tirto.id - Mengawali 2016, harga minyak tersungkur hingga titik terendahnya hingga di bawah 40 dolar per barel. Memasuki bulan Mei, harga minyak mulai menggeliat. Namun, pemulihan menuju harga keekonomian diprediksi baru akan berlangsung pada 2017.
Sulitnya harga minyak pulih dari keterpurukan salah satunya disebabkan gagalnya diskusi negara-negara penghasil minyak utama dunia, baik yang merupakan anggota dari Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) maupun non-anggota, untuk membekukan tingkat produksi mereka.
Kegagalan kesepakatan itu tak lepas dari kekukuhan Saudi untuk mempertahankan tingkat produksi. Saudi tak mau mengalah untuk memangkas produksi agar harga minyak membaik. Ia tak mau tunduk dari Amerika Serikat yang banyak mendapatkan keuntungan dari tingginya harga minyak beberapa waktu lalu, sehingga produksi shale oil mereka meningkat. Harga yang rendah jelas memukul produksi shale oil Amerika, sehingga sebagian harus tutup. Dalam hal ini, Saudi bisa dikatakan menang.
Meski demikian, Saudi bisa dikatakan tidak menang-menang amat. Perekonomiannya jelas terpukul karena pemasukan utama negara tersebut berasal dari minyak. Sebagai catatan, Arab Saudi pada tahun lalu mengalami defisit yang nilainya mencapai $100 miliar akibat turunnya harga minyak ke level $30-40 per barel.
Pekan lalu, negara dengan cadangan minyak nomor satu di dunia itu mengumumkan rencananya untuk menaikkan pendapatan non-minyak mereka sebesar tiga kali lipat. Saudi juga akan menekan pengeluaran pada sektor publik dalam periode lima tahun ke depan. Termasuk dalam rencana itu adalah mengurangi gaji pegawai negeri sehingga proporsinya menjadi 40 persen dari anggaran negara, serta dipotongnya subsidi air dan listrik sebesar 200 miliar riyal.
Langkah itu merupakan bagian dari apa yang disebut dengan The National Transformation Plan (NTP). NTP adalah sebuah rencana yang didesain untuk mereformasi ketergantungan ekonomi Saudi pada minyak dan membangun masa depan yang lebih berkelanjutan, seiring dengan populasi kerajaan tersebut yang terus meningkat.
NTP bertujuan untuk menaikkan pendapatan non-minyak Saudi menjadi 530 miliar riyal (sekitar Rp1.879 triliun) pada tahun 2020, serta menciptakan 450.000 pekerjaan di luar pemerintahan.
NTP mencakup lebih dari 500 proyek dan inisiatif, serta indikator-indikator kinerja untuk para menteri dan berbagai lembaga pemerintahan. Keseluruhan rencana tersebut diperkirakan menghabiskan 270 miliar riyal apabila akan benar-benar diterapkan.
Perlu dicatat, NTP merupakan bagian dari Vision 2030, sebuah visi yang diinisiasi oleh Pangeran Mohammed bin Salman, Deputi Putera Mahkota Saudi, dan menjadi dasar transformasi Saudi menjadi negara yang tidak lagi bergantung dari minyak.
Vision 2030 sendiri berisikan beberapa target fundamental yang ingin dicapai oleh kerajaan tersebut untuk mewujudkan ekonomi Arab Saudi yang bebas dari ketergantungannya terhadap minyak, antara lain kemungkinan untuk mencapai pendapatan non-minyak sebesar 600 miliar riyal pada tahun 2020, dan satu triliun riyal pada tahun 2030, dari 163,5 milyar riyal pada tahun lalu.
"Kami tidak akan membiarkan negara kami berada pada posisi yang tergantung dari volatilitas harga komoditas atau pasar eksternal," kata Pangeran Mohammed kepada pers ketika ia mengumumkan visi tersebut pada bulan April.
Pangeran Mohammed tampaknya tidak main-main. Sepekan sebelumnya, Saudi untuk pertama kalinya berani menggunakan minyak sebagai sebuah senjata diplomasi dalam dialog pembekuan produksi minyak untuk menekan Iran terkait kebijakan nuklirnya.
Dalam dokumen NTP sendiri disebutkan bahwa Kementerian Energi Saudi akan mempertahankan kapasitas produksi minyaknya sebesar 12,5 juta barel per hari (bph), meningkatkan kapasitas produksi gas menjadi 17,8 miliar standar kaki kubik per hari dari 12 miliar, dan meningkatkan kapasitas penyulingan menjadi 3,3 juta barel per hari dari 2,9 juta.
Pangeran Mohammed juga mendepak Ali al-Naimi sebagai Menteri Perminyakan dan menggantinya dengan orang kepercayaannya Khalid al-Falih yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Kesehatan dan chairman Saudi Arabian Oil Co (Aramco).
Al-Falih tak hanya akan mengurusi perminyakan, seperti al-Naimi. Ia juga akan memegang peran vital dalam transformasi tersebut karena listrik dan sumber daya mineral lainnya juga akan menjadi kewenangannya, seiring dengan bergantinya nama Menteri Perminyakan menjadi Menteri Energi, Industri, dan Sumber Daya Mineral. Al-Naimi kini ditunjuk menjadi penasihat istana.
Melalui Vision 2030, Saudi juga akan melakukan privatisasi pada Aramco dengan menjual kurang dari 5 persen saham perusahaan itu dalam sebuah Initial Public Offering (IPO) di pasar saham, dengan nilai perusahaan antara $2 triliun dan $2,5 triliun.
Sebagian dana yang didapat kemudian akan digunakan untuk mempersiapkan sovereign wealth fund (SWF) sebesar $2 triliun. Sebagai catatan, SWF memang biasanya digunakan oleh negara-negara yang bergantung pada minyak untuk mendiversifikasi aliran pendapatannya.
Dengan dana yang sedemikian besar – mengalahkan milik Norwegia, yang merupakan negara dengan SWF paling besar di dunia dengan sebesar $865 miliar – Saudi akan menjadi investor global yang sangat penting di dunia.
Dalam Vision 2030, kerajaan itu juga menargetkan untuk dapat meningkatkan kapasitas penerimaan jemaah umrah menjadi 30 juta pengunjung setiap tahunnya pada tahun 2030.
Sebagai catatan, industri pariwisata Saudi saat ini hanya berkontribusi 2,7 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sebagian besar dari wisatawan adalah jamaah umrah dan haji. Kunjungan religi itu memberikan kontribusi sebesar $12 miliar setiap tahunnya.
Pada NTP sendiri ditargetkan kunjungan haji meningkat menjadi 15 juta pengunjung pada tahun 2020, demikian seperti dikutip dari Arabnews.
Target Ambisius yang Meragukan
Rencana besar dibuat untuk melepaskan Saudi dari jeratan minyak. Namun demikian, banyak pengamat yang masih skeptis terhadap keberhasilan dari proses restrukturisasi ekonomi tersebut, mengingat posisi Saudi yang mungkin masih akan mengalami defisit di tengah harga minyak yang tak kunjung membaik.
Sebagai catatan, minyak menyumbang 73 persen dari pendapatan kerajaan tersebut pada tahun lalu.
Tahun ini, Saudi diprediksi akan mengalami defisit sebesar $87 miliar. Cadangan fiskal Saudi juga turun menjadi $611,9 miliar pada tahun lalu dari $732 miliar pada 2014.
Namun demikian, Prince Mohammed bersikukuh pada kebijakannya. Ia meyakini pada 2020, Saudi bisa hidup tanpa sokongan minyak.
Di balik semua keraguan yang ada, Arab Saudi mendapat dukungan penuh dari Britania Raya (United Kingdom/UK) dalam upayanya mewujudkan Vision 2030 tersebut.
Dalam sebuah konferensi pers bersama antara Menteri Luar Negeri Saudi Adel Al-Jubeir dengan Menteri Luar Negeri Inggris Philip Hammond pada akhir bulan lalu, Hammond memuji Vision 2030. Tentu saja karena mereka hendak menggaet Saudi untuk bekerja sama dengan Inggris terkait transformasi ekonomi itu.
Ia mengatakan bahwa Britania Raya siap bekerja sama dengan Saudi untuk mewujudkan visi tersebut. "Kita melihat sejumlah area di mana UK dapat memainkan peran pendukung yang kuat," sebut Hammond, seperti dikutip dari Arabnews.
Saudi mungkin bekerja keras untuk melepaskan diri dari ketergantungan terhadap harga minyak yang kini sedang rendah. Pertanyaannya, apakah rencana ini akan terus dijalankan jika harga minyak kembali melambung tinggi? Jawabannya akan kita lihat beberapa tahun lagi.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti