Menuju konten utama

Teknologi Pengenal Wajah di "Bandara Pintar"

Teknologi pengenal wajah berkembang tak hanya di ponsel pintar tapi berkembang untuk teknologi layanan publik seperti bandara.

Teknologi Pengenal Wajah di
Sejumlah penumpang mencari informasi jadwal penerbangan melalui layar monitor di Bandara Ngurah Rai, Bali, Jumat (29/6/2018). ANTARA FOTO/Wira Suryantala

tirto.id - “Kami memperoleh banyak laporan,” kata Steve Lee, Chief Information Officer Bandara Changi. “Soal kehilangan penumpang,” katanya.

Keterangan Lee soal banyaknya laporan penumpang hilang alias ketinggalan penerbangan di bandara cukup beralasan. Changi ialah salah satu bandara terpadat di dunia. Dalam laman resmi mereka, Changi melayani lebih dari 100 maskapai yang terbang ke 400-an kota di sekitar 100 negara. Setiap pekan, ada 7.200 penerbangan di Changi, setara dengan melayani lebih dari 62,2 juta penumpang tiap tahun.

Kepadatan Changi sangat mungkin menjadi penyebab beberapa penumpang ketinggalan penerbangan. Alasan ini terjadi juga di Amerika Serikat. Laporan Travel+Leisure menyebutkan akibat padatnya bandara, penumpukan di garis pemeriksaan tak terhindari. Kondisi demikian membuat lebih dari 70 ribu penumpang American Airlines ketinggalan penerbangan dalam lima bulan pertama 2016.

“Jadi satu hal yang kami pikirkan ialah, kami perlu mendeteksi dan menemukan orang-orang yang hendak terbang,” tegas Lee.

Namun, mendeteksi penumpang dengan cara manual tentu seperti mencari jarum dalam jerami. Bandara Changi punya solusi dengan memanfaatkan teknologi face recognition alias teknologi pengenalan wajah.

Yann Lecun, kepala divisi kecerdasan buatan Facebook, pada Wired, pernah berkata “seseorang memiliki aspek karakteristik (tertentu), bahkan jika kamu melihatnya dari belakang [...] Sebagai contoh, kamu bisa mengenali Mark Zuckerberg dengan mudah karena dia selalu mengenakan kaos berwarna abu-abu.” Ini juga jadi argumen pihak pengelola Bandara Changi melalui teknologi pengenalan wajah. Sebagaimana dilaporkan Reuters, bandara Changi kini tengah mengujicobakan penggunaan teknologi pengenal wajah untuk mendeteksi penumpang.

Peluang teknologi ini bekerja untuk mencari penumpang yang telat check-in. Caranya, dengan teknologi pengenal wajah, yang terintegrasi dengan kamera-kamera CCTV dan sistem yang bandara Changi, penumpang akan diberi tahu melalui pengeras suara.

Bandara Changi tak mengungkap vendor mana yang jadi mitranya. Namun, Reuters menyebut nama Idemia, perusahaan asal Perancis, dan Yitu, perusahaan teknologi asal Cina. Idemia pernah bekerjasama dengan Bandara Changi dalam sistem serupa. Sementara Yitu, mengklaim pada Reuters memiliki kemampuan mendeteksi 1,8 miliar wajah dalam waktu kurang dari 3 menit.

Pemanfaatan teknologi pengenal wajah bukan hal baru di Bandara Changi, Terminal T4 menggunakan teknologi tersebut untuk membuat para penumpang melakukan beberapa layanan secara mandiri, seperti check-in, mengurus bagasi, hingga layanan imigrasi. Layanan secara mandiri itu bekerja dengan hanya memerintahkan para penumpang Changi mengarahkan muka mereka ke mesin-mesin khusus yang tersedia. Lalu, sistem akan mencocokkan wajah mereka dengan paspor dan tiket pesawat penumpang.

“Hari ini Anda hanya perlu membawa paspor serta menunjukkan muka dan tiket ke mesin yang tersedia,” sebut Lee.

Pemanfaatan teknologi pengenal wajah di Bandara Changi bagian dari kebijakan “smart nation” yang dikonsep Singapura. “Anda tidak dapat berkata bahwa Anda berada di negeri pintar jika bandaranya tidak pintar,” kata Lee.

Sayangnya, penggunaan teknologi pengenal wajah di area publik seperti bandara menuai kekhawatiran. Silkie Carlo, direktur Big Brother Watch, pada BBC, mengatakan “peningkatan penggunaan teknologi pengenal wajah real-time memicu alarm privasi publik.”

Eric Schmidt, petinggi Google, satu saat pernah berujar teknologi pengenal wajah merupakan sesuatu yang “menakutkan.”

Facial Recognition

“Seperti halnya tidak ada dua sidik jari identikal ditemukan, wajah pun demikian. Bahkan pada dua orang kembar identik,” tulis Jay Goldstein membuka papernya berjudul “Identification of Human Faces” yang terbit di 1971.

Melalui papernya itu, Goldstein dan rekan-rekannya dari Bell Laboratories mengembangkan sistem pengenalan wajah berbasis komputer, dengan memberikan 21 tanda (key facial landmark) pada wajah. Goldstein misalnya menentukan seberapa tebal alis seseorang, seberapa gelap warna kantung mata, hingga seberapa panjang daun telinga. Masing-masing tanda itu, dikonversi menjadi angka-angka yang bisa dipahami komputer. Paper tersebut merupakan pengembangan lebih jauh dari apa yang dikerjakan Woodrow Wilson Bledsoe, yang membuat sistem pengenalan wajah serupa di pertengahan 1960-an.

Untuk mengenali “siapa,” sistem membutuhkan database foto. Goldstein setidaknya menyiapkan tiga jenis foto, yakni full face, tiga perempat bagian wajah, dan foto profil. Ketiga jenis ini akan memberikan informasi bagi sistem dari segala sudut wajah, tempat 21 tanda berada, yang hendak dianalisis.

Selain database foto, sistem pengenalan wajah juga memerlukan algoritma. Ed Finn, dalam bukunya berjudul “What Algorithms Want: Imagination in the Age of Computing” mengungkapkan salah satu definisi algoritma ialah suatu set instruksi untuk memanipulasi data.

Publikasi yang diunggah FBI menyebut ada beberapa algoritma pengenalan wajah komputer yang digunakan. Dua di antaranya yang paling populer ialah Principal Components Analysis (PCA) dan Elastic Bunch Graph Matching (EBGM).

PCA merupakan algoritma pengembangan kerja Kirby dan Sirivich, yang memperkenalkannya di tahun 1988. Algoritma ini bekerja dengan mengkomparasikan bertumpuk, foto 1 dan foto 2 dalam ukuran yang sama. Lantas membandingkan foto 1 dan foto 2, apakah sama atau tidak. Jika foto 1 dan foto 2 yang hendak dikomparasikan memiliki ukuran berbeda, algoritma akan menghasilkan pengenalan wajah yang buruk atau salah.

EBGM merupakan pengembangan lebih canggih dari PCA, membandingkan foto dengan karakteristik nonlinear. Seperti variasi pencahayaan, pose sosok yang ada di gambar, hingga ekspresi wajah.

Jennifer Tucker, penulis buku “Nature Exposed: Photography as Eyewitness in Victorian Science,” dalam artikelnya yang terbit di Boston Globe, mengatakan sejarah teknologi pengenal wajah bisa ditarik pada 1850. The Pinkerton National Detective Agency, memfoto penjahat yang ditangkap untuk memudahkan mereka mengidentifikasi. Pada 1852, penjara-penjara di Inggris membuat sistem fotografi para napi. Jika ada napi yang kabur, penjara-penjara Inggris lantas membagi database mereka ke pihak kepolisian untuk memudahkan penangkapan.

Salah satu pemanfaatan awal fotografi sebagai pengenalan/identifikasi terjadi di 1919. Selain itu, Federal Bureau of Investigation (FBI) membuat poster “Wanted” sosok disersi prajurit Amerika Serikat. Poster itu ditandatangani Frank Burke, asisten direktur FBI. Poster “Wanted” itu bisa dibuat kala FBI telah memiliki database fotografi para prajurit Amerika Serikat.

Real-Time

Pada Januari 2001, teknologi pengenalan wajah memasuki babak baru. Saat itu, dalam ajang Super Bowl diujicobakan teknologi pengenalan wajah real-time. Sistem menangkap wajah orang-orang di gelaran itu dan langsung membandingkan dengan database gambar yang dimiliki. Hasil tentang “siapa” wajah yang tertangkap didapat seketika.

Di balik kemampuan pengenalan wajah secara real-time adalah sebuah algoritma bernama Viola-Jones Face Detection. Kaiqi Cen dalam laman web.stanford.edu, dengan papernya berjudul “Study of Viola-Jones Real Time Face Detector” mengatakan Viola-Jones merupakan salah satu “algoritma pengenal wajah paling berpengaruh di dekade ini.” Viola-Jones membuat sistem memproses gambar “sangat cepat.”

Viola-Jones diciptakan oleh Paul Viola dan Michael Jones pada 2001. Algoritma tersebut punya tiga bagian penting: integral image, AdaBoost, dan Cascade.

Untuk dapat bekerja mengenal wajah, Viola-Jones memerlukan basis data gambar yang besar yang dimasukkan ke dalam sistem. Saat gambar-gambar dimasukkan ke sistem, gambar dikonversi ke dalam bentuk integral, dengan terlebih dahulu memberi tanda pada tiap pixel gambar ke dalam bentuk matematis: x dan y. Cen, dalam papernya, menyebut bahwa konversi ini ditujukan untuk “mengefisiensi” data.

Selepas gambar masuk ke sistem dan dikonversi ke bentuk integral, AdaBoost bekerja. AdaBoost merupakan machine learning, mempelajari tiap piksel gambar yang ada. Selepas dipelajari, AdaBoost menyeleksi data. Hanya mengumpulkan bagian-bagian penting.

Terakhir, Cascade bekerja mengklasifikasikan data yang ada. Hasilnya, ialah suatu sistem pengenalan wajah yang efisien dan cepat alias “real-time.”

Baca juga artikel terkait FACE RECOGNITION atau tulisan lainnya dari Ahmad Zaenudin

tirto.id - Teknologi
Penulis: Ahmad Zaenudin
Editor: Suhendra