Menuju konten utama

UU Ciptaker: Digarap Ugal-ugalan, Kesalahan Fatal Dianggap Normal

UU Ciptaker digarap ugal-ugalan sejak awal. Fakta lain muncul: kesalahan setelah ditandatangani Jokowi dianggap hanya perkara teknis.

UU Ciptaker: Digarap Ugal-ugalan, Kesalahan Fatal Dianggap Normal
Sejumlah buruh melakukan aksi unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Rabu (28/10/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/aww.

tirto.id - Banyak kekeliruan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 2 November lalu. Kesalahan ditemukan publik sesaat setelah peraturan ini diunggah resmi di laman Kementerian Sekretariat Negara.

Salah satunya adalah pasal 6, yang berbunyi: “Peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf a.” Masalahnya pasal yang dirujuk itu tidak ada. Di atas pasal 6 itu hanya ada pasal 5, yang berbunyi: “Ruang lingkup sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 meliputi bidang hukum yang diatur dalam undang-undang terkait.”

Menteri Sekretaris Negara Praktino memberikan klarifikasi bahwa itu hanya “kekeliruan teknis penulisan” yang tak berakibat fatal. Sebab, katanya dalam keterangan tertulis, Selasa (3/11/2020), “tidak berpengaruh terhadap implementasi UU Cipta Kerja.”

Sehari kemudian, Kemensetneg kembali menyebar rilis yang menyatakan telah melakukan pemeriksaan internal dan menemukan “tidak ada unsur kesengajaan.” Pejabat yang bertanggung jawab menyiapkan draf RUU sebelum diajukan ke Presiden Joko Widodo telah dijatuhkan sanksi disiplin.

Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas mengatakan pemerintah hanya perlu berkoordinasi dengan DPR RI untuk mengubah pasal-pasal yang keliru tanpa perlu mengulang semua dari awal. “Jadi dilakukan koreksi, kemudian diundangkan tanpa perlu tanda tangan Presiden lagi,” katanya.

Lagipula perubahan seperti itu memang tidak diatur secara tegas dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, katanya. Dan di sanalah celahnya. “Justru kalau diatur secara tegas, kalau kita langgar itu yang bahaya dan tidak boleh.”

Masalahnya kekeliruan tak hanya pasal 6. Ada juga pasal 151 yang masuk dalam Bab IX Kawasan Ekonomi. Pasal itu berisi dua ayat yang mengatur lokasi kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas. Pasal 151 ayat (1) merujuk pasal 141 huruf b soal kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas.

Pasal 151 berbunyi sebagai berikut:

(1) Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 141 huruf b terdiri atas: a. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas; dan b. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.

Masalahnya pasal 141 tak mempunyai ayat sama sekali. Pasal itu juga tak masuk Bab IX Kawasan Ekonomi, melainkan Bab VIII Pengadaan Tanah. Pasal tersebut mengatur soal evaluasi pemanfaatan hak atas tanah dalam rangka pengendalian.

Adapun aturan soal kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas dituangkan dalam pasal 149, yang berbunyi:

Kawasan Ekonomi terdiri atas: a. Kawasan Ekonomi Khusus; dan b. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

Itu artinya, pasal 151 dan pasal 141 itu tidak berkaitan alias tak nyambung.

Jangan Anggap Sepele

Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyebut kesalahan-kesalahan ini sebagai bukti pemerintah dan DPR “amatiran” menyusun undang-undang. Selain itu, ia juga mengatakan: “Kami curiga ini Presiden tidak membaca apa yang dia tandatangani. Kalaupun dia membaca apakah dia memahami? Kami tak yakin.”

Sementara Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) menyoroti respons Istana yang tampak menyepelekan masalah. Direktur PSHK FH UII Allan Fatchan Gani Wardhana mengatakan kesalahan pada pasal 6 sama sekali tak sederhana. Ia bermasalah karena tidak memenuhi asas kepastian hukum dan asas kejelasan rumusan.

“UU Cipta Kerja mengandung problem serius,” katanya lewat keterangan tertulis, Selasa (3/11/2020).

Allan juga mengatakan PSHK FH UII menemukan draf yang disahkan dan diundangkan berjumlah 1187 halaman, berbeda dengan yang diserahkan ke Presiden berjumlah 812 halaman. Ini menurutnya melanggar ketentuan Pasal 72 dan 73 UU 12/2011.

Ringkasnya, ia menilai peraturan ini cacat formil. Oleh karena itu pengajuan uji materi ke MK “harus dikawal” dan “harus dinyatakan batal demi hukum.”

Peneliti dari Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Rahmah Mutiara mengatakan justru pernyataan Pratikno menunjukkan UU Cipta Kerja ini memang cacat formil. Kata dia, perubahan naskah UU yang terus-menerus terjadi setelah mendapat persetujuan bersama, bahkan setelah ditandatangani Jokowi, merupakan akibat nyata dari pembentukan UU yang sangat tergesa-gesa dan tidak peduli terhadap asas pembentukan perundang-undangan.

“Karena kesalahan administratif itu masuknya pada kesalahan teknis pembuatan UU di dalam lingkup formalitas pembentukan UU. Kenapa kemudian kalau cacat formil itu dampaknya harus dicabut UU-nya? Karena substansinya pasti bermasalah dan itu kesalahan fatal,” katanya kepada wartawan Tirto, Rabu sore.

Jika pembentukan undang-undang sudah cacat sedari awal, jangan harap pula substansinya bagus. Apalagi, kata dia, secara perundang-undangan pemerintah tidak bisa lagi merevisi UU Cipta Kerja dengan dasar kesepakatan bersama DPR.

“Satu-satunya cara yang dapat dilakukan pemerintah ya mengeluarkan perppu untuk mengoreksi pasal-pasal yang bermasalah,” katanya. “Kalau klarifikasi dan minta maaf saja enggak akan mengubah keadaan.”

Baca juga artikel terkait UU CIPTA KERJA atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino