tirto.id - Apa jadinya jika seseorang harus menerima vonis hukuman mati atas kejahatan yang tak pernah ia lakukan? Bagaimana ia menjalani hari-harinya dalam menunggu maut yang ia tahu benar sedang dalam perjalanan?
Saya menghubungi Yusman Telaumbanua yang saat ini tengah berada di Malang, Jawa Timur, dalam empat kali wawancara terpisah via telepon.
Pada 9 April 2013, Yusman Telaumbanua dan kakak iparnya, Rasula Hia, mendengarkan Puryaman Harefa dari kursi terdakwa dengan gelisah. Harefa, Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Negeri Gunungsitoli, tengah membacakan tuntutan untuk kedua pesakitan di hadapannya.
“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Yusman Telaumbanua alias Joni alias Ucok alias Jonius Halawa dengan pidana penjara selama seumur hidup,” ujar Harefa mantap di muka sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Gunungsitoli, Nias.
Usai pembacaan tuntutan rampung, Hakim Ketua Sylvia Yudhiastika menetapkan putusan sidang akan dilanjutkan pada pekan berikutnya. Palu belum juga diketuk, Laka Dodo Laia mengangkat tangannya.
“Silakan, penasihat hukum,” Hakim Sylvia mempersilakan.
“Saya tidak senang jika mereka dihukum seumur hidup, Yang Mulia. Lebih baik hukuman mati saja, kalau boleh ditembak di tempat,” ujar Laka Dodo, penasihat hukum Yusman dan Rasula.
Yusman terdiam. Tak paham apa yang sedang berlangsung di depan hidungnya.
Tak menerima ataupun menolak keberatan Laka Dodo, Hakim Sylvia tetap ketuk palu dengan keputusan, sidang akan digelar kembali sepekan ke depan.
Molor selama enam minggu, sidang Yusman dan Rasula kembali digelar pada 21 Mei 2013 dengan agenda pembacaan putusan.
“Menyatakan terdakwa Yusman Telambanua alias Joni alias Ucok alias Jonius Halawa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana secara bersama-sama. Menjatuhkan pidana terdakwa oleh karena itu dengan pidana mati.” Ketuk palu Ketua Majelis Hakim Sylvia bergema di ruang sidang.
Bahu Rasula melorot pasrah demi mendengar vonis majelis hakim. Sementara Yusman masih belum paham apa yang sedang menimpa nasibnya. Lantaran ia tak mengerti Bahasa Indonesia sama sekali.
Seminggu usai vonis, Yusman dan Rasula dipindahkan ke Lapas Tanjung Gusta, Medan, Sumatera Utara. Di sana, Yusman bertemu dengan seorang kawan satu selnya yang menjelaskan hukuman yang diterimanya.
“Saya dihukum seumur hidup. Kamu dihukum mati. Ya, nanti kamu ditembak,” jelas kawan satu sel Yusman. Ia tak ingat namanya.
“Dari situ saya paham soal hukuman saya. Saya pusing memikirkannya waktu itu. Tapi akhirnya pasrah. Mau bagaimana lagi? Tidak ada penerjemah dari awal pemeriksaan sampai sidang. Saya benar-benar tak paham,” terang Yusman dengan bahasa Indonesia yang sudah lancar kepada saya. Logat Niasnya masih kental.
Semua Berawal dari Tokek
Yusman Telaumbanua berasal dari Hiliono Zega, sebuah desa di pelosok Nias, Sumatera Utara. Usianya masih 15 tahun saat memutuskan merantau ke Medan dan bekerja di perkebunan sayur PT. Torganda milik Kolimarinus Zega. Tiga bulan kemudian, tepatnya Maret 2012, Yusman bertemu Sad’arih Boru Maringga, istri Jimmy Trio Girsang, kawan Kolimarinus, untuk menanyakan perihal tokek di Nias.
Yusman pun menghubungi kakak iparnya, Rasula Hia di Nias, untuk mencarikan tokek. “Bang, kau cari tokeklah sana. Bosku mau beli.”
“Berapa?”
“Tiga ekor.”
Selang seminggu, Rasula Hia kembali menghubungi Yusman dan menyanggupi permintaan bos adiknya itu. Saat itu, Yusman memberikan nomor telepon kakak iparnya kepada Kolimarinus agar dapat berkomunikasi langsung perihal bisnis tokek.
Yusman mengaku lepas tangan. Ia tak tahu menahu berapa nominal rupiah untuk harga tiga ekor tokek yang disepakati bosnya. Ia kemudian mudik ke Nias, bukan karena bisnis tokek melainkan urusan keluarga. Sepekan kemudian saat ia hendak kembali ke Medan, Kolimarinus menghubunginya.
“Yusman, kau jangan balik dulu ke Medan. Kau tunggu saja kami di Nias.”
“Ya, Pak. Kami tunggu di sini kalau begitu.”
“Kita bertemu di Bandara Binaka Gunungsitoli.”
Rombongan Kolimarinus sampai di Nias pukul 14.30 pada Senin, 23 April 2012. Saat menjemput, Yusman tak mengenali kedua rekan bosnya. Belakangan diketahui, identitas kedua orang itu adalah Jimmy Trio Girsang dan Rugun Boru Hololo, yang juga menjadi korban kejadian naas di Simpang Galo, beberapa jam setelahnya.
Kendala kecil muncul. Desa Rasula di Hiliwaoyo tak dapat dilewati mobil. Alhasil, mereka harus menggunakan ojek. Rasula meminta mereka untuk mencari ojek yang mau mengantar keempatnya dari Simpang Miga ke Hiliwaoyo. Namun, tak ada tukang ojek yang menyanggupi lantaran jaraknya jauh, sekitar 70 kilometer. Rasula memberi solusi bahwa ia akan mengirim tiga ojek dari kampungnya untuk menjemput rombongan Kolimarinus.
Pukul 22.00, tukang ojek yang dikirim Rasula tiba di Simpang Miga. Mereka adalah Ama Pasti Hia, Ama Fandi Hia, dan Amosi Hia. Yusman mengaku mengenal salah satunya karena ia pernah tinggal di kampung kakak iparnya itu.
Rombongan itu bergerak ke Hiliwaoyo. Sekitar pukul 01.00, saat mereka tiba di Simpang Galo, seseorang muncul dari tepi jalan dan menghentikan mereka. Kondisi jalanan saat itu gelap dan sepi. Di sepanjang kiri-kanan jalan hanya ada perkebunan karet, nihil rumah penduduk.
Situasi menegang. Ama Pasti Hia, yang ternyata berkomplot dengan orang asing itu—belakangan diketahui bernama Jeni—meminta tas yang dibawa Yusman.
“Ini bukan punyaku. Ini punya bosku,” ujar Yusman ketakutan.
Kolimarinus mengambil tas dari tangan Yusman. “Ini isinya bukan uang. Hanya baju.”
Rupanya, keempat orang itu sudah tahu perihal uang Rp500 juta yang dijanjikan Kolimarinus kepada Rasula dan menganggap ia membawanya tunai ke kampung malam itu.
Ama Pasti segera menghubungi Rasula. “Kami sudah sampai ke Simpang Galo. Bawa tokek itu kemari!”
“Buat apa? Kalian saja ke rumahku.”
“Tidak bisa. Kereta (motor) tidak bisa lewat ke sana. Kamu mau keluargamu selamat atau bagaimana?”
Kolimarinus dan komplotan Ama Pasti masih terlibat cekcok saat Rasula sampai dengan membawa tokek. Rasula, yang kebingungan, langsung disergap Jeni. “Kalian jangan campuri masalah ini.”
Keempatnya langsung menghunus parang dari belakang baju mereka dan mengarahkannya ke leher Kolimarinus.
Ama Pasti meminta tokek dari tangan Rasula. “Jangan kalian kasih tahu kami. Kalau kalian kasih tahu, kami bunuh kalian bersama orang rumahmu semua.”
Mendengar ancaman itu, Rasula Hia dan Yusman kecut. Sesaat sebelum kabur, Yusman masih mendengar teriakan majikannya untuk menyelamatkan diri masing-masing. Sebelum akhirnya ia dan kedua rekannya diseret ke dalam kebun karet untuk dibunuh.
Yusman dan Rasula melihat kejadian itu semua dari balik semak. Melihat Kolimarinus dan rekan-rekannya dibunuh dengan keji hanya karena tiga ekor tokek.
Yusman Ditangkap
Tiga ekor tokek itu nyatanya tak hanya memberi nasib buruk kepada Kolimarinus. Tapi juga pada Yusman. Selang lima bulan dari kejadian, ia mengira hidupnya bisa kembali normal. Ia bekerja di kebun kelapa sawit bersama abangnya, Boris. Ia tak punya firasat apa pun hingga pada 12 September 2012 kedatangan tamu yang tak pernah diharapkan.
Saat itu ia tengah membantu bongkar muat pupuk. Tiba-tiba sang majikan memanggilnya ke kantor.
“Hei Ucok, berapa karung pupuk yang kau keluarkan tadi? Cepat ke kantor sini!”
Sesampainya di kantor, ia langsung disergap oleh seseorang yang tak dikenal yang menunggunya di sana. Tangannya langsung diborgol dan didudukkan di kursi. Tak lama, lusinan polisi dan tentara datang dengan seragam dan senjata lengkap.
“Kau kenal mereka?” Satu dari polisi itu menyodorkan beberapa foto. Satu foto ia kenal betul.
“Ya. Itu majikan saya dulu di Medan, Pak. Tapi yang dua lainnya tidak kenal.”
“Di mana ada ruang kosong?”
Begitu dibawa ke ruang kosong, Yusman disiksa. Kendati tak memakai alat, pukulan dan tendangan petugas polisi itu cukup menyakitkan. Ia bahkan tak diinterogasi sama sekali. Yang ia ingat terakhir kali: sebuah tendangan telak dari sepatu lars petugas tersebut mendarat di dadanya. Setelahnya hanya gelap.
Investigasi KontraS: Kasus Yusman adalah Cacat Hukum
11 Juli 2013. Lapas Tanjung Gusta, Medan, rusuh. Lima orang tewas dan ratusan napi melarikan diri pada peristiwa itu. Untuk mengantisipasi kaburnya napi yang lain, sejumlah napi dipindahkan ke LP Nusakambangan. Yusman dan Rasula, sebagai terpidana dengan hukuman berat, merupakan dua dari 21 narapidana yang ditransfer. Usia Yusman sekitar 16 tahun.
Andreas, seorang pendeta dari Lapas Batu, Malang, mendengar kabar soal kasus Yusman. Ia menyampaikan hal ini kepada Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
“Kami di KontraS begitu mendengar hal ini langsung curiga. Kok bisa ada anak di bawah umur yang dihukum mati? Akhirnya kami putuskan untuk menangani kasus ini,” ujar Arif Nur Fikri, Kepala Divisi Hak Asasi Manusia KontraS.
Akhir 2014, Koordinator KontraS Haris Azhar melawat ke Nusakambangan untuk menemui Freddy Budiman, gembong narkoba nomor satu yang sudah dieksekusi mati pada Juli 2016. Dalam kesempatan itu pula ia menemui Yusman.
Investigasi KontraS menemukan banyak pelanggaran dalam proses hukum yang dijalani Yusman. Dari pemalsuan identitas umur, ancaman untuk mengaku, hingga praktik penyiksaan. Usia Yusman yang masih sekitar 15-16 tahun waktu kejadian dipalsukan sehingga Yusman masuk dalam kategori dewasa.
Setahun setengah di Nusakambangan, Yusman dipindahkan lagi. Kali ini ke Lapas Tangerang. Di sana ia ditempatkan satu blok, yakni di blok G, bersama Antasari Azhar yang dituduh terlibat pembunuhan seorang pengusaha bernama Nasrudin Zulkarnaen. Merasa memiliki nasib yang sama, keduanya lantas menjadi dekat. Yusman kerap membuatkan makanan dan kopi untuk Antasari sebagai imbal balik karena sudah diajari menulis. Sekali waktu, mantan Ketua KPK itu memberinya wejangan.
“Kita ini sama. Sama-sama dituduh. Tapi bedanya saya sudah tua, saya jadikan ini pelajaran. Tapi kamu, kamu masih muda. Masih banyak kesempatan. Baik-baik saja di sini. Jangan macam-macam,” pesan Antasari yang selalu diingat Yusman. Antasari bebas bersyarat pada November 2016.
Juni 2016, Yusman dengan didampingi oleh kuasa hukum dari KontraS secara resmi mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan Negeri Gunungsitoli, Nias. Opsi PK diajukan lantaran upaya hukum yang dapat dilakukan sebelumnya, yakni banding dan kasasi, sudah lewat masa kedaluwarsa. Peninjauan Kembali menjadi satu-satunya ikhtiar hukum yang dapat dilakukan.
Untuk mengajukan PK, mereka harus memiliki novum alias bukti baru. Untuk itu, Yusman diboyong ke Bandung dan dititipkan di Lapas Sukamiskin untuk diuji forensik di Universitas Padjadjaran. Hasil uji forensik itulah yang digunakan sebagai novum untuk membuktikan bahwa Yusman masih di bawah umur saat kejadian berlangsung. Yusman sempat ragu dan masih trauma lantaran kuasa hukumnya dulu justru yang menjebloskan dia pada vonis mati.
Saat sidang Peninjauan Kembali di PN Gunungsitoli, Mahkamah Agung menerima novum tersebut dan memutuskan mengurangi masa hukuman Yusman menjadi lima tahun penjara. Putusan ini memiliki dua pertimbangan: Yusman masih di bawah umur saat kejadian; serta Yusman melihat dan menyaksikan peristiwa pembunuhan tetapi tidak melaporkan kepada pihak berwajib karena di bawah paksaan.
Kendati lega pengajuan PK diterima, KontraS masih menganggap janggal keputusan Mahkamah Agung. “Jika amar putusan Mahkamah Agung mengakui Yusman tidak melaporkan kejadian karena di bawah paksaan, harusnya kasus ini batal. Ia tidak boleh dipidana,” ujar Arif. Hal ini sesuai pasal 48 KUHP yang berbunyi, “Orang yang melakukan tindak pidana karena pengaruh daya paksa, tidak dapat dipidana.”
Artinya, meski lolos dari hukuman mati, Yusman tetap dianggap bersalah di mata hukum. Stempel residivis akan terus melekat pada dirinya sampai kapan pun kendati ia tak melakukan kejahatan seperti yang dituduhkan.
Bebas
Kamis, 23 Februari 2017, Yusman Telaumbanua meringkuk di salah satu sel lembab di Lapas Gunungsitoli. Ia tengah menanti keputusan PK yang sudah diajukan sejak Juni 2016. Lapas Nias lebih buruk dari Nusakambangan. Di sini, dalam delapan bulan terakhir, paling-paling ia hanya bertemu sinar matahari lima kali. Ia hampir hilang harap kalau saja panitera tidak memanggilnya.
“Selamat Yusman. PK kamu diterima. Tanggal 17 Agustus nanti kamu bebas.”
Yusman menghela napas.
“Saat mendengar itu, meski masih enam bulan lagi, saya merasa sudah bebas. Bebas.”
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam