tirto.id - "Perubahan susunan anggota direksi dan anggota dewan komisaris ini merupakan penyegaran yang dibutuhkan agar perseroan lebih siap dalam menghadapi tantangan bisnis taksi saat ini.”
Surat klarifikasi yang dilayangkan PT Express Transindo Utama Tbk (TAXI) kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 2 Desember lalu itu menjelaskan pengajuan pengunduran diri 2 direksi dan 4 komisaris perusahaan taksi Express secara bersamaan, yang akan diputuskan dalam RUPSLB Januari 2017.
Taksi Express memang sedang menghadapi tantangan besar, bahkan bisa dibilang sedang mengalami keterpurukan. Sangat sulit mengelak bahwa pengunduran diri para petinggi ini tak ada kaitannya dengan kinerja taksi Express yang belakangan ini sedang terpuruk. Demo besar-besaran para sopir taksi yang memprotes taksi online Maret lalu jadi penanda awal terpuruknya taksi konvensional, tak kecuali taksi Express.
Kinerja Merosot
Sebelum hingar bingar perkembangan taksi dan ojek online pada pertengahan 2015, bisnis taksi Express tak menunjukkan tanda-tanda darurat. Tahun sebelumnya, mereka bahkan tetap ekspansi dengan menambah 1.000 unit armada taksi Express reguler, 500 unit taksi Eagle, 150 unit bus pariwisata, dan 300 unit taksi premium. Hingga akhir 2015. jumlah armada mereka mencapai 11.000 unit.
Pendapatan Express pun dalam empat tahun terakhir menunjukkan kinerja positif dan trennya terus tumbuh, dengan rekor pendapatan di 2015 mencapai Rp970 miliar. Singkat kata, tahun lalu Express masih bisa sedikit tersenyum.
“Tahun 2015 ditandai dengan situasi bisnis yang semakin dinamis, terutama dengan munculnya para pesaing baru yang memanfaatkan kemajuan teknologi untuk menyediakan layanan di bidang jasa transportasi,” kata Direktur Utama PT Express Transindo Utama Tbk Daniel Podiman dalam paparan resminya.
Titik balik kinerja perusahaan mulai terjadi pada awal 2016. Kehadiran taksi dan ojek online seperti Grab, Uber, Go Jek makin membayangi kinerja mereka tahun ini. Pendapatan gemilang yang diperoleh pada tahun 2015, tak berlanjut di 2016. Pendapatan Express turun tajam hanya Rp 512,5 miliar hingga September 2016. Padahal pada September tahun sebelumnya Express masih membukukan pendapatan Rp721,4 miliar.
Raihan laba juga ikut turun tajam. Puncaknya, Express menangguk kerugian hingga Rp81,8 miliar pada September 2016. Padahal periode yang sama tahun sebelumnya, perseroan masih membukukan keuntungan Rp11,1 miliar. Jauh sebelumnya, pada September 2014, Express malah masih mengantongi keuntungan Rp109,04 miliar.
Kondisi itu membuat saham Express ikut terpuruk. Pada 2 Desember 2016, harga saham Express hanya berkisar Rp155 per saham. Harga ini jauh lebih rendah dibandingkan saat kali pertama Express melantai di bursa 2 November 2012 lalu saat masih ditawarkan Rp560 per saham.
Namun, harga ini sudah lebih baik jika dibandingkan saat terjadi pencabutan larangan ojek online beberapa waktu lalu, yang menyebabkan, saham Express ikut terkoreksi turun dengan ditutup Rp108 per saham. Pada 18 Desember 2015 misalnya, saham Express melesat tajam mencapai harga tertinggi Rp145 per saham, sebagai respons sehari sebelumnya terkait larangan ojek berbasis online oleh menteri perhubungan.
Masih Ada Harapan
Perusahaan taksi konvensional seperti Express masih berharap besar dengan regulasi yang sudah dibuat pemerintah dalam menghadapi perubahan. Sejak April 2016, Peraturan Menteri (Permen) Perhubungan nomor 32 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek menjadi angin segar bagi keberadaan taksi konvensional.
Peraturan itu sendiri dibuat dengan dasar Undang-undang nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas.
Permenhub 32 Tahun 2016 ini berdampak pada perubahan yang mendasar pada taksi online, yakni memisahkan bisnis layanan aplikasi dengan bisnis transportasi. Penyedia layanan aplikasi seperti Uber, Grab dan Go Car hanya bisa bekerja sama dengan perusahaan jasa transportasi.
Sejumlah penyesuaian pun harus dilakukan oleh para pengemudi. Para pengemudi yang semula adalah individu harus berubah menjadi perusahaan di bidang transportasi. Untuk menjadi pengemudi Uber, Grab atau Go Car, mereka harus membentuk badan hukum, PT atau koperasi dan mengantongi izin usaha di bidang transportasi. Para pengemudi harus memiliki SIM kendaraan motor umum. Konsekuensi lainnya, soal penetapan tarif juga harus mendapat persetujuan pemerintah.
Kabar tak menyenangkan bagi pelaku taksi konvensional tiba, saat pemerintah memberikan toleransi penegakan hukum bagi penyelenggaraan taksi online yang diatur dalam Permen, seharusnya berlaku 1 Oktober 2016, tapi ditunda hingga awal April 2017.
"Tanggal 1 Oktober terap berlaku peraturannya, tetapi law enforcement, dirazianya nanti kita mundurkan enam bulan," kata Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dikutip dari laman Antara.
Selain menunggu sikap pasti pemerintah, pemain taksi konvensional sebenarnya sudah melakukan pembenahan. Mereka juga sambil berharap pola subsidi tarif yang diterapkan taksi online akan berakhir. Taksi Express pada Februari lalu, meluncurkan layanan myTrip, sebuah pemesanan taksi secara online dengan aplikasi yang saat ini sudah bisa diunduh di platform android dan di iOS. Namun tetap saja, taksi online lebih unggul karena tak memiliki investasi besar seperti pool dan armada, sehingga model bisnisnya lebih efisien dari taksi konvensional.
“Pola bisnis taksi resmi (konvensional) harus diubah, sementara itu taksi online juga harus ikuti aturan yang sudah dibuat,” kata Pengamat transportasi Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, Djoko Setijowarno kepada tirto.id.
Menilik pendapatannya yang terus menyusut, Express tampaknya harus melakukan perubahan besar menghadapi situasi bisnis terkini. Sementara pemerintah juga tak boleh abai untuk melakukan penegakan hukum terkait bisnis taksi online.