tirto.id - Pemerintah pusat resmi menunda pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur. Langkah ini diambil di tengah ketidakpastian kapan pandemi COVID-19 berakhir.
“Sampai hari ini ibu kota negara itu programnya masih di-hold,” kata Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi XI DPR RI, Selasa (8/9/2020).
Deputi Bidang Pengembangan Regional Rudy Soeprihadi Prawiradinata menjelaskan penundaan dilakukan pada berbagai urusan yang sedianya bakal dikerjakan pada 2020. Misalnya peletakan batu pertama, akses jalan dari Balikpapan ke lokasi ibu kota baru, sampai pembangunan infrastruktur dasar.
Meski begitu, “kami tetap siapkan masterplan-nya kemudian rencana tata ruangnya. Desain kotanya itu masih berjalan,” ucap Rudy, Rabu (9/9/2020) seperti dikutip dari Antara.
Target pemerintah pun belum tentu mengalami perubahan, yakni per tahun 2024, sebagian besar ASN sudah pindah ke Kalimantan.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan penundaan ini memang wajar, bahkan agak terlambat. Ia mengatakan langkah ini sebaiknya diputuskan di awal masa pandemi atau Maret 2020. Tujuannya agar pemerintah bisa mengalihkan konsentrasi dan dana yang ada untuk penanganan COVID-19.
Jika terus dilanjutkan, menurut Bhima, itu hanya bakal menimbulkan persepsi negatif ke investor. Ia bilang di tengah pandemi, setiap negara memang diharapkan membereskan dulu pandemi.
“Indonesia akan dianggap negara yang tidak memiliki prioritas dalam rencana pembangunan maupun dalam struktur belanjanya,” ucap Bhima saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (11/9/2020).
Ia bahkan mengatakan sebaiknya penundaan diperpanjang hingga tahun depan. Ia bilang daya dorong pembangunan ibu kota tak cukup memberikan dampak positif terhadap pemulihan ekonomi. Kajian Indef di awal 2020 menunjukkan pemindahan IKN hanya memicu 0,02 persen terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Sebabnya, pemindahan tidak dilakukan pada komponen bisnis, tetapi hanya kota administratif saja.
Dampak lumayan dirasakan oleh provinsi bersangkutan saja dengan kenaikan pertumbuhan sekitar 3,14 persen.
“Tahun depan fokusnya tetap ke kesehatan dan stimulus untuk UMKM. Itu yang urgen. Kalau perlu tunggu ekonomi tumbuh 7-8 persenlah baru bahas pemindahan ibu kota baru,” ucap Bhima.
Di sisi lain, pandemi COVID-19 juga telah membuat berbagai pelaku usaha dan investor mengencangkan ikat pinggang. Maksudnya, mereka memfokuskan diri untuk bertahan agar dapat selamat melewati pandemi. Memilih terlibat dalam pembangunan ibu kota bukan lagi prioritas.
Meski demikian, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah menilai ada dampak negatif yang muncul bila pemindahan ditunda. Jika swasta dan pemerintah sama-sama tidak bergerak, maka ekonomi akan sulit bergerak. Dengan demikian, pemulihan ekonomi bisa berjalan lamban lantaran baik swasta maupun pemerintah menahan diri sehingga perputaran uang berkurang.
Piter mencontohkan, saat ada proyek pemerintah, selalu ada pihak swasta yang turut serta. Swasta tentu membutuhkan dana sehingga mengajukan kredit ke bank. Mereka yang bertindak sebagai pemasok pun turut mendapat permintaan.
Dari uang yang diterima oleh perusahaan, sedikit banyak akan mengalir ke pekerja yang nantinya diharapkan digunakan untuk konsumsi sehingga ekonomi hidup.
Pihak yang memiliki kemampuan dan pelopor itu hanya pemerintah. Karena itu, meski ibu kota negara ditunda, Piter berharap proyek lain tidak ikut bernasib sama. Paling tidak, katanya, ada yang tetap bisa dilanjutkan pada 2021.
“Jadi jangan sampai ada pikiran ini zaman susah, pemerintah harus kencangkan ikat pinggang. Kalau pemerintah kencang ikat pinggang juga, mati semua kita,” ucap Piter dihubungi, Jumat (11/9/2020).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz