun pemerintah Cina.
Hal ini, kata dia, diperlukan agar kerja sama yang dihasilkan tidak merugikan Indonesia meskipun bersifat B to B.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menerangkan, skema B to B tak akan membebani utang negara lantaran peran pemerintah hanya sebagai fasilitator yang mempertemukan antarbadan usaha dengan proyek.
Bank Indonesia melalui Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) April 2019, menunjukkan posisi utang luar negeri pada Februari 2019 dari Pemerintah Cina sebesar USD 17,7 miliar atau setara dengan Rp248,4 triliun (dengan kurs 14.000). Rinciannya, utang yang dikelola pemerintah sebesar Rp22,8 triliun dan swasta sebesar Rp225,6 triliun.
Yuyun, juga meminta agar pemerintah mengumumkan ke publik, jika ada BUMN yang terlibat dalam proyek tersebut. Sebab dalam catatan utang Indonesia, utang BUMN dikategorikan sebagai utang swasta.
Lantaran itu lah, baik G to G atau pun B to B utangnya tetap akan menjadi tanggung jawab dan beban negara.
"Tidak bisa kita bilang serta merta B to B itu adalah pilihan yang paling bagus tanpa melihat secara detail siapa yang ada didalamnya," kata dia.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Zakki Amali