tirto.id - Sebelum huruf Latin dikenal di sini pada satu setengah milenial silam, orang Nusantara sudah mengenal huruf Pallawa dari India. Namun, tak semua orang Indonesia bisa baca-tulis dengan huruf tersebut. Setelah Islam datang, orang-orang Indonesia pun mengenal huruf Arab. Guru agama di surau-surau atau kiai di pesantren ikut mempopulerkannya.
Huruf Latin yang digunakan dalam bahasa Indonesia datang agak belakangan. Orang-orang Portugis—lalu Belanda—yang memperkenalkannya kepada orang-orang Indonesia. Sekolah adalah hal baru ketika panglima dan penjelajah Portugis, Antonio Galvao, datang dan menjadi Gubernur Portugis di Maluku.
“Pengenalan kita pada aksara latin dimulai secara resmi pada 1536, yakni melalui sekolah pertama di Indonesia yang didirikan di Ambon oleh penguasa Portugis, Antonio Galvao,” tulis Alif Danya Munsyi—alias Remy Silado—dalam Bahasa Menunjukkan Bangsa (2005).
Ambon yang dimaksud dalam kutipan itu nampaknya tak hanya merujuk pada kota Ambon sekarang, tapi juga daerah-daerah di sekitar Maluku. Koentjaraningrat dalam bukunya Kebudayaan Jawa (1984) juga punya melontarkan hal serupa: “Menurut catatan orang Portugis, sistem pendidikan sekolah Eropa untuk orang Indonesia pribumi sudah ada sejak berdirinya sekolah Katolik Portugis untuk anak-anak kepala desa pribumi di Ternate dalam tahun 1536.”
Baca juga:Belanda Melepas Manhattan demi Pulau Kecil di Maluku
Sekolah di Ternate itu, menurut Th van End dalam Ragi Carita 1 (1987), diperuntukkan “anak-anak Indo-Portugis dan anak-anak Kristen pribumi belajar membaca dan menulis, dan menghafal Katekismus Katolik Roma.” Sekolah itu sama fungsinya dengan madrasah di daerah-daerah Islam. Namun, “beberapa tahun kemudian sekolah ini harus ditutup.”
Atas permintaan orang-orang Kristen di sana, kongsi dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) membuka sekolah pada 1607 di Ambon. Sekolah-sekolah yang ada pun lebih terkait dengan pendidikan agama Protestan yang dianut banyak orang Belanda. Namun di Ambon, yang jadi pusat VOC di Maluku, akhirnya berdiri sekolah guru.
Baca juga:Karena Korupsi, VOC Bubar Saat Jelang Tahun Baru
Menurut van End, sekolah itu didirikan oleh Sebastian Danckaerts pada 1620. “Pun dibukanya sebuah sekolah guru untuk melatih penolong-penolong yang cakap bagi pekerjaan di jemaat dan di sekolah,” tulis Oleh Hendrikus Berkhof dalam Sejarah Gereja.
Di Betawi, sekolah-sekolah bersemangat Kristen juga didirikan oleh pemuda asal Banda berdarah Portugis, Cornelis Senen, pada 1632. Perannya sebagai guru membuat Senen dipanggil Meester. Dari dialah muncul nama Meester Cornelis untuk menyebut kawasan Jatinegara di masa lalu. Namun, tak banyak juga jejak sejarah ihwal keberlangsungan sekolah ini.
Baca juga:Meester Cornelis Babat Alas Jatinegara
Di abad setelahnya, jumlah sekolah bertambah meski tak pesat. “Menjelang bubarnya VOC, pada 1779, diperkirakan murid sekolah tidak melebihi 7.000 orang,” tulis Parakitri Simbolon dalam Menjadi Indonesia: Akar-akar kebangsaan Indonesia (2006). Meski sekolah-sekolah itu berdiri di zaman VOC, “ternyata hampir semua murid tak bisa berbahasa Belanda.” Bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar bagi murid-murid sekolah tersebut.
Setelah VOC bubar, sekolah untuk pribumi non-Kristen muncul di abad ke-19. Menteri jajahan J.C. Baud mengirim nota pada 16 Januari 1845 yang memerintahkan pembangunan sekolah dasar non-Kristen. Ada lima mata pelajaran pokok yang diajarkan, seperti membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi, dan pemetaan.
Pada 1852, terdapat 20 sekolah dasar di pusat keresidenan-keresidenan di Pulau Jawa. Jumlah itu berkembang menjadi 533 sekolah dasar negeri untuk pribumi. Sementara itu, sekolah dasar swasta pribumi saat itu mencapai 611 sekolah.
Baca juga:Sekolah-Sekolah di Zaman Belanda
Di zaman sekolah-sekolah milik pemerintah kolonial berdiri, sekolah-sekolah Kristen yang dikelola zending Protestan maupun missi Katolik juga banyak tersebar di Hindia Belanda. Terutama di Pulau Jawa yang padat penduduknya. Salah satu sekolah Kristen terkenal adalah Christelijke Algemene Middelbare School alias SMA Kristen di Oranje Boulevard (kini Jalan Diponegoro, Jakarta). Lokasinya dekat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Alumnus terkenal sekolah itu adalah Tahi Bonar Simatupang, Ahmad Yani, dan Taswin Natadiningrat. Ketiganya belakangan menjadi jenderal pada Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di kawasan bekas Oranje Boulevard itu, saat ini ada sekolah milik yayasan Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta (PSKD).
Baca juga:Simatupang Mematahkan
Meski di masa kolonial sudah bermunculan sekolah yang mengajarkan baca tulis huruf Latin, termasuk sekolah-sekolah Islam, rupanya pada 1945 hanya sekitar sepersepuluh orang Indonesia saja yang bisa baca-tulis.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Maulida Sri Handayani