Menuju konten utama

Tren Filler Puting & Persepsi terhadap Payudara

Tren filler puting menunjukkan apa yang dianggap indah dari payudara tak selalu sama.

Tren Filler Puting & Persepsi terhadap Payudara
Ilustrasi filler. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Kepuasan terhadap bentuk tubuh “ideal” terus dicari para perempuan lewat perawatan estetis. Operasi dan ragam perawatan menyakitkan kerap ditempuh. Bahkan kini, di Amerika sana, ada tren suntik filler ke puting.

Bentuk puting yang besar dan tegak menjadi tren yang disebarkan Kendall Jenner, peragawati sekaligus bintang reality show. Model dari trah Kardashian ini adalah salah satu influencer di dunia. Apa yang dikenakan dan dipamerkannya menjadi pembicaraan dan diikuti, tak terkecuali gaya busana yang sering memamerkan puting payudara di balik bajunya. Jenner menjadi kiblat fashion anti-bra dengan slogan “free the nipple".

Laku Kendall membuat banyak munculnya tren filler puting agar mendapat bentuk puting yang kencang, menonjol, dan punya warna yang dianggap bagus. Puting menonjol dianggap menjadi daya tarik saat mengenakan bikini atau memakai gaun/kemeja tanpa bra.

Seorang pasien filler putting yang diwawancarai New York Post mengutarakan kekesalan terhadap bentuk putingnya yang dinilai jelek. Perempuan anonim itu, tak suka puting yang lentur, ia menginginkan bagian ujung payudaranya menonjol supaya terlihat keren.

“Aku suka Kendall Jenner, apalagi ketika ia tak menggunakan bra. Kamu tidak melihat putingnya, tapi bisa lihat tonjolannya, itu sangat seksi dan feminin,” kata perempuan itu.

Prosedur filler dijelaskan dr. Norman Rowe, spesialis bedah plastik di New York City. Caranya dilakukan dengan menyuntikkan filer asam hyaluronic ke puting untuk menambah volume. Prosedur itu, biasa dilakukan dalam waktu setengah jam. Jika dibandingkan botox yang hanya bertahan 3-4 bulan, hasil suntik filler lebih unggul, dapat bertahan hingga dua tahun lamanya.

“Biaya filler untuk membuat siluet puting bisa dilihat di balik kain dihargai sebesar $700 [Rp9,6 jutaan]” kata dr. Norman.

Namun, tindakan estetik mengubah bagian tubuh sensitif pada perempuan ini bukannya tanpa risiko. Puting payudara merupakan bagian tubuh yang memiliki banyak syaraf pusat sebagai stimulator. Injeksi filler berisiko merusak struktur jaringan puting. Cairan filler bisa menyumbat saluran air susu atau menghambat suplai darah ke puting. Akibatnya, proses menyusui dan rangsangan jadi terganggu.

Persepsi Payudara Indah dari Masa ke Masa

Konsepsi mengenai keindahan payudara terus berubah dari masa ke masa. Bentuk payudara besar dan montok sebagai patokan “ideal” ternyata baru-baru saja jadi tren. Pada zaman kuno, payudara menjadi simbol kesuburan, mulai zaman batu (50-100 ribu SM) di Jerman hingga Yunani kuno (100 SM) ia masih dianggap sebagai perlambang kesucian.

Karenanya, banyak hasil-hasil kesenian dari zaman Yunani hingga Renaisans (1300-1600 M) seperti lukisan dan patung memuliakan payudara dan pinggul perempuan. Beberapa karya seni dari abad pertengahan (500-1500 M) bahkan menggambarkan Maria, dadanya terbuka, menyusui bayi Yesus Kristus. Patung-patung raksasa yang mewakili dewi kesuburan dan penghidupan pun dibangun, menjadi tradisi di Italia pada abad ke-14.

Meski begitu, di beberapa belahan dunia yang lain, seperti Roma pada abad ke-4 justru mengutuk bentuk-bentuk kefemininan. Mereka menganggapnya sebagai objek berbahaya. Jerome, seorang Bapa dari Gereja Katolik Roma pernah berkata, “Perempuan adalah pintu gerbang iblis, jalan kejahatan, ular berbisa.”

Setelah masa Renaissance berakhir, gagasan mengenai payudara dan ketelanjangan semakin dianggap tabu untuk diumbar. Payudara dianggap objek yang erotis, selalu berarti seksual. Bahkan, menyusui pun dianggap sebagai hal yang tidak layak dilakukan, sehingga jamak kelas menengah dan atas menitipkan anaknya untuk disusui oleh wanita-wanita yang lebih miskin.

Marilyn Yalom, peneliti pada Clayman Institute for Gender Research di Stanford University dalam bukunya History of The Breast tak semua kebudayaan melihat payudara sebagai organ yang bersifat seksual. Namun, ada kebudayaan-kebudayaan tertentu, misalnya di benua Afrika, yang melihat payudara sebagai sesuatu yang natural. Ketelanjangan dada pun dianggap biasa saja.

infografik filler puting

Pemahaman payudara sebagai sesuatu yang bersifat seksual dilanggengkan oleh kapitalisme, meski persepsi "bagus" dan "seksi" tak selalu sama. Amerika memulainya pada tahun 1950, dimana payudara besar mulai dianggap sebagai ukuran ideal. Tahun tersebut juga merupakan awal dari dekade popularitas majalah Playboy dan boneka Barbie. Bintang-bintang film dengan payudara besar seperti Marilyn Monroe dan Jane Russel menjadi trendsetter bagi kaum perempuan untuk memperbesar payudara mereka.

Untuk menjawab keinginan serta permintanan pasar, akhirnya pada 1962 dilakukan percobaan cangkok payudara pertama pada seorang perempuan. Timmie Jean Lindsey menjadi kelinci percobaan di rumah sakit Jefferson Davis di Houston, Texas. Payudaranya disayat dengan iming-iming operasi cuping telinga gratis. Operasi selama dua jam itu berhasil membikin payudara Lindsey membesar dari cup bra ukuran B menjadi C.

“Aku tak menyadari perubahannya sampai para laki-laki bersiul kepadaku. Rasanya luar biasa menjadi yang pertama [cangkok payudara] di dunia,” ungkap Lindsey, puas.

Setahun berikutnya, prosedur pembesaran payudara tersebut dipresentasikan di konferensi Ahli Bedah Internasional di Washington DC. Amerika geger dan cangkok payudara pun mewabah. Kini, operasi pembesaran payudara, dengan berbagai teknik, menjadi jenis operasi kosmetik paling populer kedua di dunia setelah sedot lemak.

"Intervensi kecil" seperti memasukkan filler pada puting dianggap tak seberapa dibanding operasi rekonstruksi besar-besaran pada bentuk payudara secara umum. Meski praktik dan tekniknya berbeda, keduanya kira-kira berangkat dari satu hal yang sama: imaji ihwal apa yang dianggap indah dari sepasang payudara.

Baca juga artikel terkait PAYUDARA atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Aditya Widya Putri