tirto.id - Amerika Serikat (AS) menarik sementara pasukan militernya dari Libya pada Minggu (7/4/2019) karena situasi ibu kota Tripoli yang semakin memanas. Jenderal Korps Marinir Thomas Waldhauser selaku Kepala Komando AS, mengakui bahwa situasi di negara yang terletak Afrika bagian utara tersebut memang terkadang tak terduga sejak pecahnya perang saudara
“Realitas keamanan di lapangan di Libya tumbuh semakin kompleks dan tidak dapat diprediksi. Bahkan dengan penyesuaian pasukan, kami akan terus gesit dalam mendukung strategi AS yang ada,” kata Waldhauser, dilansir AP News.
Pasukan AS telah berada di Libya dalam beberapa tahun terakhir untuk membantu pasukan lokal. Selain itu, AS juga memberikan dukungan militer untuk misi diplomatik, kegiatan kontra-terorisme, dan meningkatkan keamanan regional.
Kolonel Chris Karns, Juru Bicara Komando AS di Afrika, menegaskan bahwa pergerakan pasukannya tidak akan mempengaruhi kemampuan untuk menanggapi ancaman dan target. Namun, ia tetap merahasiakan strategi yang akan diterapkan.
“Untuk alasan keamanan, saya tidak akan menentukan di mana pasukan ini akan mengalir," elak Karns, diwartakan oleh CNN.
"Ini adalah penting (bahwa) kelompok seperti ISIS tidak memiliki peta yang tepat tentang keberadaan kami, tetapi sebaliknya kami menggunakan sumber daya kami yang terbatas di benua itu untuk menyesuaikan dengan cepat, efisien, dan menggunakan efek maksimum,” bebernya.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompe, mendesak faksi-faksi di Libya untuk kembali dalam perundingan. Ia meminta kepada Kepala Angkatan Darat Nasional Libya, Khalifa Haftar, agar tidak melanjutkan operasi militer. Haftar saat ini masih memimpin pasukannya untuk mengusir milisi dari Tripoli.
“Tidak ada solusi militer untuk konflik Libya. Kami telah menjelaskan bahwa kami menentang serangan militer oleh pasukan Khalifa Haftar dan mendesak penghentian segera operasi militer ini terhadap ibu kota Libya,” sebut Pompe dikutip dari AP News.
Pertempuran terjadi pada Minggu (7/4/2019) di bandara berjarak 24 kilometer dari pusat kota Tripoli. Haftar mengklaim telah menguasai bandara yang pernah hancur karena pertempuran pada 2014 itu.
Pekan lalu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres berada di Benghazi, kota terbesar kedua di Libya, untuk melakukan pembicaraan dengan Haftar dalam upaya membuat perjanjian perdamaian internasional. Namun, proposal Guterres ditolak.
Editor: Iswara N Raditya