tirto.id - Pada Desember 2018 lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin sempat mengeluarkan pernyataan kontroversial terkait musik hip hop yang kian populer di negerinya. Ia meminta jajaran pemerintahannya untuk "mengendalikan" hip hop, terutama yang menyajikan lirik-lirik provokatif. Hasilnya, beberapa rapper yang dianggap sebagai ancaman terhadap budaya negara telah “ditindak”.
Putin beranggapan bahwa musik hip hop dapat merusak pikiran anak-anak muda melalui penggunaan bahasa kasar dan penggambaran pergaulan bebas yang identik dengan narkoba. Memang demikianlah selama ini hip hop diidentikkan dengan seks, narkoba, dan kehidupan glamor. "Obat-obatan adalah yang paling mengkhawatirkan. Mereka mengantarkan pada degradasi bangsa," kata Putin.
Namun, hip hop di Rusia (dan juga secara global), sejatinya tidak melulu tentang seks dan narkoba. Belakangan, seiring dengan kian represifnya pemerintahan Putin, banyak rapper yang melayangkan protes melalui karya-karya mereka. Tentang rasa frustrasi kaum muda, politik, kemiskinan, korupsi, hingga kebrutalan polisi. Seperti yang dilakukan oleh Husky, seorang rapper berusia 25 tahun yang memiliki nama asli Dmitry Kuznetsov.
Banyak lagu-lagu Husky yang secara eksplisit mengejek pemerintah Rusia karena terlampau mengawasi gerak-gerik warganya. "Aku akan menyanyikan lagu, lagu yang paling jujur!" demikian ia berujar dalam salah satu lagunya. Atas hal tersebut, Husky pun ditangkap pada bulan November 2018 lalu dan dijatuhi hukuman 12 hari penjara, usai melakukan pertunjukan dadakan di kota selatan Krasnodar.
Semula Husky mengadakan konser resmi, namun acara tersebut dibubarkan pihak berwenang yang menganggap tindakannya mengandung elemen "ekstremisme". Husky yang kecewa lantas memindahkan konsernya ke klub lain, tetapi digagalkan lagi oleh pihak aparat dengan cara mematikan aliran listrik serta mengusir semua pengunjung yang datang. Husky tak menyerah. Ia naik ke atap mobil yang dikelilingi oleh ratusan penggemarnya dan mulai melantunkan lirik lagu-lagunya, sebelum akhirnya digelandang oleh polisi.
Ketika berada di pengadilan, Husky mengatakan dirinya terpaksa menggelar penampilan di jalanan karena konsernya telah dibatalkan tanpa penjelasan. Ia pun turut mengatakan bersedia membayar kompensasi atas kerusakan apapun yang terjadi dengan kendaraan di sekitar lokasi kejadian. "Saya bertindak sedemikian rupa karena saya merasa berkewajiban untuk berbicara dengan orang-orang yang telah membeli tiket," katanya kepada pengadilan.
Husky akhirnya dijatuhi hukuman 12 hari penjara dengan tuduhan pengrusakan, tetapi dibebaskan empat hari kemudian, selang beberapa jam sebelum sejumlah musisi hip hop lainnya berencana menggelar protes atas penahanannya. Kabarnya, para musisi tersebut akan mengadakan sebuah konser solidaritas di Moskow.
Husky bukan satu-satunya rapper yang terpaksa batal tampil di konser karena alasan yang sama. Pada tanggal 30 November 2018, rapper Gone Fludd mengumumkan pembatalan dua konsernya usai mendapat tekanan dari pihak kepolisian. Demikian pula dengan Allj, rapper populer lain, yang turut membatalkan konsernya di kota Yakutsk, salah satu kota terdingin di dunia, setelah menerima ancaman kekerasan.
Belakangan, usai terjadinya berbagai represi dan penangkapan, Putin menganggap bahwa tindakan polisi kontraproduktif dan justru membuat si musisi kian populer. Maka presiden berusia 66 tahun itu pun menjelaskan maksud pernyataannya secara lebih rinci dalam sebuah forum di St Petersburg: "Jika tidak mungkin untuk dihentikan, maka kita harus membina dan mengarahkannya.”
Persoalannya, bukan hanya rapper yang terkena imbas “pembinaan” Pemerintah Rusia tersebut, namun juga musisi lain.
Bukan Hanya Menimpa Rapper
Selain Husky, Gone Fludd, dan Allj, masih ada belasan musisi lain—seperti band pop-punk Ukraina, Poshlaya Molly, hingga bahkan penyanyi pop berusia muda, Monetochka—yang terpaksa membatalkan konser mereka di bulan yang sama terkait alasan serupa: tekanan dari aparat berwenang. Dalam beberapa kasus, konser dikacaukan dengan cara pemberlakukan pembatasan usia atau pihak penyedia venue membatalkan kerja sama tanpa alasan yang jelas.
IC3PEAK, band elektro-eksperimental asal Moskow yang semula terkenal di berbagai panggung bawah tanah, juga dilaporkan sempat menolak upaya pembatalan konser mereka di Nizhny Novgorod dan harus tiga kali mengganti venue di Kazan, sebelum akhirnya bisa tampil setelah memesan tempatnya terlebih dahulu jauh-jauh hari. Di Novosibirsk, IC3PEAK juga sempat ditahan oleh polisi dan usai dilepaskan, mereka hanya menggelar konser di tempat yang dirahasiakan.
“Persis seperti di zaman Uni Sovyet, di mana band harus bermain musik secara sembunyi-sembunyi,” ujar Kreslina kepada Guardian terkait hal tersebut.
IC3PEAK selama ini memang dikenal dengan tendensi kritik politiknya yang kental. Hal itu, misalnya, tampak jelas dalam salah satu video klip mereka yang pertama kali tayang pada Oktober 2018 berjudul “Death No More” Selain adegan menaiki pundak polisi anti huru hara Rusia dan membakar diri di depan Gedung Pemerintah Federasi Rusia lirik yang disampaikan pun menyasar brutalitas polisi.
Mengendalikan (Penetrasi) Hip Hop, Mungkinkah?
Pemberangusan atau penyensoran musik di Rusia bukan hal baru sejak era Soviet yang melarang masuknya musik Barat dan mengambinghitamkan para musisi rock, hingga aksi Putin memenjarakan anggota Pussy Riot. Akan tetapi, penetrasi musik hip hop yang begitu masif di era digital ini rasa-rasanya akan sulit untuk dipadamkan, baik oleh pemerintah di Rusia atau negara lain.
Sebagaimana yang pernah dikatakan secara berapi-api oleh Kanye West dalam wawancaranya dengan Zane Lowe dari BBC1: “Rap adalah rock and roll yang baru. Kamilah yang kini jadi rockstar!” Anggapan itu kelak diamini oleh Basta, pahlawan hip hop Rusia, Basta: “Hip hop sekarang adalah rock-'n-roll modern. Rock-'n-roll sejati sebagai musik protes yang menyuarakan kebebasan dan perasaan sudah mati. Ia berubah menjadi mesin pencetak uang. Jadi, hip hop mengambil alih.”
Sayangnya, apa yang diucapkan Basta punya kesalahan fatal. Dengan kian populernya musik hip hop kini di blantika industri musik seluruh dunia, tentu saja itu juga berarti bahwa musik tersebut turut berfungsi sebagai “mesin pencetak uang”. Seperti yang diucapkan oleh Georgy, seorang sejarawan Rusia, dalam wawancaranya dengan Russia Beyond, April 2018 lalu.
"Hip hop sukses menaklukkan dunia karena para produser telah menginvestasikan banyak uang ke dalamnya. Hip hop adalah dagangan, pasarnya sangat besar. Musik ini secara langsung membutuhkan konsumsi, dalam paradigma tersebut, konsumerisme adalah suatu keharusan.”
Uang memang tengah mengalir deras melalui hip hop. Riset tahun 2017 yang dilakukan oleh Nielsen Group menunjukkan bahwa hip hop dan R&B menyumbang 8 dari 10 artis paling populer di AS. Sementara dalam laporan Forbes di tahun yang sama menunjukkan, terdapat dua penyanyi rap di antara tiga musisi papan atas berpenghasilan tertinggi: Diddy dan Drake, yang masing-masing memiliki penghasilan 130 juta dolar AS dan 94 juta dolar AS.
Popularitas hip hop menjulang salah satunya juga karena kemudahan produksi musiknya. Hal ini sebelumnya juga telah dikatakan pula oleh Gnoiny, seorang rapper Rusia yang mengalahkan Oxxxymiron dalam video perang rap yang diunggah akun Versus Battle, 2017 lalu.
"Hip hop adalah musik yang paling penting saat ini, karena orang payah seperti saya pun dapat melakukannya."
Editor: Windu Jusuf