tirto.id - Uskup Timika, John Philip Saklil meminta pemerintah memperhatikan hak-hak rakyat Papua dalam menangani polemik yang berkaitan dengan perizinan PT Freeport Indonesia.
Dia menyatakan hal demikian seusai menemui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan di Jakarta untuk membahas berlarutnya polemik perizinan PT Freeport Indonesia yang menyebabkan operasi perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini di Mimika, Papua mandeg selama lebih dari sebulan.
"Kami minta hak masyarakat Papua mendapatkan tempat yang sama penting dalam polemik antara pemerintah Indonesia dengan PT Freeport. Pak Menteri mendukung hal tersebut," kata Uskup Saklil di Kementerian ESDM, Jakarta, pada Senin (27/2/2017) sebagaimana dilansir Antara.
Uskup Saklil juga mendesak agar PT Freeport Indonesia tidak melanjutkan tindakan pemecatan sepihak terhadap banyak karyawannya di Papua. Ia berharap Freeport tidak melakukan tindakan pemutusan hubungan kerja yang melanggar hak-hak karyawannya.
Ia menyayangkan selama ini regulasi pemerintah, yang berkaitan dengan aktivitas pertambangan Freeport di Papua, belum berdampak signifikan bagi kesejahteraan masyarakat Papua.
Uskup Saklil menilai selama ini perhatian untuk kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi pertambangan Freeport belum menjadi acuan utama dalam penyusunan regulasi yang berkaitan dengan aktivitas perusahaan tambang itu.
Selain meminta ada perhatian ke hak-hak rakyat Papua, Uskup Saklil juga meminta pemerintah agar segera mendesak perusahaan tersebut memulihkan kerusakan lingkungan akibat aktivitas tambang Freeport selama ini.
"Maupun nanti akan terus atau berhenti PT Freeport itu, lingkungan hidup haruslah dikembalikan lagi. Selain itu, hak-hak misalnya dana yang dikucurkan tidaklah jelas, bilang satu persen akan dikucurkan, tetapi dari berapa," kata Uskup Saklil.
Keluhan Uskup Saklil mengenai dampak lingkungan aktivitas tambang Freeport ini juga menjadi sorotan aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).
Padahal, data Jatam mencatat dua konsesi Freeport untuk Tambang Blok A di Kabupaten Paniai dan Blok B pada tahun 2012 di Kabupaten Mimika luasannya mencapai 212.950 hektar, atau sudah hampir seluas Kabupaten Bogor.
Jatam juga menuding aktivitas pertambangan Freeport di Papua telah meracuni lima sungai sebagai tempat pembuangan sampah dan limbah beracun (merkuri dan sianida). Lima sungai itu ialah sungai Aghawagon, Otomona, Ajkwa, Minajerwi dan Aimoe.
Johansyah mencatat Sungai Ajkwa di Mimika bahkan telah menjadi tempat pembuangan limbah tailing selama 28 tahun, sejak 1988 hingga 2016. Hingga tahun 2016, areal kerusakan dan pendangkalan karena tailing sudah sampai ke laut.
Ia menambahkan, sejak 1991 hingga 2013, pajak dari pemanfaatan sungai dan air permukaan Freeport pun tak pernah dibayar. Berdasarkan data Pemerintah Provinsi Papua, keseluruhan tunggakan Freeport sebesar Rp32, 4 Triliun untuk pajak pemanfaatan air permukaan.
Karena itu, Jatam mendesak agar pemerintah mengambil alih saja operasi pertambangan PT Freeport Indonesia dan bukan malah menawarkan peralihan izin dari Kontrak Karya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), serta divestasi saham hingga 51 persen, sebagai syarat agar perusahaan ini mendapatkan izin relaksasi ekspor konsentrat lagi.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom