tirto.id - Jane Noomungen Lengope menikah di usia belia dan tinggal di sebuah desa miskin di Kenya bagian Timur, tak jauh dari pangkalan latihan tentara Inggris. Pada suatu hari, di musim semi tahun 1990, seorang tentara Inggris melecehkannya secara seksual saat ia sedang menggembala kambing milik keluarga, demikian ungkapnya pada NBC News.
Namun, alih-alih dukungan moral, suami Lengope justru mengusirnya dari rumah karena dianggap telah mempermalukan nama keluarga. Sanak saudara Lengope juga turut geram. Lengope kian tak berdaya saat warga lain mendesaknya keluar kampung. Selama beberapa bulan Lengope mondar-mandir di desa tetangga bersama anaknya yang masih kecil, bekerja di kebun, membersihkan rumah, mengurus ternak, apapun yang bisa membuatnya dan sang anak bertahan hidup.
Takdir pun mempertemukan Lengope dengan Rebecca Lolosoli. Lolosoli berasal dari Suku Samburu dan punya masa lalu yang sama-sama menyakitkan. Di usia 12 tahun Lolosoli hampir meninggal karena disunat, yang notabene adalah bagian dari tradisi sekitar. Darah Lolosoli terbuang banyak. Untung rumahnya dekat rumah sakit. Setelah dirawat dengan diberikan transfusi darah rutin selama 1 bulan, Lolosoli boleh pulang ke rumah.
Luka fisik Lolosoli memang sembuh, namun trauma di hati membekas selamanya. Lolosoli amat prihatin dengan nasib perempuan di wilayah tempat tinggalnya. Perempuan bak properti laki-laki yang bisa dipakai untuk memuaskan birahi kapan saja. Jika ada kesalahan, pukulan melayang. Kekerasan dalam rumah tangga adalah kejadian yang jamak di Samburu. Keluarga besar biasanya tak bisa mengintervensi karena turut terpasung prinsip patriarki yang mengakar kuat di daerah tersebut.
Baca juga: Kisah Pulau Hukuman dan Aib Hamil di Luar Nikah
“Kami bisa terbunuh kapan saja. Jika suami ingin membunuhmu, dia bisa membunuhmu. Kami tak punya hak untuk memilih calon suami. Kami tak punya hak atas apapun. Kamu tak punya hak untuk hidup secara manusiawi,” katanya kepada awak media Deutsche Welle.
Lolosoli dan Lengope kemudian bertemu dengan 13 perempuan korban perkosaan tentara Inggris, saling berbagi cerita, dan akhirnya sepakat membantuk sebuah desa bernama Umoja Uaso dengan bantuan Kementerian Kebudayaan, Warisan dan Pelayanan Sosial Kenya.
Umoja berasal dari bahasa Swahili yang berarti bersatu. Letaknya dekat Kota Archers Post di Distrik Samburu, 380 kilometer dari ibukota Nairobi, Kenya. Sebidang tanah berhasil dibeli Lolosoli dari pemerintah dan di situ para perempuan dan anak-anak membangun kehidupan sederhana, damai, dan membahagiakan melalui sistem matriarki. Berkat trauma masa lalu yang kemudian dijadikan pembelajaran para penduduk, muncul aturan bahwa laki-laki dari luar desa dilarang untuk tinggal—kecuali anak-anak yang lahir di Umoja.
Perempuan menempati posisi subordinat di masyarakat Samburu. Mereka tak diperbolehkan memiliki lahan, ternak, atau jenis properti lainnya. Seperti Lolosoli, sebagian dari mereka juga menjadi korban tradisi sunat perempuan—yang kerap diistilahkan sebagai mutilasi alat kelamin perempuan (Female Genital Mutilation/FGM), pernikahan paksa dengan lelaki yang jauh lebih tua, perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan pelecehan atau kekerasan seksual lainnya.
Kehadiran tentara Inggris di Samburu turut membuat situasinya makin berbahaya. Pada awal 1990-an ada lebih dari 600 laporan dan perempuan Kenya yang diperkosa oleh tentara Inggris. Perempuan-perempuan malang ini kemudian diusir dari rumahnya karena dianggap telah mencoreng nama keluarga. Para tentara yang merenggut keperawanan mereka, tak ada yang mau mengawini. Pengusiran juga didasarkan tuduhan bahwa para korban berpotensi menularkan penyakit seksual.
Baca juga: Jejak Suram Kejahatan Seksual Pasukan Penjaga Perdamaian
Dua tahun lalu Guardian mendapatkan cerita salah satu penduduk Umoja bernama Jane yang menjadi korban pemerkosaan seorang tentara berpakaian Gurkha. Saat itu ia sedang menggembala kambing dan domba suaminya sembari mengumpulkan kayu bakar. Tiba-tiba ia diserang oleh pelaku dan Jane tak bisa berbuat apa-apa.
“Aku merasa sangat malu dan tak mampu menceritakannya ke orang lain. Mereka akan melakukan hal buruk padaku,” katanya kepada awak Guardian, Julie Bindel.
Bindel kemudian ditunjukkan luka-luka di kaki Jane akibat terdorong ke bebatuan tajam saat sedang diperkosa. Ia terpaksa berbohong kepada ibu suaminya soal dari mana ia mendapatkan luka yang cukup dalam itu. Ia juga tak mampu mengungkap trauma dalam rangkaian kata. Meski sudah diberi obat tradisional pun lukanya tak kunjung sembuh.
“Saat aku menceritakan kejadian pemerkosaan yang kualami kepada suamiku, ia memukuliku dengan sebilah tongkat. Akhirnya aku kabur bersama anakku (ke Umoja),” kata Jane.
Baca juga: Pelaku Kekerasan Seksual Terbanyak adalah Orang Dekat Korban
Umoja akhirya dijadikan tujuan akhir bagi para perempuan korban kekerasan seksual untuk memulai hidup baru. Umoja juga jadi tempat tumbuh dan berkembang anak yatim piatu, anak terlantar, dan anak-anak penderita HIV yang dimarjinalisasi keluarganya sendiri karena dinilai mencemarkan nama baik. Perempuan korban perang dari Distrik Turkana di dekat perbatasan Uganda, Sudan Selatan, dan Etiopia pun mencari ketenangan di Umoja sementara kaum lakinya sibuk berperang satu sama lain.
Meski tak ada laki-laki dewasa di Umoja, bukan berarti para perempuan di desa tersebut mengisolasi diri 100 persen dari laki-laki. Laki-laki kerap didatangkan untuk bekerja menggembala ternak, memasang pagar berduri, dan kegiatan-kegiatan lain yang secara tradisional tidak dilakukan perempuan. Selain perkara tenaga tambahan, perempuan Umoja juga masih punya kebutuhan khusus untuk dipenuhi sebagaimana perempuan heteroseksual lainnya.
“Para perempuan disini tidak berkata mereka sama sekali tak membutuhkan pria. Perempuan juga manusia dan punya kebutuhan khusus. Namun pria datang ke Umoja dalam periode yang singkat, lalu mereka pergi. Pria-pria itu datang sebagai pacar, itu saja, tak lebih.” kata Beatrice, guru sekolah lokal, kepada New York Times.
Akibat tak ada perceraian formal di kultur Samburu, suami-suami yang pernah menelantarkan istrinya itu kadang datang ke Umoja dan meminta mantan istrinya kembali ke rumah. Si mantan istri menolak, kemudian terjadi perselisihan fisik. Jika sudah demikian, pihak perempuan akan melapor ke otoritas setempat.
“Kadang ada laki-laki yang datang untuk memukuli istrinya. Si laki-laki menyaksikan si perempuan mampu mandiri dalam menghasilkan uang dan mengenakan pakaian yang bagus. Si perempuan selalu mengusirnya. Kau harus melihat ekspresi wajahnya saat si perempuan bilang 'aku enggak butuh kamu lagi',” ungkap Lolosoli.
Baca juga: Darurat Kejahatan Seksual di Kampus
Lucunya, para laki-laki yang tak terima dengan eksistensi Umoja kemudian mendirikan desa tandingan, tak jauh dari Umoja, yang 100 persen berisi laki-laki. Mereka sempat mencoba bersaing dengan bisnis menggaet turis, namun gagal. Akibat frustasi dan iri dengan kesejahteraan di Umoja, dikutip dari Telegraph, pada 2005 gerombolan laki-laki ini sempat meneror warga Umoja dengan berkeliling sekitar desa dan mengintimidasi serta memukuli warga desa saat ada kesempatan. Untung kejadiannya tak berlangsung lama. Kedamaian di Umoja segera pulih dan terjaga hingga kini.
Pada tahun 2005 populasi Umoja berjumlah 30 perempuan dewasa dan 50 anak-anak. Sepuluh tahun berselang jumlahnya mencapai 47 perempuan dewasa dan 200 anak-anak. Hal ini menunjukkan bahwa keberlangsungan hidup yang berkecukupan di Umoja bukan klaim sepihak belaka. Secara ekonomi mereka mandiri lewat bisnis kerajinan tradisional Suku Samburu yang dijual di Pusat Kebudayaan Perempuan Umoja Umaso. Tiap 10 persen dari keuntungan disumbangkan untuk pajak pengelolaan kebutuhan pokok desa, khususnya sekolah.
Di masyarakat tradisional, anak-anak biasanya ditugaskan untuk menggembala kambing atau tugas lainnya, termasuk pekerjaan-pekerjaan domestik untuk yang perempuan. Tapi di Umoja seluruh anak-anak justru diwajibkan untuk bersekolah. Ada sekolah dasar di desa yang bisa menampung hingga 50 peserta didik. Dari laporan Daily Beast diketahui bahwa hasil dari penjualan kerajinan yang ditabung sejak 2010 kini dipakai untuk membangun sekolah keperawatan. Di sekolah inilah anak-anak Umoja diajarkan tentang hak-hak perempuan hingga kampanye anti-sunat perempuan.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf