tirto.id - Setelah melewati masa panjang mendalami agama Katolik sejak masa remaja, Jenthu alias Soehirman alias Nicolaus Drijarkara akhirnya belajar di Pontificia Universita Gregoriana. Kampus ini berada di suatu negara kecil yang dikenal sebagai Takhta Suci Vatikan yang letaknya di tengah kota Roma, Italia.
Pontificia Universita Gregoriana alias Universitas Kepausan Gregoriana merupakan institusi pendidikan tingkat lanjut untuk mendalami misiologi, teologi, sejarah gereja, dan filsafat hingga strata doktor. Mereka yang dikirim ke sekolah ini biasanya bukan lulusan seminari atau pastor sembarangan, apalagi sekadar jebolan kelas satu seminari menengah.
Kuliah di universitas kepausan ini bukan perkara gampang. Penguasaan bahasa Latin dan bahasa asing lain yang mendukung studi adalah hal penting. Bahasa Latin berkaitan erat dengan liturgi dan literatur kuno Katolik.
Drijarkara hanya salah satu orang Indonesia yang pernah belajar di sana. Laki-laki kelahiran Purworejo, 13 Juni 1913 ini bukan jebolan kelas satu seminari, tapi belajar serius di seminari menengah di Yogyakarta sejak 1929 hingga lulus pada 1935. Setelahnya, seperti disebut Mudji Sutrisno dalam Drijarkara: Filsuf yang Mengubah Indonesia (2006: 12-13), dia menjalani Pendidikan Novisiat Serikat Jesuit di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah dan sempat juga dikuliahkan ke Belanda.
Drijarkara kemudian belajar filsafat di Pontificia Universita Gregoriana hingga mendapat gelar doktor. Menurut Ensiklopedi Umum (1973: 352) yang disusun A.G. Pringgodigdo, Drijakara lulus dengan predikat cum laude. Disertasinya tentang filsuf Perancis bernama Nicolas Malebranche (1638-1715). Belakangan Drijarkara menjadi salah satu filsuf terkenal di Indonesia dan dianggap sebagai pemikir zaman baru. Tak heran bahwa sebuah sekolah tinggi filsafat di Jakarta mengabadikan namanya, yaitu Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Drijarkara.
Pada tahun terakhir Drijarkara di Roma, tiba pula agamawan Katolik Jawa lain yang lebih muda setahun darinya, yaitu Justinus Darmojuwono. “[…] saya mendapat tugas belajar misiologi di Universitas Gregoriana, Roma. Saya belajar di sana selama setahun,” aku Darmojuwono kepada majalah Tempo (30/12/1989).
Sepulang dari sana, Darmojuwono menjadi pastur pembantu di gereja Purbayan, Solo. Sejak 1963 hingga 1981 Darmojuwono menjadi Uskup Agung Semarang dan pada 1967 diangkat sebagai kardinal. Ia adalah orang Indonesia pertama yang menjadi kardinal.
Selain Drijakara dan Darmojuwono, pada 1986 ada Johannes Liku Ada' dari Toraja yang memperoleh gelar doktor bidang spiritual. Pada 1991 A. Sudiardja memperoleh gelar doktor filsafat. Sementara di tahun 2002 G. Budi Subanar memperoleh gelar doktor misiologi dari universitas yang usianya lebih dari empat abad itu. Selain mereka tentu masih ada lagi orang-orang katolik dari Indonesia yang belajar ke sana.
“Nama Pontificia Universita Gregoriana diambil dari Gregorius XIII (1572- 1585) yg sangat mendukungnya,” tulis Adolf Heuken dalam Ensiklopedi Gereja: C-G (2004: 252).
Paus Gregorius XIII dianggap sebagai orang yang membuat lembaga ini menjadi universitas. Meski begitu Gregorius XIII bukanlah pendirinya. Peletak dasar lembaga pendidikan ini adalah Santo Ignatius dari Loyola, bekas serdadu Basque yang akhirnya memilih jadi imam. Igantius Loyola dikenal sebagai pendiri Serikat Jesuit. Ordo ini dikenal sebagai ordo yang peduli pada pendidikan dan punya beberapa sekolah Katolik terkenal.
Menurut catatan Philip Caraman dalam University of the Nations: The Story of the Gregorian University with Its Associated Institutes, the Biblical and Oriental, 1551-1962 (1981: 6), cikal bakal Universitas Kepausan Gregoriana dibuka pada 23 Februari 1551 dengan 60 pelajar dan 15 guru yang terbagi dalam lima kelas.
Berkat Kaum Jesuit
Situs resmi kampus menyebut pada mulanya lembaga ini adalah sekolah tata bahasa dan doktrin kemanusiaan dan Kristen yang selama berabad-abad disebut sebagai Collegio Romano (baca: Kolese Roma). Setahun kemudian, pada 1552, Julius III menjadi pimpinannya. Kampus ini punya lisensi untuk memberikan gelar akademik kepada para siswa Jesuit.
Di masa-masa setelahnya, pembaharuan terus dilakukan, termasuk di masa kepausan Paul IV dan Paul V. Studi filsafat dan teologi dikembangkan di kampus ini. Di era kepausan Gregorius XII, pada 1584, barulah ia menjadi universitas dengan studi-studi penting terkait kekristenan.
Para pengajar dari Serikat Jesuit memimpin Kolese Roma. Setelah Serikat Jesuit dimusuhi Klemens XIV yang begitu berkuasa, Takhta Suci Vatikan memercayakan kampus ini kepada klerus keuskupan di tahun 1773. Selepas Serikat Jesuit tak lagi dimusuhi pada 1814, Kolese Roma tidak dikembalikan kepada ordo itu. Baru pada 1824, ketika Paus Leo XII bertakhta, sebagai bentuk penghargaan, Serikat Jesuit diberi kepercayaan untuk mengurusnya lagi seperti sebelum mereka ditindas.
Di masa kepausan Pius IX, tahun 1873, nama Pontificia Universita Gregoriana mulai digunakan untuk menghormati Paus Gregorius XIII yang membesarkannya sebagai universitas. Seiring berjalannya waktu, jumlah mahasiswa terus bertambah. Begitu pun ragam studi yang dipelajari. Atas kebijakan Pius XI, kampus didirikan di Colle Quirinale, Piazza della Pilotta dan diresmikan pada 6 November 1930.
Selain memiliki fakultas-fakultas seperti hukum, teologi, filsafat, dan ilmu lainnya, kampus ini menyelenggarakan kursus-kursus lengkap mengenai sejarah gereja dan ilmu-ilmu misi agama Katolik.
Sebagaimana lazimnya sebuah universitas, kampus ini juga dilengkapi perpustakaan sejak berdirinya. Koleksi perpustakaannya sekitar 900 ribu jilid yang mencakup teologi, filsafat, kebudayaan, dan sastra. Ketika kaum Jesuit dimusuhi, ada 45 ribu koleksi buku, manuskrip, dan arsip yang disita negara Italia dan dibagi-bagi. Sejak 1928, perpustakaannya dipindah ke lokasi yang baru.
Editor: Ivan Aulia Ahsan