Menuju konten utama

Tuntutan Rendah Penyerang Novel Bukti Kemunduran Agenda Antikorupsi

Tuntutan rendah dua penyerang Novel Baswedan mencederai rasa keadilan di Indonesia.

Tuntutan Rendah Penyerang Novel Bukti Kemunduran Agenda Antikorupsi
Terdakwa kasus penyiraman air keras kepada penyidik KPK Novel Baswedan, Ronny Bugis (tengah) meninggalkan ruangan usai menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis (19/3/2020). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/wsj.

tirto.id - Novel Baswedan meradang. Dua pelaku yang membuat kemampuan melihatnya berkurang drastis hanya dituntut pidana setahun penjara.

Tuntutan itu tak sebanding dengan kerusakan permanen di bola mata kiri akibat perbuatan pelaku menyiram air keras ke wajah Novel Baswedan pada sebuah Subuh, tiga tahun silam.

Di akun sosial medianya @nazaqistha ekspresi kegeraman Novel terungkap. Dengan satire Novel mencuit, tuntutan ringan itu adalah ‘prestasi’ aparat penegak hukum era Presiden Joko Widodo.

Novel pantas geram. Selama bertugas di KPK, Novel kerap membongkar mafia hukum. Kini baginya peradilan itu justru tak adil sejak dari penyidikan kasus.

Terutama pelakunya Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette adalah anggota Polri, tempat Novel pernah jadi perwira polisi via Akpol, lulus 1998. Pangkat terakhir Novel adalah Komisaris Polisi (melati satu) pada 2014 saat memutuskan mundur dari Polri dan memilih berkarir sebagai penyidik KPK.

"Selain marah, saya juga miris karena itu menjadi ukuran fakta sebegitu rusaknya hukum di Indonesia. Bagaimana masyarakat bisa menggapai keadilan? Pemerintah tak pernah terdengar suaranya," kata Novel, Kamis (11/6/2020).

Alasan Tuntutan Rendah

Rendahnya tuntutan jaksa berkaitan dengan pembuktian dakwaan. Menurut Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejati DKI Jakarta, Ahmad Patoni dakwaan primer Pasal 355 KUHP tak terbukti. Pasal ini ancaman hukumannya maksimal 12 tahun bui dengan catatan penganiayaan berat terencana.

"Jadi gini Pasal 355 [dakwaan primer] dia harus mempersiapkan untuk melukai orang itu sudah ada niat dari awal. Sedangkan di fakta persidangan dia tidak ada niat untuk melukai," kata Patoni seperti dilansir Antara.

Menurut Patoni, dakwaan subsider terbukti lewat Pasal 353 ayat 2 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Pasal 353 ayat 2 berisi ancaman pidana penjara maksimal tujuh tahun bagi pelaku penganiyaan berat terencana.

Patoni menambahkan kedua pelaku awalnya ingin menyiram badan Novel tapi ternyata mengenai mata.

"Maka kemudian pasal yang tepat adalah di Pasal 353 soal perencanaan, penganiayaan yang mengakibatkan luka berat. Berbeda dengan pasal 355, kalau pasal 355 dari awal sudah menargetkan dan dia lukai tuh sasarannya, sedangkan ini dia tidak ada [niat] untuk melukai," ungkap Patoni.

Alasan lain mengapa pelaku berhenti di dua orang, Patoni mengklaim tak ada perintah dari siapapun berkaitan penyiraman Novel.

Motif dari pelaku adalah kebencian terhadap Novel karena menghancurkan institusi Polri.

"Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman air keras ke Novel Baswedan tapi di luar dugaan ternyata mengenai mata Novel Baswedan yang menyebabkan mata kanan tidak berfungsi dan mata kiri hanya berfungsi 50 persen saja artinya cacat permanen sehingga unsur dakwaan primer tidak terpenuhi," kata Patoni.

Jaksa menilai, permintaaan maaf dan sikap kooperatif pelaku dalam persidangan memperingan tuntutan menjadi hanya setahun penjara.

Kronologi Kasus Novel Baswedan

Novel Baswedan mengalami serangan saat fajar usai menunaikan salat Subuh di Masjid Jami Al Ihsan, Kelapa Gading, Jakarta Timur pada 11 April 2017. Dari rumah ke masjid dan sebaliknya, Novel berjalan kaki karena masih satu kompleks.

Dalam perjalanan pulang, ada dua pelaku menyiramkan air keras ke wajah Novel Baswedan. Sejak saat itu, tak satu pun tahu siapa pelakunya.

Pada 2018, polisi berhasil membuat sketsa wajah penyerang Novel Baswedan. Hingga tutup tahun, pelakunya masih gelap.

Pada 2019, Polri, saat itu masih dipimpin Tito Karnavian (sekarang Menteri Dalam Negeri), membentuk tim pakar beranggotakan 65 orang dengan masa kerja 8 Januari-9 Juli. Tim bentukan Tito gagal menangkap pelaku.

Tim pencari fakta itu justru dikritik karena hanya fokusnya di luar pencarian pelaku, melainkan penggalian berbagai motif penyerangan. Setelah tim pencari fakta bubar, dilanjutkan tim teknis selama tiga bulan. Hasilnya juga nihil.

Bertepatan dengan pergantian pimpinan Polri dari Tito ke Idham Aziz pada 1 November 2019 mulailah ada titik terang. Persisnya terjadi penangkapan penyiram Novel Baswedan pada 27 Desember 2019.

Tak perlu waktu lama untuk mengubah keadaan. Setelah penangkapan dilanjutkan penyidikan dan peradilan, kedua pelaku justru dituntut rendah.

Desakan Tim Pencari Fakta Independen

Tuntutan jaksa dinilai telah mencederai rasa keadilan di Indonesia. Novel Baswedan kini menanggung seumur hidup atas perbuatan pelaku.

Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid menyebut pelaku kunci harus diungkap karena penyerangan Novel telah mengancam agenda pemberantasan korupsi dan penegakkan HAM di masa depan.

“Kasus-kasus high-profile yang menyasar pembela HAM seperti penyerangan Novel ini mengingatkan kita akan kasus Munir, motif yang terungkap di pengadilan juga sama, dendam pribadi. Ada kesan kasus dipersempit dengan hanya menjaring pelaku di lapangan, bukan otaknya,” ujar Usman, kemarin.

Tim Advokasi Novel Baswedan, Kurnia Ramadhana menilai peradilan seolah-olah sandiwara. Ia mendesak kepada Presiden Joko Widodo untuk membentuk tim pencari fakta independen. Tim pencari fakta terdahulu tidak berhasil menemukan siapa pelakunya.

“Kami juga minta Komisi Kejaksaan menindaklanjuti temuan peradilan dan memeriksa jaksa,” ungkapnya.

Baca juga artikel terkait SIDANG KASUS NOVEL BASWEDAN atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Hukum
Reporter: Zakki Amali
Penulis: Zakki Amali
Editor: Abdul Aziz