tirto.id - Langkah Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perpres 133/2017 tentang Perubahan atas Perpres 53/2017 tentang Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) mendapatkan respons beragam. Revisi ini di antaranya mengubah badan tersebut sebagai "lembaga pemerintah yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden."
Badan ini peleburan dari Lembaga Sandi Negara dan Direktorat Keamanan Informasi di Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Kominfo. Begitu juga Indonesia Security Incident Response Team on Internet Infrastructure (ID-SIRTII) yang sebelumnya unit kerja di bawah Kominfo menjadi bagian dari badan tersebut.
Lembaga pemerintah ini bertugas melaksanakan keamanan siber "secara efektif dan efisien dengan memanfaatkan, mengembangkan, dan mengonsolidasikan semua unsur yang terkait dengan keamanan siber."
Diyauddin, peneliti dari Indonesia Intelligence Institute, mengatakan keberadaan badan siber "sangat penting" mengingat perkembangan pesat teknologi dan media sosial. Ia menilai Indonesia agak terlambat membentuk lembaga pengawasan siber secara menyeluruh.
Seharusnya, kata Diyauddin, badan siber dibentuk sejak lama dengan tugas mengoordinasikan lembaga-lembaga siber di bawah kementerian atau lembaga negara. Alasannya, pengguna internet dan media sosial rentan terkena serangan siber.
Kehadiran Badan Siber dan Sandi Negara, menurutnya, bisa menjadi "alat untuk mengawasi dan menyaring hal-hal negatif" bagi Indonesia, di antaranya konten-konten yang memuat informasi hoaks dan ancaman serangan siber. Namun, ia mengingatkan, kebebasan berpendapat tetap berlaku mutlak.
Meski konsep kerja Badan Siber belum matang, Diyauddin menjelaskan pemberangusan terhadap suara kritis "tidak akan terjadi" mengingat memang tak ada kewenangan lembaga ini dalam langkah hukum pidana.
“Badan Siber dan Sandi Negara lebih bekerja melindungi alat-alat negara dan lembaga-lembaga negara dan kontrol terhadap berita-berita, seperti nanti kita akan menemukan satu corong pemerintah yang kredibel dalam hal kebijakan negara atau suatu isu yang bisa dijadikan acuan bagi masyarakat,” katanya kepada Tirto, Minggu kemarin.
“Itu artinya alat presiden untuk memahami persoalan lebih langsung, terkontrol, seperti adanya BIN,” kata Fahri kepada Tirto.
“Sekarang ada perkembangan media sosial, metodologi di intelijen itu memang butuh diaktualkan, akurat, dan cepat untuk membekingi presiden," tambah dia.
Hanya saja, kata Fahri, jangan sampai keberadaan Badan Siber dan Sandi Negara tumpang tindih dengan pekerjaan BIN.
Pernyataan Fahri cukup beralasan karena Presiden Jokowi telah meneken Perpres 73/2017 tentang perubahan atas Perpres 90/2012 tentang Badan Intelijen Negara, salah satunya menambah Deputi Bidang Intelijen Siber.
“Deputi Bidang Intelijen Siber, selanjutnya disebut Deputi VI, adalah unsur pelaksana sebagian tugas dan fungsi BIN di bidang intelijen siber ... di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala BIN,” bunyi Pasal 25A Perpres ini.
Karena itu, menurut Fahri, perlu ada sinergi antara Badan Siber dan Deputi VI BIN yang mengurusi intelijen siber.
“Apabila fungsi-fungsinya sama, mungkin (anggaran) yang ada di BIN dikurangi untuk mem-backup apa yang sekarang langsung di bawah presiden,” tambah Fahri.
Politikus PKS ini menambahkan “sebenarnya BIN adalah mata dan telinga Presiden. Jadi, kalau badan siber juga merupakan telinga dan mata presiden di sosial media atau cyber space, itu tidak masalah."
Namun demikian, Fahri mengingatkan, jangan sampai pemerintah atau presiden menjadikan badan siber sebagai alat melakukan kriminalisasi berbasis media sosial.
“Kebebasan berpendapat itu seliar apa pun tetap melalui publik, jangan diambil alih setiap orang omong salah dibawa ke pengadilan. Tambah runyam nantinya situasi,” kata Fahri.
Reporter Tirto mengkonfirmasi soal keberadaan Badan Siber dan Sandi Negara ke pihak BIN tapi menolak berkomentar. “Kami tidak boleh memberi penjelasan kalau tanpa permintaan dan klarifikasi secara resmi” kata Sundawan Salya, Deputi Bidang Komunikasi dan Informasi BIN.
Perlu Pengawasan
Soal kemungkinan Badan Siber dan Sandi Negara dipakai sebagai alat politik menjelang Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, Diyauddin berpendapat bahwa meski peraturan ini diteken menjelang tahun politik, ia memperkirakan badan ini baru akan efektif pada 2019 atau 2020.
Selain memerlukan pegawai yang banyak untuk memonitor pergerakan siber seluruh Indonesia, ujarnya, lembaga ini harus beradaptasi menjalankan tugas.
“Jadi kekhawatiran Badan Siber menjadi bahan politik bagi pemerintah itu tidak berdasar,” katanya.
Diyauddin mengatakan, dalam pembentukan lembaga siber seringkali ada dua perspektif yang jadi pokok debat: aoakah “badan siber harus dekat dengan presiden untuk tahu apa keinginannya” atau malah “badan siber tidak perlu dekat dengan presiden bahkan dalam operasinya.”
Perbedaan perspektif ini muncul karena memang ada kemungkinan lembaga negara semacam BSSN terlalu berpihak kepada pemerintah, menurut Diyauddin.
Karena itu, salah satu caranya memperkuat "badan pengawasan", baik oleh DPR maupun melibatkan lembaga swadaya masyarakat, untuk kritis terhadap kinerja Badan Siber dan Sandi Negara maupun Badan Intelijen Negara, menurut Diyauddin.
'Menangkal serangan siber, bukan memantau hoaks'
Noor Iza, Kepala humas Kementerian Kominfo, mengatakan sampai saat ini Badan Siber dan Sandi Negara masih dipegang oleh Kemenkopolhukam karena dalam masa transisi dari Perpres lama ke Perpres baru. Ia memastikan kajian kerja badan ini "tidak akan memberangus aktivitas masyarakat", apalagi menjadi alat politik pemerintah.
Ia berkata bahwa Badan Siber nantinya akan fokus pada masalah keamanan siber negara secara menyeluruh, bertindak sebagai koordinator dari badan siber setiap kementerian atau lembaga pemerintahan.
“Koordinasi pengamanan infrastruktur terhadap malware, cyber attack, BSSN-lah yang akan bertanggung jawab,” kata Noor.
Fungsi ini semula di tangan Kementerian Kominfo. Sesudah BSSN dibentuk, Kominfo hanya bertugas pengendalian, bukan pengamanan sebagaimana selama ini dikerjakan Security Incident Response Team on Internet Connection (ID-SIRTII).
“Inilah yang akan diambil seluruhnya oleh BSSN,” kata Noor Iza.
Tugas Badan Siber dan Sandi Negara, menurut Noor Iza, tidak fokus pada penanganan hoaks dan semacamnya, melainkan pada serangan siber secara masif terhadap teknologi keuangan (fintech) atau peretasan dari negara asing.
Noor Iza menjamin tidak akan ada penyalahgunaan kekuasaan dari BSSN untuk mempidanakan para pengguna media sosial. Pengawasan konten di media sosial masih tetap dalam ranah kerja Kementerian Kominfo.
“Berkenaan dengan konten ada UU ITE, tetap di Kemenkominfo. Karena Kemenkominfo memantau detail,” tegasnya.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz