tirto.id - Presiden Joko Widodo punya solusi menurunkan harga tiket pesawat setelah menurunkan tarif batas atas 16 persen ternyata tak efektif: mengundang maskapai asing turut beroperasi di udara Indonesia. Harapannya dengan begitu kompetisi akan lebih ketat. Dan agar menang kompetisi, salah satunya adalah menyediakan harga yang lebih murah.
Namun asumsi itu terlalu menyederhanakan masalah. Nawir Messi, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), mengatakan masuknya maskapai asing belum tentu menurunkan harga pesawat jika iklim persaingan usaha tidak diperbaiki.
"Dalam pasar normal, harga pasti turun. Tapi yang dihadapi pasar tidak normal. Yang dihadapi kartel," kata Nawir kepada reporter Tirto, Kamis, (6/6/2019).
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengatakan industri penerbangan terindikasi melakukan kartel--persekutuan di antara produsen produk sejenis dengan tujuan mengontrol produksi, harga dan penjualan, serta monopoli. Salah satu cirinya adalah maskapai kompak menaikkan atau menurunkan harga tiket pada waktu bersamaan.
Ciri lainnya adalah peta persaingan maskapai di Indonesia mengarah ke oligopoli. Mengatakan duopoli juga tidak salah mengingat Garuda Indonesia Grup dan Lion Air Grup kian menjadi penguasa pangsa pasar angkutan udara di Indonesia. Sebelumnya ada Sriwijaya Air Grup. Namun semua berubah ketika Sriwijaya Grup bergabung dengan Garuda Indonesia melalui kerja sama operasi yang sudah dijalin oleh keduanya.
"Kementerian enggak boleh pasang badang bahwa tidak ada kartel. Kapan periksanya? enggak pernah," kata Nawir.
Nawir, yang pernah jadi Ketua KPPU, mengatakan ada kemungkinan maskapai asing akan turut serta dalam kartel sebab itu memang menguntungkan pelakunya. Jika itu yang terjadi, maka harapan adanya kompetisi yang lebih sehat akan hilang.
"Seberapa kuat maskapai asing menahan diri untuk tidak ikut bermain dalam pasar yang keruh? Kalau main dalam pasar yang keruh enggak ada gunanya," tambahnya.
Pengamat penerbangan dari Aviation Consultant CommunicAvia Gerry Soejatman mengatakan hal serupa.
"Mau mengundang maskapai asing masuk pun tidak akan menjadi solusi," kata Gerry kepada reporter Tirto, Senin (3/5/2019) lalu.
Dari segi non-ekonomi, Guru Besar Hukum Internasional dan Hukum Udara Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan pemerintah perlu ekstra hati-hati memberi kesempatan maskapai asing. Sebab, katanya, itu melanggar asas cabotage yang mengharuskan jalur dalam negeri hanya dilayani maskapai dalam negeri.
"Jangan sampai masalah harga tinggi pesawat akan meliberalisasi industri penerbangan nasional," ujar Hikmahanto seperti dikutip dari Antara.
Perlu Kajian
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi sebetulnya pernah menyinggung asas cabotage pada 2017 lalu, dalam konteks pelayaran (transportasi laut). Dia bilang, "kita harus konsisten menerapkan asas cabotage." Sebab, katanya, sebelum ada asas itu "sebagian besar transportasi domestik dilayani oleh kapal-kapal berbendera asing."
Itu membuat usaha angkatan laut terpuruk, kata Budi.
Kalau memang mau, maka maskapai perlu mendirikan perusahaan baru dengan komposisi saham tak lebih dari mitra lokalnya: 49 persen asing dan 51 persen dalam negeri.
Dalam kasus ini, Budi bilang meski ide tersebut pada dasarnya bagus, namun pihaknya tetap akan mengkajinya lebih lanjut.
"Kami tidak dengan mudah menerima perusahaan asing karena transportasi udara perlu kualifikasi baik," kata Budi, Senin lalu.
Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenhub Hengki Angkasawan belum bisa memastikan harga tiket maskapai akan turun atau tidak bila maskapai asing masuk ke Indonesia. Dia bilang sedang mengkaji itu.
"Itu sedang kami telaah. Tunggu pernyataan dari Pak Menteri setelah laporan ke Presiden di hari pertama masuk kerja," kata Hengki.
Sementara dua grup maskapai terbesar di Indonesia, Garuda Indonesia dan Lion Air, enggan memberi komentar soal masalah ini.
"Saya belum bisa berkomentar lebih lanjut," kata Corporate Communications Strategic Lion Air Danang Mandala Prihantoro melalui pesan singkat kepada reporter Tirto.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Rio Apinino