tirto.id - Pada Jumat, tengah bulan Maret 2019, ada yang berbeda pada Selandia Baru, negeri yang dikenal sebagai salah satu yang teraman di dunia. Atas aksi yang dilakukan Brenton Tarrant, warga negara Australia, wajah Selandia Baru sejenak berubah. Melalui senjata military-style semi-otomatis yang dibeli dengan cara “police-verified online mail order process,” Tarrant melakukan aksi brutal. Pada dua masjid yang terletak di kota Christchurch, Masjid Al Noor dan Masjid Linwood, ia melakukan aksi penembakan, yang menewaskan 49 orang.
Aksi brutal Tarrant dilatarbelakangi satu paham: kulit putih harus merebut kembali supremasi yang, menurut klaimnya, mulai digerogoti pendatang, dalam hal ini pendatang muslim.
“Kita harus memastikan keberadaan rakyat kita dan masa depan untuk anak-anak kulit putih [di atas para pendatang],” tegasnya.
Guna membuat aksinya tersebar luas, sembari melakukan teror, Tarrant melakukan live-streaming menggunakan fasilitas yang ada pada Facebook. Siaran langsung yang berdurasi sekitar 17 menit itu sukses membuat warga dunia tercengang atas aksi Tarrant sebagai seorang “warga kulit putih biasa.”
Warga maya terbelah. Sebagian besar penontonnya mengutuk aksi yang dilakukan Tarrant itu. Sayangnya, bagi beberapa yang memiliki pandangan sama, dukungan diterima Tarrant. Lantas, dari Facebook, cuplikan aksi brutal Tarrant menyebar ke berbagai media sosial lain, mulai dari Instagram, Youtube, Twitter, hingga Reddit.
Facebook sendiri, menurut klaim, telah menghapus 1,5 juta video terkait aksi brutal Tarrant di Selandia Baru itu dalam kurun waktu 24 jam.
“Polisi Selandia Baru memberi tahu kami sebuah video di Facebook tidak lama setelah live-streaming dimulai dan kami dengan cepat menghapus akun Facebook dan Instagram si penembak,” urai Mia Garlick, juru bicara Facebook, sebagaimana dilaporkan The Washington Post. “Kami pun turut menghapus segala bentuk pujian dan dukungan (pada konten live-streaming) penembakan itu."
Sementara itu, Youtube, sebagaimana diwartakan Vox, mengatakan bahwa mereka “bekerja dengan sangat waspada” untuk menghapus video-video aksi brutal itu. Reddit, forum maya terbesar dunia, mengatakan bahwa untuk menghentikan penyebaran konten dari Tarrant itu, mereka akhirnya memutuskan untuk menghentikan subforum “r/watchpeopledie” dan “r/gory” untuk sementara waktu.
Namun, meskipun bertindak relatif cepat, media-media sosial itu disebut kecolongan. Dengan lebih dari 30 ribu orang yang tergabung dalam tim keamanan, misalnya, Facebook harusnya bisa menghentikan penyebaran lebih cepat, tidak harus menunggu laporan dari pihak berwajib Selandia Baru.
Helen Clark, mantan Perdana Menteri Selandia Baru, sebagaimana diucapkannya pada Reuters, heran dengan mampunya pelaku kejahatan mudah menyebarkan aksinya melalui media sosial, seperti yang dilakukan tarrant. Katanya, “apa yang terjadi di sini?” Dengan lantang, ia kemudian menegaskan bahwa dunia “perlu melakukan regulasi yang efektif bagi media sosial” agar pengguna seperti orang seperti Tarrant tak bisa memanfaatkannya untuk menebar kebencian.
Media Sosial: Jalan Tol Penyebaran Informasi
Media sosial bagai jalan tol, memberi medium bagi informasi untuk melaju cepat memberi tahu masyarakat. Arpan Chaudhury, dalam papernya berjudul “Spread of Information in a Social Network (2012)” menyebut bahwa media sosial merupakan representasi yang baik dari relasi dan interaksi antara manusia.
Saat manusia, yang berada dalam media sosial itu saling berinteraksi dan ada pertukaran informasi di dalamnya, informasi akan menyebar begitu cepatnya tanpa bisa dibendung. Apalagi jika dalam relasi dan interaksi itu ada pihak yang menjadi “influential mediators,” atau dalam bahasa sederhana: orang yang memiliki jumlah pengikut (followers) sangat banyak.
Thomas Varghese, dalam paper berjudul “How Does Information Spread on Social Media Lead to Effective Change?”, mencontohkan penyebaran informasi yang cepat melalui media sosial terjadi dalam “ice bucket challenge.”
Ice bucket challenge bermula kala pemain-pemain baseball amatiran dari Boston ingin mencari bantuan dana bagi Rite Frates, pemuda yang mengidap amyotrophic lateral sclerosis sejak 2011. Pada 2014, menggunakan media sosial, teman-teman Frates mengunggah video tantangan menyiram air es ke sekujur tubuh itu. Ramai, tak sampai setengah tahun, ada 1,2 juta video bertema tantangan itu hadir di dunia maya.
Tantangan ice bucket challenge yang terjadi pada 2014 mengangkangi tantangan serupa yang terjadi pada 1904. Di awal abad ke-20 itu, tantangan itu hanya berlangsung di wilayah lokal, tak sampai menyebar ke seluruh dunia.
Mengapa bisa terjadi perbedaan? Varghese menjelaskannya bahwa manusia merupakan “makhluk berkelompok.” Dalam berkelompok, setidaknya ada dua yang jadi sebab dasar: ketertarikan yang sama atau “shared interest” dan cara berkomunikasi atau “way to communicate.” Yang membedakan dampak ice bucket challenge yang dilakukan tahun 1904 dan 2014 adalah kini, media sosial sukses menyatukan dua sebab dasar manusia berkelompok dengan mudah dan berlaku tanpa batasan geografis.
Apalagi, senada dengan apa yang diungkap Chaudhury tentang influential mediators, jika dalam media sosial terdapat sosok yang memiliki jumlah pengikut besar, ini akan sangat jauh berpengaruh.
Video penembakan brutal yang terjadi di media sosial menyebar dengan penjelasan tersebut. Sub-forum “r/watchpeopledie” yang ada di Reddit, misalnya, bisa dilihat sebagai tempat berkumpulnya orang-orang yang, menurut Varghese, memiliki dua sebab dasar yang sama.
Fitur untuk Membendung: Image Recognition
Namun, meskipun penyebaran informasi di media sosial sukar dibendung, kegagalan perusahaan teknologi menghentikan konten mengerikan dengan cepat perlu segera diperbaiki. Joshua Buxbaum, Pemimpin Eksekutif Irvine, perusahaan teknologi video, menyebut bahwa Facebook dan kawan-kawan perlu sesegera mungkin memanfaatkan image recognition atau teknologi sejenisnya untuk menghentikan penyebaran konten negatif sesegera mungkin.
Teknologi image recognition salah satunya digagas Jay Goldstein dalam papernya berjudul “Identification of Human Faces” yang terbit pada 1971. Melalui papernya itu, Goldstein dan rekan-rekannya dari Bell Laboratories mengembangkan sistem pengenalan wajah berbasis komputer, dengan memberikan 21 tanda (key facial landmark) pada wajah.
Goldstein, misalnya, menentukan seberapa tebal alis seseorang, seberapa gelap warna kantung mata, hingga seberapa panjang daun telinga. Masing-masing tanda itu dikonversi menjadi angka-angka yang bisa dipahami komputer.
Jika wajah dikenali, misalnya, Facebook bisa menggunakan rujukan itu untuk menghapus suatu konten yang memiliki kesamaan wajah, yang sesungguhnya telah mereka terapkan dalam sistem “tag” bagi foto penggunanya.
Editor: Maulida Sri Handayani