tirto.id - Populasi di Rusia melandai. Pada awal 1990-an, penduduk di sana mencapai 148 juta jiwa. Sekarang jumlahnya tak berkembang, malah berkurang menjadi hanya sekitar 145-146 juta. Rata-rata anak yang dilahirkan per perempuan per tahun juga turun, dari dua pada pengujung era Uni Soviet jadi 1,5 pada 2020.
Penyebabnya dapat dirunut sejak Rusia lepas dari Soviet pada awal dekade 1990-an. Sejak saat itu negara ini bertransformasi menjadi kawasan yang terbuka pada bisnis privat berorientasi pasar bebas. Bukannya malah menjadi sejahtera, perubahan tersebut justru menghasilkan kekacauan ekonomi seperti pengangguran massal.
Bagi Presiden Rusia Vladimir Putin, tren ini tak termaafkan. Ahli demografi Prancis Laurent Chalard mengatakan Putin adalah orang yang percaya bahwa kekuatan sebuah negara berbanding lurus dengan ukuran populasinya. “Semakin besar populasi, semakin kuat negara,” katanya.
Maka dari itu pemerintah lantas mengeluarkan beragam program untuk mendorong warga agar tetap mau punya banyak anak.
Memperbanyak Populasi
Program paling menonjol adalah beragam insentif bagi keluarga yang punya banyak anak seperti bantuan langsung-tunai atau subsidi KPR. Pemerintah juga memberikan sejumlah penghargaan untuk mereka.
Cara lain untuk menggenjot populasi adalah dengan menaturalisasi lebih banyak orang asing dengan cara melonggarkan UU kewarganegaraan sejak dua tahun silam. Dengan peraturan baru ini orang asing tidak diminta untuk melepaskan kewarganegaraan asalnya demi jadi warga Rusia. Aturan tersebut diharapkan bisa menambah sampai 10 juta warga baru.
Sebelumnya Putin juga mengizinkan penduduk di Semenanjung Krimea (yang dianeksasi Rusia pada 2014) dan “republik rakyat” (Donetsk dan Luhansk yang memisahkan diri dari Ukraina) agar dapat akses cepat untuk memiliki paspor Rusia. Sepanjang 2019-2022, diperkirakan 720 ribu paspor sudah disebarkan ke warga Donetsk dan Luhansk atau sekitar 18 persen dari populasi.
Namun langkah Putin untuk menambah populasi dipertanyakan efektivitasnya oleh banyak pihak.
Ahli demografi Sarah Harper dari Oxford Institute of Population Ageing, misalnya, mengatakan bahwa kebijakan-kebijakan prokelahiran selama ini jarang berhasil. Sebabnya sederhana: butuh waktu lama—setidaknya dua puluh tahun—sampai angkatan para bayi bisa produktif bekerja dan programnya bisa dinyatakan sukses.
Harper juga beranggapan bahwa pada abad ke-21 kualitas warga negara jauh lebih penting daripada kuantitasnya.
Kalau masih ngotot memperbanyak penduduk, menurut Harper satu faktor pentingnya adalah imigrasi. Akan tetapi, berbagai potensi gesekan sosiobudaya yang muncul membuat imigrasi tidak menjadi kebijakan populer di banyak negara.
Pakar politik Anna Williams juga punya kritik terhadap salah satu program Putin yang memberikan insentif bagi ibu melahirkan atau mengadopsi anak kedua atau ketiga. Menurutnya program bernama Modal Ibu ini tidak signifikan mendorong kesuburan atau jumlah kelahiran bayi.
Dalam artikel yang terbit di situs Institute of Modern Rusia pada 2020, Williams mengutip temuan riset tahun 2014 yang menyebut tunjangan tersebut hanya berdampak pada pertambahan 0,15 anak per perempuan untuk jangka panjang.
Studi lainnya mendapati bahwa Modal Ibu tidak dilihat oleh para orang tua sebagai solusi yang mampu meringankan beban membesarkan anak, apalagi stimulus untuk melahirkan lebih banyak.
Menurut Williams, alih-alih menggelontorkan uang tunjangan sekali waktu, jauh lebih penting bagi pemerintah untuk membangun infrastruktur sosioekonomi yang bisa membantu kaum ibu untuk mengimbangi aktivitas kerja dan rumah tangga.
Selain itu, jika ingin perempuan lebih produktif melahirkan banyak anak (dan mengurusnya), artinya pemerintah juga perlu menjamin perlindungan serta keamanan mereka di dalam rumah, terutama dari berbagai bentuk kekerasan yang aturan hukumnya masih longgar sampai sekarang.
Menurut riset dari parlemen Rusia, kekerasan dalam rumah tangga ditemui pada satu dari sepuluh keluarga. Dari 70 persen pihak yang pernah mengalami kekerasan, 80 persennya adalah perempuan.
Masalahnya, pada 2017, Putin mengesahkan undang-undang yang justru meringankan hukuman bagi pelaku kekerasan dan menghalangi korban untuk mengajukan tuntutan.
Stagnasi angka kelahiran juga mustahil dipisahkan dari kegagalan pemerintah untuk memperbaiki situasi ekonomi terutama dari keluarga kelas pekerja. Ini tampak jelas pada keluarga-keluarga yang bergantung pada pertambangan di kawasan Siberia yang jauh dari gemerlap seperti Moskow atau St. Petersburg.
Dilansir dari reportase Isabelle Khurshudyan untuk Washington Post pada 2020 silam, jumlah keluarga kecil—orang tua dengan satu anak—lazim ditemui di Kemerovo, kota yang pada era Soviet pernah berjaya karena industri batu bara. Industri di sana semakin tertekan saat pandemi karena berkurangnya permintaan.
Menurut pengakuan warga, upah mereka berkisar enam jutaan rupiah atau separuh dari rata-rata bayaran di kawasan sekitar. Tambah sial karena upah yang minim tersebut sering terlambat sampai tiga bulan.
Di sana, keluarga yang menerima program Modal Ibu mengatakan jumlahnya terlalu sedikit untuk mampu menunjang keperluan banyak anak.
Mereka juga mengaku pernah dijanjikan sebidang tanah oleh pemerintah setelah punya anak ketiga, yang tak jua diperoleh karena keberatan membayar biaya administrasi yang mahal, mencapai tujuh jutaan rupiah.
Akibat Perang
Invasi ke Ukraina bahkan bisa dibaca sebagai upaya menambah populasi. Salah satu buktinya adalah pada sensus terbaru Moskow telah memasukkan 2,4 juta penduduk Donbas—yang dikelola separatis pro-Rusia.
Bukti lain, Juli kemarin Kremlin mengeluarkan dekret yang menyatakan bahwa semua warga Ukraina berhak mengajukan aplikasi untuk jadi warga Federasi Rusia dengan prosedur yang sangat sederhana: tidak perlu punya riwayat pernah tinggal lama di Rusia, bahkan tidak perlu lulus ujian kemampuan bahasa Rusia.
Masalahnya, ancaman krisis demografi juga mustahil dilepaskan dari konteks invasi Rusia yang telah dilancarkan sejak awal 2022 dan prospek ekonomi yang lesu akibat sanksi-sanksi dari komunitas internasional.
Sampai Agustus ini, sekitar enam bulan setelah invasi, Rusia disinyalir telah mengalami kerugian korban jiwa jauh lebih besar daripada Ukraina, meskipun statistik resminya relatif lebih rendah. Laporan terakhir dari Rusia terbatas pada data sampai bulan Maret. Dinyatakan bahwa 1.300 tentara Rusia meninggal.
Pihak luar menduga jumlahnya jauh lebih besar. Dilansir dari New York Times, intelijen Inggris menduga puluhan ribu tentara Rusia luka-luka dan 25 ribu telah meninggal dunia. Sementara perkiraan otoritas Amerika Serikat sekitar 20 ribu kematian.
Sebagai pembanding, diperkirakan sampai 997 ribu jiwa melayang di Rusia sepanjang Oktober 2020 sampai September 2021. Covid-19 tidak lain menjadi penyebab utama kematian. Penurunan paling drastis tercatat sepanjang lima bulan pertama 2022. Dalam periode tersebut Rusia kehilangan 430 ribu orang atau 86 ribu per bulan.
Rekor sebelumnya berlangsung pada 2002, berkisar 57 ribu orang per bulan.
Di balik perbedaan angka itu, sulit ditampik bahwa setiap nyawa yang melayang semakin mengancam situasi demografis Rusia. Merekalah, pemuda berusia prima angkatan usia 20-an, generasi yang sepatutnya dilindungi untuk membantu mengatasi krisis populasi.
Di samping nyawa yang melayang sia-sia karena ambisi politik, invasi turut memicu eksodus para profesional besar-besaran.
Hanya empat minggu setelah invasi, diperkirakan 50-70 ribu pekerja IT dan komunikasi seperti pemrogram sampai pakar keamanan siber meninggalkan Rusia untuk mencari peruntungan di luar negeri. Beberapa negara tujuan adalah Turki, Israel, dan Armenia—yang selama ini biasa menaungi komunitas Rusia khususnya dari sektor teknologi.
Di mata mereka, prospek bisnis di Rusia tak lagi atraktif akibat hujan sanksi ekonomi dari komunitas internasional. Sanksi membatasi produk ekspor yang esensial untuk menunjang sektor teknologi dan komputer (komponen seperti mikroprosesor dan semikonduktor). Mereka juga mulai kesulitan mengakses layanan penunjang kinerja dari Apple, Microsoft, Oracle, dan Cisco yang menangguhkan aktivitasnya di Rusia.
Berbagai cara Kremlin lakukan demi mencegah brain drain ini. Dilansir dari Financial Times, langkah pemerintah termasuk mengecualikan pekerja IT dari wajib militer, menawarkan promo KPR, membebaskan perusahaan teknologi dari pajak pendapatan, dan memudahkan mereka mengakses pinjaman berbunga rendah.
Namun hal tersebut tidak bakal benar-benar efektif kecuali mereka menang atau, pilihan lebih bijaknya, menghentikan invasi.
Editor: Rio Apinino