tirto.id - Coba perhatikan biografi orang-orang ternama atau idol di Korea Selatan, kemudian hitunglah usianya. Anda niscaya akan mendapati umur mereka lebih muda dibanding yang dicantumkan. Orang-orang di sana memang tidak mengalami pertambahan usia sesuai aturan umum. Mereka punya realitas waktu sendiri yang membikin umur satu-dua tahun lebih tua.
Aturan ini disebut Usia Korea atau Hanguk nai.
Jika di belahan dunia lain usia seseorang dihitung sejak ia dilahirkan, maka di Korsel itu dimulai ketika mereka masih ada di dalam kandungan. Periode kehamilan (9 bulan) dihitung sebagai umur pertama. Jadi, ketika baru lahir, seorang bayi langsung dianggap berusia satu tahun.
Selain itu, dalam Hanguk nai, usia seseorang bertambah bukan pada tanggal ketika ia dilahirkan, tapi setiap 1 Januari (mereka tetap merayakan hari lahir, hanya saja itu tak ada pengaruhnya dari kacamata administrasi negara).
Sistem ini memungkinkan dua bayi memiliki Usia Korea yang sama padahal usia normalnya—sebut saja usia internasional—terpaut cukup jauh hanya karena lahir pada tahun yang sama. Contoh, bayi X yang lahir pada Desember 2021 dan bayi Y yang lahir pada Januari 2021. Pada Januari 2022, Usia Korea keduanya adalah 2 tahun, padahal bayi X baru berumur kurang dari sebulan.
Karena perhitungan tersebut, sebagian orang tua khawatir anak-anak mereka akan memiliki masalah sosial ketika berinteraksi dengan rekan “sepantaran” (dalam Usia Korsel), tapi secara fisik lebih tua dan besar.
“Sistem Usia Korea menimbulkan banyak kerugian bagi bayi yang lahir di akhir tahun,” ungkap Kim Sun-mi, seorang ibu dengan putri kelahiran 30 Desember 2018, seperti diwartakan The Guardian. “Perhitungan ini memang tidak masuk akal. Putriku merayakan ulang tahun kedua meski baru berusia dua hari di dunia. Saya sangat berharap aturan ini diubah,” kata Kim penuh harap.
Guna mengakali perhitungan usia ini, muncul fenomena perencanaan kehamilan di kalangan pasangan usia subur dengan harapan agar anak tidak lahir di akhir tahun. Saking tidak mau dirugikan, sebagian orang tua dengan anak kelahiran akhir tahun bahkan rela menunda laporan kelahiran sampai Januari tahun berikutnya.
Sistem perhitungan yang unik ini berasal dari budaya kuno Asia Timur (Cina). Namun Korsel adalah satu-satunya negara yang masih menerapkannya dalam level nasional. Cina telah menghapus sistem usia tersebut saat Revolusi Kebudayaan (periode 1966-1976). Jepang mulai mengadopsi usia internasional pada awal 1900-an. Korea Utara menggunakan usia internasional pada 1985.
Hendak Dirombak
Sistem Usia Korea membikin pelik beragam urusan administrasi hingga merembet ke masalah kesehatan. Misalnya saja saat program vaksinasi Covid-19 untuk anak (12-18 tahun).
Kelayakan vaksin anak—yang saat itu baru bisa dilakukan pada usia minimal 12—didasarkan pada standar usia global. Namun pemerintah sepakat menggunakan Usia Korea. Artinya, anak-anak yang sudah berusia 12 berdasarkan Usia Korea sejatinya masih berumur 11 atau 10 dalam standar global.
Masalah-masalah seperti ini sudah muncul sejak sebelum pandemi. Beberapa pihak kemudian mencoba merombaknya.
Pada awal 2018, misalnya, seorang anggota dewan dari Partai Demokrasi dan Perdamaian, Hwang Ju Hong, mengajukan Rancangan Undang-undang usia internasional ke Majelis Nasional. “Untuk mencegah kebingungan perlu ada standar yang menyatukan sistem perhitungan usia kita,” ujar Hwang, melansir Soompi.
Di Korsel, perhitungan usia internasional digunakan untuk urusan pajak, sebagian perawatan kesehatan, dan program kesejahteraan. Sementara Usia Korea dipakai dalam UU Perlindungan Pemuda dan UU Dinas Militer. Syarat wajib militer di sana menggunakan sistem Umur Korea. Aturan legal untuk mengonsumsi minuman beralkohol juga mengacu pada standar usia ini. Masyarakat juga lebih lazim menggunakan perhitungan Usia Korea.
Tiga tahun berselang dari usulan Hwang, ketika masih berstatus kandidat presiden, Yoon Suk-yeol sempat menyinggung pemerataan usia saat masa kampanye. Ia berjanji ketika menang nanti akan mengadopsi usia internasional untuk semua urusan administrasi lembaga pemerintah dan publik.
Kini ia telah terpilih dan masyarakat menunggu realisasi janji tersebut. Sebagian masyarakat Korsel tentu mendukung ide ini karena penyelarasan usia membikin segala urusan menjadi ringkas.
Tapi ternyata ada juga kelompok yang memilih mempertahankan sistem Usia korea. Berdasar survei yang dihelat Realmeter, dilansir dariKorea Herald, 46,8 persen dari 529 responden menginginkan sistem Usia Korea dipertahankan. Mereka yang setuju sistem usia disetarakan hanya kurang dari 44 persen.
Mengapa ada yang menolak standar usia global?
Ternyata alasannya terkait norma sosial dan kesopanan. Menurut Taehoon Kim dari Sejong University, usia merupakan penentu paling penting dalam relasi sosial dan identitas kelompok di Korsel. Pemikiran deduktif itu ia ringkas dalam "Age Culture, School-Entry Cutoff and the Choices of Birth Month and School-Entry Timing in South Korea" (2018).
“Masyarakat Korea memiliki hierarki sosial berdasarkan usia. Mereka punya aturan khusus ketika berhadapan dengan orang dari kelompok umur yang berbeda,” ujar Kim.
Tradisi ini berasal dari konfusianisme yang masih tertanam kuat pada masyarakat Korsel. Dalam konfusianisme, orang dengan umur yang lebih muda wajib menghormati yang lebih tua, dan usia adalah indikasi status sosial, bukan hanya usia biologis.
Makanya, Korsel punya banyak kata pengganti panggilan untuk masing-masing kelompok umur yang lebih senior.
Editor: Rio Apinino