tirto.id - “Selamat datang di Dharavi, kawasan kumuh terbesar di Asia. Nama saya Ravi dan saya pemandu kamu hari ini”
Jangan kaget. Ravi, sang pemandu wisata bukan akan menyuguhkan keindahan yang akan memanjakan mata bagi peserta tur di Mumbai, India. Ravi akan membawa para tamunya berjalan kaki mengelilingi lokasi-lokasi kumuh yang bisa sangat tidak biasa.
Ini memang tur wisata kumuh. Konsep wisata ini sebenarnya sudah ada sejak abad ke-19 dan masih menjadi daya tarik orang-orang hingga abad ke-21. Kegiatan ini juga biasa disebut “Poverty tourism”, “poorism”, “slum tourism”, “favela tours”, “township tours” atau juga “reality tours”
Apapun namanya, wisata alternatif ini ternyata menarik penggemarnya tersendiri. Setiap tahun peminatnya bertambah. Ada yang memang ingin bepergian untuk melihat dunia yang “sesungguhnya”. Namun, wisata ini juga menimbulkan kontroversi. Ada yang menganggapnya mengeksploitasi kemiskinan.
Menuai Kontroversi
“Ini melecehkan orang miskin. Orang miskin seperti sebuah pertunjukan di kebun binatang,” kata Wardah Hafidz, pendiri Urban Poor Consortium (UPC) dikutip dalam sebuah wawancara dengan BBC. Ia menanggapi wisata kumuh yang tersebar beberapa lokasi di Jakarta.
Paket wisata Jakarta Hidden Tour antara lain kawasan Kota dan Pasar Ikan, Luar Batang, lokasi ini sudah digusur beberapa bulan lalu. Selain itu ada lokasi Galur di Senen, Jakarta Pusat, dan kawasan kumuh di bantaran Sungai Ciliwung, termasuk Kampung Pulo.
Reaksi Wardah ini mungkin mewakili kebanyakan orang ketika mendengar tentang wisata kumuh. Maklum saja, wisata identik dengan kegiatan yang melihat pemandangan yang menyedapkan mata atau membuat nyaman para pelancong. Kekumuhan kebanyakan dianggap sebagai sesuatu yang tidak biasa disajikan, bahkan jika perlu disembunyikan, ditutup-tutupi dari khalayak umum.
Namun, bagi Ronny Poluan, penyelenggara Jakarta Hidden Tour, ada filosofi di balik wisata kumuh ini. Menurutnya adanya pelancong yang berkeliling di kawasan kumuh akan memberikan perspektif baru bagi mereka. Kegiatan ini menjadi ajang pertemuan manusia lintas kelas, ras, dan bangsa.
“Saya punya ide ingin mempertemukan orang dengan orang lainnya,” kata Ronny, yang menggagas wisata kumuh ini sejak 2008.
Apa yang disampaikan Ronny ada benarnya. Bisa dibayangkan seorang petinggi eksekutif perusahaan multinasional atau artis dunia, sangat kecil peluangnya bisa bertemu langsung oleh masyarakat kelas bawah di kalangan kumuh bila tak ada acara semacam ini.
Apakah sampai di situ? Beberapa kegiatan wisata kumuh memang dibarengi dengan pemberian bantuan ala kadarnya oleh para turis asing yang melancong. Beberapa penyelenggara atau operator di dunia menyisihkan sebagian pendapatan untuk si miskin di lokasi objek wisata mereka. Namun, apakah bantuan itu menjadi esensi kegiatan ini? Tentu tidak.
Bagi pemerintah, termasuk Indonesia, kegiatan wisata kumuh memang menohok. Beberapa tahun lalu, saat menteri pariwisata di bawah Jero Wacik, keberadaan penyelenggaraan wisata ini sempat dipertanyakan pemerintah. “Itu tidak ada wisata kemiskinan. Kalau ada orang yang menggagas itu saya tidak setuju. Itu menghina kita,” kata Jero Wacik di Istana Presiden 2010 lalu.
Teriakan pemerintah hanya angin lalu bagi penyelenggara wisata kumuh seperti Ronny dan kawan-kawannya. Hingga kini peminat Jakarta Hidden Tour tetap ada. Jakarta hanya salah satu titik dari berbagai titik tempat wisata kumuh di dunia seperti Rio de Janeiro, Mexico City, Cape Town, Johannesburg, Kairo, dan Mumbai. Sebanyak 40.000 orang datang ke kawasan kumuh di Rio de Janeiro setiap tahun. Jumlah ini belum seberapa, di Cape Town, pelancong wisata kumuh bisa mencapai 300.000 orang datang setiap tahun.
Sebaran Wisata Kumuh
Ronny hanyalah sebagian kecil dari “operator” penyelenggara wisata kumuh di seluruh dunia. Tiga tahun sebelum Ronny mengorganisir penyelenggara wisata kumuh di Jakarta, di Mumbai India ada sosok Krishna Pujari yang kurang lebih melakukan hal yang sama. Pujari bersama Chris Way mendirikan Reality Tours & Travel pada 2005.
Bedanya, kawasan wisata kumuh yang dikelola Reality Tours & Travel jauh lebih besar dari Jakarta. Ada kawasan kumuh Dharavi yang menampung satu juta orang dengan kawasan yang sempit dan berdesak-desakan.
Dharavi tak hanya sebuah perkampungan kumuh. Menurut laporan wanderlust.co.uk, kawasan ini menjadi tempat barang-barang daur ulang untuk diolah ke industri-industri besar, seperti bahan plastik hingga logam. Setiap tahun omzet “industri” di kawasan ini diperkirakan mencapai 665 juta dolar AS setara dengan 7 persen ekonomi Kota Mumbai.
Wisata kumuh di India sudah menjadi salah satu penopang ekonomi. Namun, India bukanlah perintis dari wisata kumuh ini. Cape Town di Afrika Selatan merupakan titik perintis pertama kegiatan pariwisata di akhir abad ke-20. Tercatat ada 40-50 operator wisata kumuh di Cape Town.
Pesona wisata kumuh Cape Town ini cukup populer, mampu menyedot 25 persen dari wisatawan asing yang datang ke Afrika Selatan. Ini dikarenakan masa lalu Afrika Selatan yang cukup kelam. Politik apartheid di Afrika Selatan 1948-1994 telah banyak melahirkan kemiskinan warga kota termasuk di Cafe Town.
Wisata kumuh juga ada di Brazil. Media tourismconcern.org.uk menulis soal kawasan kumuh terbesar di Brazil bernama Rocinha di Kota Rio de Janeiro. Kawasan ini setiap bulan didatangi oleh 3.500 wisatawan.
Ada sekitar 200.000 orang tinggal di kawasan ini. Kegiatan wisata kumuh di sini dianggap tak memberikan manfaat. Para operator penyelenggara sebagai pihak yang mendapatkan keuntungan dari kegiatan ini. Masyarakat kumuh hanya diuntungkan dari penjualan souvenir kepada turis yang datang.
“Pariwisata hanya menguntungkan bagi mereka yang menjual kekumuhan,” kata president of Rocinha’s community association (UPMMR) Leonardo Rodrigues Lima.
Pariwisata kawasan kumuh memang mengundang pro dan kontra. Tidak ada yang salah dengan wisata ini. Merujuk terminologi saja, pariwisata berasal bahasa sansekerta “pari” berarti berkeliling atau bersama, dan suku kata “wisata” berarti perjalanan. Artinya tak ada keharusan seseorang yang melakukan pariwisata ke tempat-tempat yang indah dan nyaman. Yang penting melakukan perjalanan bersama-sama. Tak peduli itu ke tempat yang indah ataupun kumuh.
Bagi penyelenggara, wisata kumuh bisa jadi ajang mencari uang atau juga bisa jadi tujuan mulia memberikan kesadaran publik soal realita kemiskinan. Berwisata adalah pilihan bagi pelakunya. Namun, pilihan terbaik adalah tak hanya menjadi penonton terhadap realita kemiskinan yang ada dalam wisata kumuh. Wisata ini memang kontroversial, tapi konsep ini mampu menyedot banyak orang dari berbagai negara.