tirto.id -
Sampai dengan akhir 2018, Usman mengaku sudah 2039 dokter spesialis yang terdistribusi berkat program WKDS tersebut.
Namun program tersebut akan berakhir karena imbas munculnya gugatan dari organisasi profesi, yang akhirnya berbuah Putusan Mahkamah Agung Nomor 25 P/HUM/2018 tanggal 12 Desember tahun 2018.
"Meskipun [WKDS] sudah dicabut MA, program yang sudah berjalan tetap dipersilakan lanjut. Sampai menunggu Perpres baru, nanti nama programnya menjadi Pendayagunaan Dokter Spesialis [PDS]," ujarnya melalui pesan singkat, Senin (8/4/2019).
Perubahan nama menjadi upaya yang menurut Usman solutif. Sebab pada penamaan yang menjadi salah satu penyebab munculnya gugatan tersebut.
Oleh organisasi profesi kata "wajib" itu dipersoalkan, bahkan menurut Usman konsep WKDS disejajarkan dengan praktik kerja paksa yang tak sejalan dengan semangat Konferensi Umum Organisasi Perburuhan Internasional (ILO).
"Pada saat ILO mengadakan konferensi di latar belakangi adanya kerja paksa, tidak ada jam kerja dan salarynya. Beda sekali dengan WKDS, yang ada insentif memadai," ujarnya.
Ia menuturkan, gaji yang diterima para dokter spesialis tersebut berkisar antara Rp22 juta sampai Rp30 juta.
Peraturan yang sempat diprotes organisasi profesi lainnya pun terkait Surat Tanda Lulus yang mesti ditahan jika dokter spesialis terkait, mengikuti program WKDS. Ke depannya, saat program PDS berjalan STL tidak akan ditahan.
Lebih lanjut Usman mengatakan, Kemenkes sedang menunggu munculnya perpres baru terkait program PDS tersebut. Sebab para organisasi profesi pun, setelah dirundingkan kembali mengajukan kesetujuannya agar program pendistribusian dokter spesialis tetap dilanjutkan.
"Kami sudah menghadap ke Sekretariat Negara. Mudahan bisa selesai dalam waktu cepat," pungkasnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Nur Hidayah Perwitasari