tirto.id - Anggota Ombudsman RI Ninik Rahayu merekomendasikan agar Baiq Nuril mengajukan peninjauan kembali kasusnya ke Mahkamah Agung. Ninik beralasan, Amnesty justru membuat Nuril berstatus bersalah.
"Saya mengusulkan Baiq melakukan PK II, karena kalau Amnesty, secara tidak langsung Baiq mengakui bahwa dirinya bersalah," kata Ninik saat dikonfirmasi Tirto, Senin (8/7/2019).
Ninik beralasan, putusan hakim masih ada kekhilafan hukum. Menurut Ninik, kasus utama Nuril adalah masalah kasus verbal, tetapi malah mengadili ITE.
Ninik menyebut, peninjuan kembali bisa dilakukan lebih dari satu kali. Ia mengacu kepada putusan Antasari Azhar dalam putusan nomor 34 tahun 2013 yang dikeluarkan hakim konstitusi. Kala itu, permohonan Antasari dikabulkan dengan dasar asas Litis Finirin Aportet.
Sementara Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung Abdullah menjawab pertanyaan kemungkinan peninjauan kembali setelah PK Nuril. Ia memandang, PK hanya bisa satu kali.
"PK itu hanya sekali," kata Abdullah di kantor Mahkamah Agung, Jakarta, Senin.
Abdullah mengatakan, perkara pelecehan seksual dan ITE Nuril merupakan dua perkara yang berbeda. Ia enggan menjawab lebih lanjut karena perkara pelecehan seksual Nuril belum sampai tahap pengadilan.
Abdullah mengingatkan, kasus yang ditangani hingga tingkat peninjauan kembali adalah kasus transmisi informasi. Dalam pandangan hakim PK, putusan kasasi sudah tepat karena Nuril mentransmisi rekaman yang dimilikinya kepada pihak lain. Kemudian, tindak penyebaran transmisi melanggar pasal 27 ayat 1 UU ITE. Ia pun enggan berkomentar jika perkara pelecehan Nuril bisa menjadi fakta baru.
"Kalau memang yang bersangkutan merasa jadi korban pelecehan silakan melapor kepada polri kepada penyidik," kata Abdullah.
"Nah ini korbannya berbeda, dengan pelopornya yang berbeda. Kalau di UU ITE ini yang punya hp itu lah yang dilaporkan karena itu menyebarluaskan. Sedangkan pelecehan seksual ini yang punya hp ini melapor karena dia merasa menjadi korban. Jadi ini berbeda," kata Abdullah.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Nur Hidayah Perwitasari