Menuju konten utama

Trend Asia: UU Cipta Kerja Langgengkan Perusakan Lingkungan

Pengesahan ini dinilai sebagai cara pemerintah memberi subsidi paling baru bagi industri batu bara dan mengunci Indonesia dalam laju kenaikan emisi.

Trend Asia: UU Cipta Kerja Langgengkan Perusakan Lingkungan
Suasana bongkar muat batu bara di Balikpapan, Kalimantan Timur, Jumat (7/10/2022). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/nym.

tirto.id - Pengesahan Perppu Cipta Kerja, yang sudah disetujui menjadi undang- undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dinilai sebagai upaya dalam melanggengkan perusakan lingkungan oleh negara dan oligarki. Salah satunya yang tertuang pada pasal 128A.

Juru Kampanye Trend Asia Novita Indri menuturkan, dalam pasal 128A berisi soal royalti nol persen kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUP/IUPK) yang melakukan pengembangan atau pemanfaatan batu bara.

Pasal ini telah disisipkan di antara pasal 128 dan pasal 129 dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara. Artinya, royalti nol persen ini akan dinikmati bila perusahaan besar batu bara melakukan proyek peningkatan “nilai tambah” semu melalui kegiatan hilirisasi seperti gasifikasi batu bara.

“Padahal hilirisasi seperti gasifikasi batu bara berpotensi akan menjadi proyek yang merugikan keuangan negara. Selain itu, penggunaan batu bara juga akan memperparah dampak krisis iklim di Indonesia,” tutur Novita melalui keterangan tertulisnya, Kamis, (23/3/2023).

Novita menjelaskan, proyek pembuatan Dimethyl Ether (DME) dengan kapasitas mencapai 1,4 juta ton per tahun dengan kebutuhan 6 juta ton batu bara dapat menghasilkan emisi gas rumah kaca sebesar 4,26 juta ton CO2-eq per tahun.

“Pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi Undang-undang merupakan cara pemerintah memberi subsidi paling baru bagi industri batu bara. Selain itu, aturan ini akan terhubung dengan pembentukan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang saat ini dibahas oleh DPR,” ucapnya.

Novita melanjutkan, hal ini menambah deretan keistimewaan bagi industri energi kotor dalam memperpanjang umur penggunaan batu bara, sumber energi yang dalam proses hulu hingga hilirnya jelas menimbulkan kerusakan dan bencana bagi lingkungan dan manusia.

“Akal-akalan ini hanya akan mengunci Indonesia dalam laju kenaikan emisi yang dapat memperparah krisis iklim yang artinya bertolak belakang dengan alasan pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja, dan juga akan menjadi batu sandungan upaya transisi energi,” ujarnya.

Perlu diketahui, saat pertama kali disebut Presiden Indonesia Joko Widodo atau Jokowi pada 2019, UU Cipta Kerja membabat hampir 80 peraturan lainnya yang berkaitan dengan ketenagakerjaan hingga perlindungan lingkungan, yang sejak awal proses pembentukannya cacat prosedur karena mengabaikan partisipasi publik dan tidak terbuka.

Pada puncaknya, Mahkamah Konstitusi dalam pembacaan putusan pada 25 November 2022 telah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan meminta kepada pemerintah serta DPR untuk merevisi aturan tersebut dengan partisipasi bermakna dari masyarakat.

Namun, di akhir tahun 2022, Presiden Jokowi justru memberi kejutan kepada rakyat dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja yang memiliki substansi serupa dengan UU Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional.

Saat menerbitkan Perppu, pemerintah berdalih untuk menyelamatkan ekonomi, atas dasar kegentingan krisis iklim, dan krisis pangan. Namun, pasal-pasal yang terkandung dalam Perppu Cipta Kerja justru berkebalikan dan disusupi oleh kepentingan pebisnis perusak lingkungan.

Selain itu, pengesahan Perppu Cipta Kerja menjadi undang-undang semakin menunjukkan bahwa transisi energi yang berulang kali digembar-gemborkan para penyelenggara negara hanya omong kosong.

Baca juga artikel terkait PENGESAHAN PERPPU CIPTA KERJA atau tulisan lainnya dari Hanif Reyhan Ghifari

tirto.id - Bisnis
Reporter: Hanif Reyhan Ghifari
Penulis: Hanif Reyhan Ghifari
Editor: Restu Diantina Putri