tirto.id - Jumat, 15 Maret 2019 siang menjadi hari yang kelam di Selandia Baru. Jamaah yang sedang salat Jumat Masjid Al-Noor dan Masjid Linwood di Kota Christchurch ditembaki sehingga lima puluh orang tewas.
Pelaku teror yang teridentifikasi Brendon Tarrant, seorang warga Australia berusia 28 tahun, sempat menyiarkan aksinya melalui media sosial selama 17 menit. Video penembakan itu tersebar di media sosial. Tak hanya melalui Twitter dan Facebook, ia juga viral melalui aplikasi percakapan seperti WhatsApp.
Mengapa Menyebarkan Video Sadis?
Sifat sadis pada diri seseorang tak hanya tercermin dari kekerasan fisik yang kerap dia lakukan, tapi juga dari rasa bahagia yang muncul ketika melihat seseorang menderita. Hal tersebut dipaparkan Erin E. Buckels dan kedua koleganya dalam paper penelitian berjudul “Behavioral Confirmation of Everyday Sadism” (PDF).
Dalam penelitian mereka, Buckels, dkk. melakukan dua eksperimen dengan 71 partisipan berusia rata-rata 20,37 tahun. Pada percobaan pertama, peserta diminta untuk memilih empat pekerjaan, yaitu membunuh serangga (pembasmi serangga), membantu eksperimenter membunuh serangga (menjadi asisten pembunuh serangga), membersihkan toilet kotor, atau menahan rasa sakit dari air es.
Jika peserta memilih untuk mematikan serangga, mereka akan diberi mesin bug-crunching, sebuah mesin penggiling kopi yang telah dimodifikasi agar menghasilkan suara crunching berbeda. Hasilnya, 12,7 persen peserta memilih untuk menahan rasa sakit, 33,8 persen peserta memilih untuk membersihkan toilet, 26,8 persen peserta memilih untuk membantu membunuh serangga, dan 26,8 persen peserta memilih untuk membunuh serangga.
Dalam penelitian itu, semakin sadis partisipan, semakin besar kemungkinan dia memilih untuk membunuh serangga ketimbang pekerjaan lain. Setelah melakukan riset pertama, para peneliti melakukan riset kedua untuk mengetahui ihwal sadisme dan penyiksaan terhadap korban yang tak bersalah.
Hasil dari penelitian itu menemukan bahwa orang-orang dengan kepribadian sadis itu lebih suka melihat penderitaan pada orang yang tidak bersalah, bahkan mereka rela melakukan tindakan lain untuk mendapatkan kepuasan tersebut.
Makanya setelah studi itu, melalui situs resmi Association for Psychological Science mereka mengungkapkan akan menyelidiki sifat sadis dan perannya dalam perilaku trolling online.
“Budaya troll unik karena secara eksplisit merayakan kepuasan sadistis, atau ‘lulz’,” ungkap Buckels.
Buckels menduga orang-orang yang berperilaku sadis tersebut tertarik dengan aktivitas trolling online serta mengeksplorasi berbagai bentuk sadisme, seperti menikmati kekejaman dalam film, video game, dan olahraga. Mereka percaya bahwa temuan itu bisa menginformasikan kebijakan dalam kekerasan dalam rumah tangga, intimidasi, kekerasan terhadap hewan, dan berbagai kasus kebrutalan militer dan polisi.
Setelah melakukan penelitian tersebut, Erin E. Buckles pun melakukan riset berjudul “Internet Trolling and Everyday Sadism: Parallel Effects on Pain Perception and Moral Judgement” (PDF) terhadap 1.715 responden online.
Melalui studi tersebut, mereka melakukan percobaan terhadap responden dalam melihat rangsangan yang menggambarkan adegan penderitaan emosional/fisik dan memberikan peringkat intensitas nyeri yang dirasakan, serta kesenangan yang dialami ketika melihat foto. Setelah itu, mereka kemudian diberi tugas untuk penilaian moral.
Berdasarkan eksperimen pertama, diketahui bahwa trolling online merupakan sebuah contoh perilaku sadis sehari-hari. Mereka melakukannya karena senang dengan representasi visual orang yang menderita sakit fisik atau emosional, dan mengabaikan rasa sakit tersebut karena rasa senang yang muncul.
Perasaan itulah yang dicari oleh para teroris atau pelaku kekerasan; mengunggah video sadis ke internet demi memunculkan emosional dari pengguna lainnya. Tak hanya memicu sifat sadis warganet, merebaknya video kekerasan di internet juga bisa memunculkan Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada penontonnya.
Video Sadis Memicu Trauma Penonton
Stephanie A. Sarkis, seorang spesialis klinis konseling anak dan remaja dalam Psychology Today mengungkapkan bahwa video penembakan massal atau peristiwa kekerasan lain, membuat diri kita lebih rentan terhadap berkembangnya depresi, kecemasan, dan PTSD.
Video penembakan akan membombardir kita dengan gambar-gambar kekerasan. Apalagi ketika video tersebut terus membanjiri layar gawai kita, kemungkinan kita akan mengalami kecemasan, depresi, stres kronis, hingga insomnia. Jika video ini diterima oleh orang-orang yang pernah mengalami trauma sebelumnya, perasaan itu bisa muncul kembali.
Pernyataan Sarkis tersebut diperkuat riset yang dilakukan oleh E. Alison Holman bersama dua rekannya yang berjudul “Media’s role in Broadcasting Acute Stress Following the Boston Marathon Bombings” (PDF). Dalam studi itu, Homan, dkk. membandingkan dampak paparan media dan paparan langsung pada respons stres akut terhadap trauma kolektif.
Studi tersebut dilakukan dengan survei berbasis internet antara tanggal 29 April hingga 13 Mei 2013 setelah peristiwa pengeboman di Boston Marathon dengan sampel yang mewakili penduduk Boston (846 orang), Kota New York (941 orang), dan sisanya dari berbagai wilayah di Amerika Serikat (2.888 orang).
Dari penelitian tersebut, diketahui bahwa paparan berulang terhadap gambar atau suara yang keras dapat memperpanjang respons stres pada orang-orang yang rentan serta menjadikan peristiwa traumatis tetap hidup.
Homan, dkk. pun menemukan bukti bahwa gambar dan video yang muncul dari peristiwa traumatis itu bisa memunculkan memori seseorang terhadap peristiwa traumatis yang pernah dialaminya dan mendorong munculnya rasa takut. Semakin berulang kita melihat gambar tersebut, respons ketakutan dan ancaman di otak itu bisa menimbulkan konsekuensi kesehatan yang serius.
Dalam penelitian itu, responden melaporkan berbagai macam gejala stres akut seperti pikiran yang mengganggu, perasaan gelisah atau kewaspadaan yang meningkat, berusaha menghindari untuk mengingat peristiwa tersebut, dan merasa terpisah dari kejadian tersebut.
Meski begitu, para peneliti tidak mau menggeneralisasi bahwa mereka yang menyebarkan memiliki kondisi kesehatan mental tertentu. Mereka menduga bahwa para penyebar itu hanya tidak menyadari dampak dari paparan media. Maka dari itu, mereka pun menyarankan agar video peristiwa kekerasan tak disebarluaskan.
Tak heran jika Kementerian Kominfo mengimbau kepada warganet agar tak menyebarluaskan konten apa pun termasuk video yang berkaitan dengan aksi di New Zealand. Alasannya pun jelas bahwa dampak yang mungkin muncul akibat video tersebut adalah ketakutan di masyarakat yang merupakan tujuan dari aksi kekerasan.
Editor: Maulida Sri Handayani