Menuju konten utama

Transgender Pun Ingin Punya Anak Kandung

Asalkan tak melakukan operasi pengangkatan rahim, para transpria tetap bisa melahirkan anak.

Transgender Pun Ingin Punya Anak Kandung
Anak kecil mengenakan rok tutu berwarna pelagi saat Pride Parade di Toronto, Ontario, Canada. Getty Images/iStock Editorial

tirto.id - Leo, bayi merah itu digendong oleh seorang pria bercambang lebat, pria yang selama sembilan bulan lebih kemarin mengandungnya. Pria tersebut nampak sumringah. Ia ditemani suaminya yang merasa bersyukur atas kelahiran anak biologis pertama mereka. Apalagi sebelumnya ia mengalami keguguran.

Adalah Trysan Reese, warga asal Portland, Oregon yang memutuskan untuk menjadi transgender beberapa puluh tahun lalu. Ayah kandung Leo tersebut selama satu dekade lalu memutuskan untuk mengonsumsi hormon pria. Ia mulai menghentikan penggunaan hormon tersebut sejak dokter menyatakannya hamil lagi.

Keguguran pertamanya membuat Reese pesimis bisa melahirkan anak biologis, sehingga ia bersama suaminya, Biff Chaplow, akhirnya mengangkat dua orang anak. Keputusan pasangan transgender tersebut untuk mempunyai anak dihinggapi pandangan buruk masyarakat. Sejumlah warganet bahkan menyerang mereka.

"Saya katakan ini adalah hal yang unik. Saya paham masyarakat akan keheranan karena ada dua pria yang memiliki anak biologis," komentar Reese, seperti dikutip The Independent. "Ini adalah saat paling membahagiakan bagi saya, melihat awal kehidupan Leo, sungguh amat luar biasa," kata Chaplow.

Memang tidak mudah menjalani kehamilan dengan penampilan fisik laki-laki di tengah-tengah masyarakat yang belum sepenuhnya menerima transgender. Hal ini dirasakan juga oleh Evan dan pasangannya. Sama seperti Reese, Evan juga terlahir sebagai perempuan sebelum memutuskan untuk berganti gender.

Saat menjalani kehamilannya, Evan memilih untuk tidak memberitahukannya kepada banyak orang. “Aku tidak suka perhatian orang-orang sekitar atas apa yang terjadi dengan tubuhku,” katanya.

Evan dan keluarganya mengalami kendala ketika berurusan dengan pihak asuransi kesehatan. Sebab, dokumen resmi mencatat Evan adalah seorang laki-laki.

Baca juga:

Transgender di Indonesia

Stigma buruk dari masyarakat dan kendala dalam pengurusan birokrasi atas keadaan para transgender dijumpai di banyak negara. Di Indonesia sendiri, masyarakat masih menganggap transgender bertentangan dengan norma-norma sosial.

Dalam penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Equilibrium, diketahui bahwa sebanyak 46 persen masyarakat menyatakan sangat setuju pernyataan bahwa transgender adalah perilaku menyimpang, 35 persen menyatakan setuju, dan sisanya tidak setuju.

Sementara itu, untuk hak transgender dalam berkeluarga, hanya sekitar 3 persen masyarakat menyatakan sangat setuju atas hak kelompok transgender untuk berkeluarga dengan sesamanya. Selanjutnya, 6 persen setuju, 19 persen tidak setuju, dan 72 persen sangat tidak setuju.

Sikap masyarakat tersebut dilatarbelakangi dengan anggapan bahwa perkawinan sesama gender adalah hal yang mengingkari norma sosial dan norma agama.

Baca juga:

Infografik Konstruksi Sosial Transgender

Upaya Melahirkan Anak Biologis Transgender

Dalam penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Obstetric Medicine, Juno Obedin-Maliver menyatakan bahwa seorang pria transgender tetap punya kemampuan untuk hamil dan berada dalam posisi seksual yang subur/fertil. Hal ini dikarenakan mereka dari awal terlahir dengan alat reproduksi perempuan, termasuk rahim tempat bertumbuhnya janin.

Pria transgender sebenarnya bisa memilih untuk melakukan pembedahan organ reproduksi tersebut. Namun, menurut Juno Obedin-Maliver, penghilangan rahim jarang sekali dilakukan oleh mereka. Maka, banyak pria transgender yang masih mempunyai kemampuan melahirkan anak.

Dalam proses mereka sebagai transgender, seorang transpria biasanya diberi hormon testosteron dan transwanita akan diberi hormon anti-testosteron. Terapi hormon ini akan memberi perubahan drastis, mulai dari suara hingga ukuran massa otot.

Setelah melewati proses melela dan terapi hormon, transgender akan berhadapan dengan operasi organ tubuh, jika ia menginginkannya. Christine McGinn, ahli bedah yang biasa menangani pasien transgender, menyatakan bahwa operasi paling sering ia tangani adalah pengangkatan payudara bagi transpria.

“Hal itu sangat aman, sangat mudah, dan masa penyembuhannya sesingkat dua minggu saja,” kata McGinn.

Seluruh proses transisi tersebut relatif mahal. Mulai dari terapi hormon hingga tahap legal, semuanya mengeluarkan biaya. Tapi, tahap operasi yang paling mahal. "Di Amerika, seorang transpria perlu $140 ribu,” kata McGinn.

Jarang transpria yang sampai melakukan pengangkatan rahim. Kebanyakan dari mereka cukup melakukan terapi hormon testosteron saja. Namun, meski penggunaan hormon tak mencegah pria untuk hamil, ia dapat mempengaruhi kesuburan dan perkembangan janin. Maka, jika mereka ingin hamil, mereka harus menghentikan penggunaannya.

Para transgender yang dinyatakan tidak bisa hamil lagi juga punya pilihan lain, yaitu cryopeservasi oosit dan melakukan pembuahan di luar tubuh mereka. Prosesnya sama dengan upaya bayi tabung yang mulai banyak dilakukan pasangan hetero.

Dalam hasil penelitian "Transgender Men and Pregnancy," pasangan transgender yang ingin memiliki anak biologis disarankan untuk mengupayakan cryopreservasi oosit (penyimpanan sel telur/ovum) sebelum mereka melakukan terapi hormon testosteron. Tujuannya agar sel ovum berada dalam keadaan yang sehat.

Baca juga artikel terkait TRANSGENDER atau tulisan lainnya dari Yulaika Ramadhani

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yulaika Ramadhani
Penulis: Yulaika Ramadhani
Editor: Maulida Sri Handayani