tirto.id - Wakil Ketua Komisi I DPR Satya Widya Yudha mengakui sejumlah pasal di Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang terindikasi "karet" perlu dikaji ulang.
Menurut dia, sejumlah kasus penerapan pasal UU ITE yang dinilai tidak tepat, seperti pemidanaan Baiq Nuril, bisa menjadi pertimbangan.
"Kasus itu bisa dijadikan [pertimbangan] agar pasal-pasal [UU ITE] yang dirasa tidak memberikan kepastian hukum karena itu dianggap pasal karet bisa dievaluasi kembali," kata Satya di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa (9/7/2019).
Dia berharap pada DPR RI periode 2019-2024 bisa menindaklanjuti desakan revisi pasal-pasal karet di UU ITE.
"Saya memohon kepada anggota dewan yang baru nanti periode 2019-2024 untuk menangkap isu ini dan memprioritaskan," jelas dia.
Satya beralasan DPR periode sekarang tidak mungkin membahas revisi UU ITE karena masa kerja para anggota dewan akan segera habis.
"Masa waktu daripada DPR sekarang ini hingga sampai akhir September. Sehingga tidak mungkin kita melakukan perbaikan-perbaikan terutama seperti revisi undang-undang ITE dalam waktu yang sangat mepet seperti waktu yang sekarang ini," ujar Satya.
Desakan revisi terhadap UU ITE kembali menguat setelah Mahkamah Agung memutuskan menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan terpidana pelanggaran UU ITE, Baiq Nuril.
Warga asal NTB tersebut dinilai bersalah melanggar pasal 27 ayat 1 UU ITE karena menyebarkan rekaman ucapan mantan atasannya yang berisi ajakan untuk melakukan tindakan tidak senonoh.
Akibatnya, Baiq dijatuhi hukuman 6 bulan penjara dan denda Rp 500 juta. Pemidanaan terhadap Baiq menuai protes dari banyak pihak.
Sebab, mantan staf tata usaha salah satu SMA di Mataram dinilai sebenarnya merupakan korban pelecehan seksual secara verbal yang dilakukan atasannya, si pelapor di kasus ini.
Sejumlah aktivis pun mendesak Presiden Joko Widodo memberikan amnesti kepada Baiq Nuril.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Addi M Idhom