Menuju konten utama

Ukraina Menuju Uni Eropa

Meskipun baru diberi status kandidat anggota Uni Eropa beberapa hari lalu, aspirasi Ukraina untuk bergabung sudah ada sejak dekade 1990-an.

Ukraina Menuju Uni Eropa
Logo Uni Eropa. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A

tirto.id - Pada 28 Februari 2022, empat hari setelah negaranya diinvasi Rusia, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky resmi mengajukan aplikasi pendaftaran sebagai anggota Uni Eropa. Berselang beberapa bulan, tepatnya 22 Juni silam, status mereka naik jadi kandidat anggota.

Beberapa manfaat ikut Uni Eropa adalah dipermudah memindahkan modal, komoditas, dan sumber daya manusia di antara anggota sehingga aktivitas bisnis serta dagang berjalan semakin mulus. Praktik pasar bebas ini diharapkan dapat mewujudkan pertumbuhan dan stabilitas ekonomi anggota.

Singkat kata, masuk Uni Eropa bersinonim dengan jalan menuju kemakmuran (hal yang tidak diamini oleh 52 persen warga Inggris Raya yang mendukung Brexit).

Tapi menjadi anggota Uni Eropa bukan hanya sekadar menerima. Para anggotanya juga diharapkan dapat menyelaraskan diri dengan “jalan hidup khas orang Eropa.” Maksudnya, ikut menjunjung nilai-nilai kemanusiaan seperti HAM, kebebasan, dan demokrasi.

Uni Eropa berbeda dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO. Uni Eropa bukanlah aliansi militer untuk mempertahankan diri atau melakukan serangan—yang selama ini digembar-gemborkan sebagai momok oleh otoritas Rusia. Menimbang konteks tersebut, tak mengherankan pertengahan Juni kemarin Presiden Rusia Vladimir Putin merespons prospek keanggotaan Ukraina dengan santai.

“Kami tidak keberatan. Setiap negara berhak untuk bergabung dengan persekutuan ekonomi,” katanya.

Meski salah satu pangkal ketakutan Kremlin adalah demokratisasi Ukraina, namun Putin pribadi tampaknya tidak terlalu khawatir hal itu akan segera terwujud karena proses sampai resmi jadi anggota disinyalir akan memakan waktu lama, bisa memakan waktu bertahun-tahun, dan penuh tantangan.

Putin juga sanksi apakah negara Uni Eropa berkenan menggelontorkan subsidi untuk anggota barunya kelak—yang tentu butuh banyak untuk perbaikan ekonomi dan infrastruktur yang luluh lantak akibat perang. Kerugiannya diperkirakan bakal mencapai 600 miliar dolar AS. Sebagai pembanding, proses pemulihan ekonomi 17 negara Eropa pasca-Perang Dunia II yang dibantu oleh pemerintah Amerika Serikat lewat Marshall Plan nilainya sebesar 13 miliar dolar atau dalam kurs sekarang mencapai 150 miliar dolar.

Mungkin karena itu pula, berdasarkan amatan New York Times, perkara Ukraina jadi anggota Uni Eropa tidak menjadi isu utama yang disorot media Rusia. Topik tersebut kalah menarik daripada pembahasan tentang bagaimana Ukraina sekarang bisa bertahan hidup dan kelak selamat dari gempuran invasi Rusia.

Perjalanan Panjang Marak Perdebatan

Agar bisa bergabung ke Uni Eropa, negara kandidat harus memenuhi beragam syarat administratif, termasuk mereformasi sistem hukum dan ekonomi. Diperlukan pula kesepakatan dari seluruh negara anggota agar dapat meneruskan setiap langkah.

Prosesnya memakan waktu lama. Rumania, Bulgaria, dan Kroasia butuh lebih dari sepuluh tahun sampai resmi jadi anggota. Rekor tercepat dipegang Finlandia dan Swedia, itu pun mencapai tiga tahun.

Saat ini ada beberapa negara yang masih juga berstatus kandidat meski telah mengajukan diri sejak satu-dua dekade terakhir. Misalnya negara-negara Balkan pecahan Yugoslavia, yakni Montenegro (diangkat sebagai kandidat pada 2010) dan Serbia (2012). Proses negosiasi untuk keanggotaan Macedonia Utara, yang mengajukan diri pada 2005, dan Albania (2014) bahkan belum dimulai.

Dalam kasus Macedonia Utara, proses negosiasi terganjal veto dari salah satu negara anggota, Bulgaria, gara-gara perdebatan budaya. Macedonia dianggap mengabaikan ikatan kultural-historis dengan Bulgaria terutama soal bahasa.

Tentu belum diketahui pasti bagaimana negosiasi Ukraina kelak. Namun, yang pasti, sejauh ini mereka mendapat dukungan kuat dari negara besar seperti Prancis, Jerman, dan Italia. Presiden Uni Eropa Ursula von der Leyen pun demikian. “Kami semua tahu rakyat Ukraina siap mati demi perspektif Eropa. Kami ingin mereka hidup bersama kami dalam impian Eropa,” katanya.

Dukungan juga datang dari media propasar The Economist.Menurut mereka, dengan membuka pintu, secara simbolis Ukraina diakui sebagai negara Eropa berdaulat yang tidak berbeda dari negara semapan Jerman, Prancis, atau Finlandia. Sebaliknya,penolakan dikhawatirkan akan memperkuat fantasi Putin bahwa negeri tersebut harus masuk dalam lingkup pengaruh Kremlin.

Media propasar lain, Financial Times, menyampaikan hal senada, bahwa penolakan akan jadi bukti bahwa Ukraina tidak dianggap sebagai bagian dari “keluarga” Eropa. Akibatnya, semakin kuatlah pandangan Kremlin tentang perpecahan dan ketidaktegasan para pejabat Uni Eropa.

Ada pula pihak yang tak sepakat Ukraina jadi bagian Uni Eropa. Pakar teori politik Hans Kribbe dan Luuk van Middelaar mengatakan Uni Eropa sama sekali tak menjawab prioritas saat ini, yaitu menjamin keamanan dari Rusia. Memang betul Uni Eropa punya klausa terkait pertahanan kolektif, namun konteksnya lebih ke solidaritas, seperti dalam kasus serangan teroris atau bencana alam, alih-alih perlindungan dari serangan militer atau nuklir sebagaimana misi NATO.

Faktor keamanan itulah, kata Kribbe dan Middelaar, yang jadi penjelasan di balik keputusan Polandia dan negara-negara eks-anggota Pakta Warsawa (NATO-nya Uni Soviet) masuk ke NATO terlebih dahulu sebelum bergabung ke Uni Eropa. Jaminan perlindungan dari NATO jugalah yang jadi alasan Finlandia dan Swedia, dua negara Uni Eropa yang selama ini cenderung santai dalam urusan pertahanan dan militer, untuk mendaftar ke aliansi tersebut.

“Apabila Ukraina mau bergabung ke Uni Eropa tanpa ada penangkal NATO, risiko perang di masa depan antara Rusia dan Uni Eropa justru meningkat,“ tulis mereka. Masalahnya, masa depan bergabung ke NATO cukup suram. Presiden Zelensky bahkan mengatakan itu tidak mungkin terwujud sekarang.

Risiko inilah yang ditanggung Uni Eropa ketika mereka memberikan status kandidat anggota kepada Ukraina, juga Moldova, negara eks-Soviet berpopulasi 3,5 juta jiwa yang waswas konflik bisa sampai negara mereka.

Berminat Sejak 1990-an

Minat Ukraina untuk bergabung dengan Uni Eropa bisa ditelusuri sejak paruh kedua dekade 1990-an, papar Kataryna Wolczuk dalam studi berjudul “Integration Without Europeanisation: Ukraine and its Policy Towards the European Union” (2004). Itu berarti tak lama setelah merdeka dari Uni Soviet.

Menjadi anggota Uni Eropa bahkan menjadi tujuan strategis presiden kedua Ukraina pascakemerdekaan Leonid Kuchma. Hal ini ia katakan pada 2006. Dua tahun kemudian, Kuchma mengesahkan dekrit tentang integrasi Ukraina ke Uni Eropa sebagai strategi jangka panjang. Ini jadi pernyataan resmi pertama tentang keseriusan Ukraina bergabung ke Uni Eropa. Semenjak itulah mereka mengembangkan kerangka kebijakan untuk mencapainya.

Akan tetapi, kata Wolczuk, langkah tersebut tidak diiringi dengan usaha-usaha untuk mengatasi permasalahan di tingkat aparatur negara seperti inefisien dan korup. Reformasi administratif ini terkesan diundur-undur, disinyalir berkaitan dengan keengganan elite politik untuk melakukan perubahan.

Di sisi lain, juga ada kecenderungan Uni Eropa membatasi diri. Cerita dimulai pada 2003, ketika Komisi Eropa mengeluarkan proposal “Wider Europe” yang membahas prospek relasi Uni Eropa dengan negara-negara lain yang masih berbagi daratan—merujuk pada Ukraina, Moldova, Belarusia, dan Rusia. Mereka sebelumnya sudah terdaftar sebagai Commonwealth of Independent States (CIS), persekutuan ekonomi pimpinan Rusia beranggotakan negara-negara eks-Soviet dan Asia Tengah.

Isi proposalnya menyarankan Brussel agar mengajak para anggota CIS di atas untuk berintegrasi atau membaur dengan Uni Eropa melalui kerja sama ekonomi dan politik tanpa perlu melakukan reformasi agar memiliki “kesamaan nilai-nilai”. Pendek kata, mereka dicegah—atau dianggap tidak perlu—jadi anggota Uni Eropa. Padahal, dilansir dari RFE/RL, Ukraina dan Moldova jelas-jelas berminat jadi anggota, sementara Belarusia tidak tertarik, dan Rusia merasa cukup dengan integrasi.

Inisiatif ini juga dikritik karena menyamakan mereka dengan negara-negara di Afrika Utara dan Timur Tengah, yang secara geografis memang tidak terletak di daratan Eropa sehingga bisa dipahami jika aplikasi pendaftarannya ditolak (contoh: Maroko pada 1987).

“Wider Europe” malah mempromosikan standar ganda karena tidak berlaku pada negara-negara di sisi barat Balkan. Turki, misalnya, disambut dengan tangan terbuka sebagai kandidat meski lokasinya relatif lebih jauh.

Mengapa ini semua terjadi? Kutipan pendek dari editor The Guardian Ian Black merangkum itu dengan baik. Menurutnya, mereka semua “dipandang terlalu miskin, tidak demokratis, atau memang berbeda saja.”

Infografik Ukraina ke Uni Eropa

Infografik Ukraina ke Uni Eropa. tirto.id/Fuad

Ukraina baru menarik perhatian Eropa setelah Revolusi Oranye pada pengujung 2004. Kala itu, rakyat memprotes kecurangan pemilu yang memenangkan kandidat sokongan Kremlin, Viktor Yanukovych. Kursi presiden lantas diduduki oleh rivalnya, seorang tokoh reformis antikorupsi. Meskipun beberapa tahun kemudian Yanukovych kembali berkuasa, ia berhasil dilengserkan lagi pada 2014 dalam Revolusi Maidan. Kejatuhan Yanukovych dipicu oleh keputusannya untuk membatalkan rencana kerja sama dagang dengan Uni Eropa dan memilih mendekat ke Kremlin.

Semenjak itu pemerintahan Ukraina yang pro-Eropa terus mengupayakan beragam reformasi sesuai arahan Uni Eropa—dari pemberantasan korupsi, reformasi terkait pengadilan, sistem pemilu, sektor bisnis, iklim dan energi, sampai administrasi publik.

Tentu semua tak langsung beres. Misalnya soal korupsi. Menurut Transparency International, pada 2021 lalu indeks persepsi korupsi Ukraina berada di urutan ke-122 dari 180 negara, sejajar dengan sejumlah rezim kediktatoran di Afrika. Skor ini menunjukkan tren membaik dalam satu dekade terakhir meski tetap saja masih di bawah negara Uni Eropa lain (Bulgaria, yang terendah, berada di urutan ke-78).

Apa pun hasilnya, upaya-upaya di atas telah membuat Ukraina menerima imbalan menguntungkan. Sepanjang 2014-2021, Uni Eropa dan lembaga keuangannya sudah menggelontorkan 17 miliar euro untuk Ukraina dalam bentuk dana hibah dan pinjaman. Warganya pun dapat keluar-masuk tanpa visa.

Baca juga artikel terkait UNI EROPA atau tulisan lainnya dari Sekar Kinasih

tirto.id - Politik
Penulis: Sekar Kinasih
Editor: Rio Apinino